Saturday, November 17, 2012

Matahari Terbit Di Ufuk Timur


                       Aku melepas sepatu di muka rumah dan segera mengetuk pintu. Setelah aku mengucap salam, Bi Inem membukakan pintu untukku dan mempersilakan aku masuk. Ia menawarkan bantuan pada ku untuk membawakan tasku, yang aku tolak dengan halus. Kemudian aku minta padanya untuk membawakan aku segelas Jus Wortel yang sangat aku sukai. Ia menurut dan masuk. Aku segera masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Cuaca sangat panas siang ini. Tidak biasanya aku berkeringat sebanyak ini, bahkan ketika aku habis berolahraga. Aku segera menyalakan AC. Sesaat kemudian terdengar ketukan halus di pintu kamarku.
                “Non Aisha, ini jusnya Non”, terdengar suara Bi Inem yang halus dari luar. Segera aku mengajaknya masuk dan ia meletakkan segelas jus yang terlihat begitu menggoda itu di meja belajarku, kemudian segera pergi, membiarkan aku beristirahat di dalam kamarku yang sejuk. Kuteguk sedikit jus yang mulai merajuk meminta diminum itu, kemudian kunyalakan laptopku. Seperti dugaanku, ada e-mail baru dari Adi, sahabat masa kecilku yang kini tinggal di Yogyakarta. Kubaca perlahan suratnya yang tak terasa sudah lama begitu kurindu dan kunantikan.

from: Adi Suryadinata adinata4494@hotmail.com
to: aishaputrifa@gmail.com
date: Thu, Nov 8,
2011 at 5:04 PM

subject: Miss my Bestfriend ;)
mailed-by: hotmail.com

                assalamualaikum Aisha J how are you ? wish you’re in a right condition and right mood right now J So long did not send you a message, I feel missed so much. Did you feel the same ? I’ve just watched a movie with my friends here. Guess what ?? it’s Harry Potter and the Deathly Hallow part 2! Have you watched it ? hope you reply this as soon as possible. With love always, your Adi J


                Aku menghela nafas. Ya, itu dia sahabatku, ceria seperti biasanya dan menjalani kehidupannya dengan santai. Seandainya dia mengetahui dia akan berpisah lebih jauh denganku, maukah dia berkunjung ke sini untuk menemuiku mungkin untuk yang terakhir kalinya? Entahlah. Aku segera menekan tombol reply dan mengetikkan surat balasan untuknya. Kemudian aku segera menghabiskan jus dan beranjak tidur.
•∞•∞•

