Haloo Assalamualaikum teman-temaan. Maaf sudah lama sekali belum menumpahkan isi pikiran yang biasanya absurd hehe. Kali ini, saya ingin berbagi informasi dengan teman-teman, apalagi untuk yang akan dan sedang berumahtangga.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel di salah satu majalah islami untuk wanita tentang film animasi yang memuat materi-materi negatif untuk peminatnya -yang tentu saja kebanyakan adalah anak-anak. Mau tahu bagaimana isi artikelnya? Cekidooooottt.
Adegan pertama. Dua orang pria bertarung menggunakan tangan kosong. Yang seorang berhasil mengalahkan yang lain. Pria yang kalah terkapar di jalan dengan wajah berdarah dan luka bekas hantaman tangan. Kamera menampilkan secara close-up tangan si pemenang yang berlumuran darah dan darah yang menetes. Juga terdengar suara tetesan darah.
Adegan
kedua. Dua pria bertarung dengan pedang. Ditampilkan secara close-up wajah dengan darah yang
mengalir dari mulut. Pria yang satu menorehkan pedangnya pada tubuh bagian
depan lawannya. Darah pun muncrat.
Adegan-adegan
di atas bukan muncul dari tayangan film laga untuk dewasa, tetapi cuplikan
adegan film animasi “One Piece” (ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta dua
kali sehari). Film ini mulai banyak disukai anak-anak setelah kepopuleran film
animasi lainnya, “Naruto” (kini disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta
juga), agak menurun.
Dalam
beberapa bulan terakhir ini anak-anak banyak disuguhkan film animasi yang
mengandung kekerasan yang cukup ekspresif di TV. Pola penayangannya sama, yakni
ditayangkan lebih dari sekali sehari, hampir setiap hari. Anak-anak pun
menyukainya –mungkin karena pembiasaan, yakni akibat seringnya serial itu
ditayangkan.
Kekerasan
dalam film-film animasi ini bercampur dengan unsur mistis dan seks. Marilah
kita lihat apa yang ditampilkan dalam “Naruto” dan “One Piece”.
Dalam
“Naruto” misalnya, banyak muncul adegan perkelahian dengan tangan kosong atau
senjata. Adegan memukul atau menendang bertubi-tubi, mencengkeram kerah baju,
mengangkat tubuh, dan mendorong ke tembok adalah bentuk kekerasan yang cukup
banyak tampil. Lebih dari itu, film ini juga menampilkan adegan menodongkan
pisau atau pedang ke leher musuh untuk menggertak, mencabik-cabik tubuh musuh
dengan senjata, dan bahkan pembantaian berdarah serta siluet tubuh yang
terpotong.
Pada
“Naruto” kekerasan ini banyak dilakukan dengan kombinasi unsur mistis. Tokoh
Naruto dan berbagai karakter dalam film ini memiliki kemampuan gaib dan
menggunakan kemampuan tersebut saat bertarung dengan lawan. Misalnya, ada tokoh
yang dapat memanjangkan leher sehingga mudah menyerang musuh, menghilang dan
tiba-tiba muncul di belakang lawan dan menyerangnya atau memperbanyak diri
sehingga dapat melawan musuh yang kuat.
Pada
“One Piece”, kekerasan ditampilkan dengan diselingi muatan seks. Pada tayangan
ini tokoh-tokoh perempuan banyak yang ditampilkan dengan menonjolkan unsur
sensualitasnya. Tampaknya, film ini memang “menjual” unsur atau materi seks. Misalnya,
tokoh perempuan tampil dengan bra dan celana panjang. Kamera secara close-up menampilkan bagian perut,
pantat, dan payudara perempuan tersebut. Tidak itu saja, kamera seolah-olah
berfungsi sebagai mata penonton yang secara perlahan mengamati payudara seorang
perempuan –ada adegan yang menampilkan tubuh bagian atas seorang perempuan yang
hanya mengenakan bra disorot dengan perlahan secara close-up. Dalam banyak episodenya ditampilkan siluet perempuan yang
menampilkan lekuk tubuhnya secara sensual.
***
Dengan
tampilan yang demikian, maka kita pun bisa bertanya, apakah film semacam
“Naruto” atau “One Piece” tepat untuk anak-anak? Rasanya tidak! Tayangan
tersebut jelas-jelas memuat materi yang tidak sehat bagi anak.
