Aku melepas sepatu di muka rumah dan segera
mengetuk pintu. Setelah aku mengucap salam, Bi Inem membukakan pintu untukku
dan mempersilakan aku masuk. Ia menawarkan bantuan pada ku untuk membawakan
tasku, yang aku tolak dengan halus. Kemudian aku minta padanya untuk membawakan
aku segelas Jus Wortel yang sangat aku sukai. Ia menurut dan masuk. Aku segera
masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Cuaca sangat panas siang ini. Tidak biasanya
aku berkeringat sebanyak ini, bahkan ketika aku habis berolahraga. Aku segera
menyalakan AC. Sesaat kemudian terdengar ketukan halus di pintu kamarku.
“Non
Aisha, ini jusnya Non”, terdengar suara Bi Inem yang halus dari luar. Segera aku
mengajaknya masuk dan ia meletakkan segelas jus yang terlihat begitu menggoda
itu di meja belajarku, kemudian segera pergi, membiarkan aku beristirahat di
dalam kamarku yang sejuk. Kuteguk sedikit jus yang mulai merajuk meminta
diminum itu, kemudian kunyalakan laptopku. Seperti dugaanku, ada e-mail baru
dari Adi, sahabat masa kecilku yang kini tinggal di Yogyakarta. Kubaca perlahan
suratnya yang tak terasa sudah lama begitu kurindu dan kunantikan.
to: aishaputrifa@gmail.com
date: Thu, Nov 8, 2011 at 5:04 PM
date: Thu, Nov 8, 2011 at 5:04 PM
subject: Miss my Bestfriend ;)
mailed-by: hotmail.com
assalamualaikum
Aisha J how are you ? wish you’re in a right condition and
right mood right now J So long did not send you a message, I feel missed so
much. Did you feel the same ? I’ve just watched a movie with my friends here. Guess
what ?? it’s Harry Potter and the Deathly Hallow part 2! Have you watched it ?
hope you reply this as soon as possible. With love always, your Adi J
Aku
menghela nafas. Ya, itu dia sahabatku, ceria seperti biasanya dan menjalani
kehidupannya dengan santai. Seandainya dia mengetahui dia akan berpisah lebih
jauh denganku, maukah dia berkunjung ke sini untuk menemuiku mungkin untuk yang
terakhir kalinya? Entahlah. Aku segera menekan tombol reply dan mengetikkan
surat balasan untuknya. Kemudian aku segera menghabiskan jus dan beranjak
tidur.
•∞•∞•
Usai
shalat subuh aku segera mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Pukul 6
biasanya aku akan sudah rapi dan siap berangkat menyusuri jalanan Jakarta yang
mulanya lengang dan beranjak ramai ditemani Mang Irul, supir keluargaku. Bertiga
dengan adikku, mang Irul akan terlebih dahulu mengantarkan ku ke sekolahku,
karena memang jarak sekolah ku lebih dekat dengan rumah dibandingkan dengan
sekolah adik laki-lakiku, Yusuf.
Sesampainya
di sekolah, aku segera berjalan menuju ruang kelasku yang kebetulan dekat
dengan ruang guru. Sekolahku masih sepi padahal jam sudah menunjukkan pukul
6.30. Hanya segelintir teman yang berjalan menuju kelasnya masing-masing dan
para penjaga kantin sekolah yang masih sibuk merapikan barang dagangan mereka. Pandanganku
terpaku pada seonggok pakaian kumuh yang terlihat menumpuk dialasi kardus di
sudut belakang sekolah, dekat dengan kelasku. Tanpa ragu, aku mulai menghampirinya.
Angin berhembus mengibarkan jilbab putihku yang sudah aku pakai dengan rapi
dari rumah tadi.
Tumpukan
itu terlihat bergerak sedikit. Aku mulai waspada, takut ada binatang yang
terjebak di dalamnya dan menerjangku. Perlahan, kusentuh salah satu pakaian
yang diletakkan di tumpukan paling atas, dan kutarik. Aku terkesiap. Ternyata itu
bukan tumpukan pakaian, melainkan seorang anak kecil yang sedang tidur di dalam
tumpukan baju kumal. Ia terbangun, merasa terusik oleh kehadiranku. Kulihat raut
wajahnya yang cemas dan terlihat hamper menangis. Dia adalah seorang adik
perempuan yang lucu. Aku berusaha menenangkannya.