                Usai shalat subuh aku segera mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Pukul 6 biasanya aku akan sudah rapi dan siap berangkat menyusuri jalanan Jakarta yang mulanya lengang dan beranjak ramai ditemani Mang Irul, supir keluargaku. Bertiga dengan adikku, mang Irul akan terlebih dahulu mengantarkan ku ke sekolahku, karena memang jarak sekolah ku lebih dekat dengan rumah dibandingkan dengan sekolah adik laki-lakiku, Yusuf.
                Sesampainya di sekolah, aku segera berjalan menuju ruang kelasku yang kebetulan dekat dengan ruang guru. Sekolahku masih sepi padahal jam sudah menunjukkan pukul 6.30. Hanya segelintir teman yang berjalan menuju kelasnya masing-masing dan para penjaga kantin sekolah yang masih sibuk merapikan barang dagangan mereka. Pandanganku terpaku pada seonggok pakaian kumuh yang terlihat menumpuk dialasi kardus di sudut belakang sekolah, dekat dengan kelasku. Tanpa ragu, aku mulai menghampirinya. Angin berhembus mengibarkan jilbab putihku yang sudah aku pakai dengan rapi dari rumah tadi.
                Tumpukan itu terlihat bergerak sedikit. Aku mulai waspada, takut ada binatang yang terjebak di dalamnya dan menerjangku. Perlahan, kusentuh salah satu pakaian yang diletakkan di tumpukan paling atas, dan kutarik. Aku terkesiap. Ternyata itu bukan tumpukan pakaian, melainkan seorang anak kecil yang sedang tidur di dalam tumpukan baju kumal. Ia terbangun, merasa terusik oleh kehadiranku. Kulihat raut wajahnya yang cemas dan terlihat hamper menangis. Dia adalah seorang adik perempuan yang lucu. Aku berusaha menenangkannya.
                “Sayang, jangan nangis ya J Ibu kamu di mana?” tanyaku dengan lembut. Kulihat matanya melebar dengan lucu dan dia mengerjapkan matanya perlahan.
                “Ibu? Ibu? Hiks... ibu... iibuuu....” tanpa kusadari, pertanyaanku tersebut justru membuatnya bersedih. Ia terlihat seperti baru saja kehilangan ibunya.
                “Ssstt, jangan nangis sayang. Kalo Bapak kamu di mana?” aku berharap kali ini dia tidak akan menangis.
                “Bapak? Via nggak punya Bapak. Via punyanya Ibu. Ibu Via mana?” aku terkesiap mendengar pertanyaan polosnya itu. Yaa Allah, ia seorang anak yatim dan sekarang ia kehilangan Ibunya. Apa yang harus aku lakukan?
                “Via mau ikut ke rumah kakak?” tanyaku dengan lembut. Ia menguap, terlihat masih mengantuk. Kemudian Ia bertanya, “Kakak siapa? Ibunya Via ada di rumah kakak? Kalau ada, Via mau ikut.”
                Aku bingung menjawab pertanyaannya itu. Kalau aku memberitahu pihak sekolah, sudah pasti sekolah akan menyerahkannya pada polisi dan polisi akan memasukkannya ke panti asuhan. Aku tidak tega membayangkannya. Ia memang bukan adikku, tapi rasa kemanusiaan menggugah hatiku.
                “Di sana tidak ada Ibu Via, tapi Via bisa mandi, makan dan tidur di sana. Nanti kakak akan bantu cari Ibu Via. Mau?” tawarku. Ia terlihat tertarik. Subhanallah, bahkan seorang anak kecil sepertinya pun sudah bisa bernegosiasi. Ia kemudian mengangguk perlahan.
                Aku segera menghubungi Mang Irul dengan ponselku, dan memintanya ke sekolahku lagi untuk mengantarkan Via pulang. Sambil menunggu Mang Irul, aku berbincang-bincang sedikit dengan Via yang sudah mulai tenang dan terlihat tidak takut lagi. 15 menit kemudian Mang Irul sampai. Aku segera mengantar Via masuk ke mobil, dan segera kembali ke kelas untuk memulai pelajaran.
•∞•∞•

                Pukul 3 sore, Mang Irul sudah menungguku di gerbang sekolah. Di dalam, kulihat Yusuf sedang asyik dengan ponselnya. Adikku yang ABG itu sudah mengenal perempuan rupanya. Setelah masuk di mobil, aku bertanya pada Mang Irul.
                “Mang, Via gimana di rumah? Nakal nggak?”
              “Nggak kok Non, dia nurut. Cuma masih malu-malu saja. Tadi dia lagi bantu Bi Inem di pekarangan waktu saya jemput Non Aisha dan Den Yusuf. Mainan air”, kata Mang Irul terdengar dari suaranya Mang Irul juga begitu menyukai si kecil Via. Yusuf yang mendengar percakapan kami, mulai ingin tahu.
                “Via siapa kak? Kok baru dengar?”
                “Via, adik baru kita. Tadi kakak ketemu sama dia di sekolah”, jawabku santai.
          “Haa? Adik baru? Ketemu di sekolah? Kok bisa? Aku nggak ngerti ah!” protes Yusuf minta dijelaskan lebih lanjut. Aku pun segera menjelaskan dengan sabar proses pertemuanku dengan Via, termasuk percakapanku selama 20 menit pagi tadi. Mang Irul yang menyetir di depan terlihat manggut-manggut dan mendengarkan dengan serius.
                “Ooh, begitu. Aku jadi penasaran kayak gimana lucunya. Aku juga pengen punya adik perempuan!” ujar adikku itu terlihat sangat excited. Aku senang mendengarnya. Proses selanjutnya ialah meminta Ayah untuk mengadopsi Via sebagai anaknya. Semoga Allah mempermudah, Aamiin.

•∞•∞•

No comments:

Post a Comment