Kekerasan
bukanlah materi yang sehat bagi anak, karena anak-anak yang rentan terpengaruh
media mudah terpengaruh untuk meniru aksi kekerasan yang dilihatnya melalui
media. Pada tahun 2001, The Committee on Public Education of the American
Academy of Pediatrics (AAP) telah mengeluarkan pernyataan bahwa kekerasan di
media berdampak pada perilaku kekerasan pada anak setelah menelaah lebih dari
3.500 penelitian.
Terkait
dengan peniruan yang dilakukan anak terhadap aksi yang dilihatnya melalui
media, muncul kabar dari Semarang pertengahan Januari lalu tentang peristiwa
yang menimpa seorang anak yang diduga akibat meniru aksi Naruto, Revino (10),
seorang anak pendiam kelas 4 SD,
ditemukan tewas tergantung di kamar tidurnya (Jawa Pos dotcom 17 Januari 2008).
Revino
ditemukan tergantung dalam posisi setengah berdiri. Lehernya terjerat ikat
pinggang merah yang tergantung di pegangan pintu lemari pakaian. Tak ada
tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya. Polisi menduga ia tewas bunuh diri.
Polisi sampai kini sedang mencari penyebab korban meninggal. Ada dugaan ia
tewas karena kecelakaan saat memeragakan aksi Naruto, karena Revino dikenal
suka berperan sebagai Naruto.
Selain
itu, materi-materi mistik dan seks bukanlah materi yang tepat untuk tampil
dalam tayangan anak. Materi-materi tersebut adalah materi dewasa yang
selayaknya baru dikonsumsi anak jika usianya sudah memadai.
Persoalannya
adalah, karena bentuknya yang berupa film animasi, banyak orangtua tidak
mewaspadai tayangan semacam “Naruto” atau “One Piece”. Karena bentuknya yang
animasi, orangtua pun mengira bahwa tayangan tersebut adalah tayangan anak.
***
Banyak
sekali orangtua yang membiarkan anaknya menonton tayangan (misalnya film atau
sinetron) yang diposisikan sebagai tayangan anak, tanpa pernah sekali pun
menonton (apalagi mencermati) tayangan tersebut. Padahal, sebagai tindakan
preventif untuk menghambat efek negatif tayangan TV, orangtua seharusnya
menyeleksi acara yang ditonton anak, mengatur pola menonton TV anak, dan
melakukan pendampingan saat anak menonton TV.
Untuk
itu semua, orangtua perlu tahu tayangan TV untuk anak itu seperti apa. Jadi,
jangan hanya tahu bahwa saat ini yang sangat disukai anak adalah tayangan apa,
tetapi orangtua perlu tahu tayangan itu sebenarnya bagaimana. Pengetahuan
tentang bagaimana sesungguhnya tayangan anak itulah yang dapat menjadi modal
bagi orangtua untuk mengatur pola interaksi anak dengan TV: selektif terhadap
acara TV, anak hanya boleh menonton pada jam tertentu, dan melakukan
pendampingan.
“Naruto”
atau “One Piece” adalah contoh-contoh film animasi anak dengan muatan kekerasan
yang ekspresif di dalamnya. Sebagai orangtua kita dapat belajar dari kasus ini
untuk mencermati tayangan anak lainnya, baik film animasi ataupun sinetron.
***
Disari
dari: Majalah Wanita Ummi edisi no.
04/XX Agustus 2008/1429 H
Menanggapi artikel ini, menurut saya pepatah "Anda adalah apa yang anda konsumsi" ada benarnya. Kata "konsumsi" di sini tidak hanya merujuk pada makanan, tetapi juga bahan bacaan, lagu-lagu yang biasa didengar, dan film-film yang senang anda tonton. Apalagi untuk mereka anak-anak yang istilahnya masih "labil", pastinya lebih mudah terpengaruh oleh tontonan yang mengandung unsur-unsur kekerasan, mistis, dan seks tersebut. :) Tetap CMIIW ^^
Menanggapi artikel ini, menurut saya pepatah "Anda adalah apa yang anda konsumsi" ada benarnya. Kata "konsumsi" di sini tidak hanya merujuk pada makanan, tetapi juga bahan bacaan, lagu-lagu yang biasa didengar, dan film-film yang senang anda tonton. Apalagi untuk mereka anak-anak yang istilahnya masih "labil", pastinya lebih mudah terpengaruh oleh tontonan yang mengandung unsur-unsur kekerasan, mistis, dan seks tersebut. :) Tetap CMIIW ^^
by: @MutiaRKinasih
No comments:
Post a Comment