“Sayang,
jangan nangis ya J Ibu kamu di mana?” tanyaku dengan lembut. Kulihat
matanya melebar dengan lucu dan dia mengerjapkan matanya perlahan.
“Ibu?
Ibu? Hiks... ibu... iibuuu....” tanpa kusadari, pertanyaanku tersebut justru
membuatnya bersedih. Ia terlihat seperti baru saja kehilangan ibunya.
“Ssstt,
jangan nangis sayang. Kalo Bapak kamu di mana?” aku berharap kali ini dia tidak
akan menangis.
“Bapak?
Via nggak punya Bapak. Via punyanya Ibu. Ibu Via mana?” aku terkesiap mendengar
pertanyaan polosnya itu. Yaa Allah, ia seorang anak yatim dan sekarang ia
kehilangan Ibunya. Apa yang harus aku lakukan?
“Via
mau ikut ke rumah kakak?” tanyaku dengan lembut. Ia menguap, terlihat masih
mengantuk. Kemudian Ia bertanya, “Kakak siapa? Ibunya Via ada di rumah kakak? Kalau
ada, Via mau ikut.”
Aku
bingung menjawab pertanyaannya itu. Kalau aku memberitahu pihak sekolah, sudah
pasti sekolah akan menyerahkannya pada polisi dan polisi akan memasukkannya ke
panti asuhan. Aku tidak tega membayangkannya. Ia memang bukan adikku, tapi rasa
kemanusiaan menggugah hatiku.
“Di
sana tidak ada Ibu Via, tapi Via bisa mandi, makan dan tidur di sana. Nanti kakak
akan bantu cari Ibu Via. Mau?” tawarku. Ia terlihat tertarik. Subhanallah, bahkan seorang anak kecil
sepertinya pun sudah bisa bernegosiasi. Ia kemudian mengangguk perlahan.
Aku
segera menghubungi Mang Irul dengan ponselku, dan memintanya ke sekolahku lagi
untuk mengantarkan Via pulang. Sambil menunggu Mang Irul, aku
berbincang-bincang sedikit dengan Via yang sudah mulai tenang dan terlihat
tidak takut lagi. 15 menit kemudian Mang Irul sampai. Aku segera mengantar Via
masuk ke mobil, dan segera kembali ke kelas untuk memulai pelajaran.
•∞•∞•
Pukul
3 sore, Mang Irul sudah menungguku di gerbang sekolah. Di dalam, kulihat Yusuf
sedang asyik dengan ponselnya. Adikku yang ABG itu sudah mengenal perempuan
rupanya. Setelah masuk di mobil, aku bertanya pada Mang Irul.
“Mang,
Via gimana di rumah? Nakal nggak?”
“Nggak
kok Non, dia nurut. Cuma masih malu-malu saja. Tadi dia lagi bantu Bi Inem di
pekarangan waktu saya jemput Non Aisha dan Den Yusuf. Mainan air”, kata Mang
Irul terdengar dari suaranya Mang Irul juga begitu menyukai si kecil Via. Yusuf
yang mendengar percakapan kami, mulai ingin tahu.
“Via
siapa kak? Kok baru dengar?”
“Via,
adik baru kita. Tadi kakak ketemu sama dia di sekolah”, jawabku santai.
“Haa?
Adik baru? Ketemu di sekolah? Kok bisa? Aku nggak ngerti ah!” protes Yusuf
minta dijelaskan lebih lanjut. Aku pun segera menjelaskan dengan sabar proses
pertemuanku dengan Via, termasuk percakapanku selama 20 menit pagi tadi. Mang Irul
yang menyetir di depan terlihat manggut-manggut dan mendengarkan dengan serius.
“Ooh,
begitu. Aku jadi penasaran kayak gimana lucunya. Aku juga pengen punya adik
perempuan!” ujar adikku itu terlihat sangat excited.
Aku senang mendengarnya. Proses selanjutnya ialah meminta Ayah untuk mengadopsi
Via sebagai anaknya. Semoga Allah mempermudah, Aamiin.
•∞•∞•
No comments:
Post a Comment