Tuesday, December 24, 2013

Waspadai Film Animasi Anak: Naruto dan One Piece


Haloo Assalamualaikum teman-temaan. Maaf sudah lama sekali belum menumpahkan isi pikiran yang biasanya absurd hehe. Kali ini, saya ingin berbagi informasi dengan teman-teman, apalagi untuk yang akan dan sedang berumahtangga.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel di salah satu majalah islami untuk wanita tentang film animasi yang memuat materi-materi negatif untuk peminatnya -yang tentu saja kebanyakan adalah anak-anak. Mau tahu bagaimana isi artikelnya? Cekidooooottt.



Adegan pertama. Dua orang pria bertarung menggunakan tangan kosong. Yang seorang berhasil mengalahkan yang lain. Pria yang kalah terkapar di jalan dengan wajah berdarah dan luka bekas hantaman tangan. Kamera menampilkan secara close-up tangan si pemenang yang berlumuran darah dan darah yang menetes. Juga terdengar suara tetesan darah.
Adegan kedua. Dua pria bertarung dengan pedang. Ditampilkan secara close-up wajah dengan darah yang mengalir dari mulut. Pria yang satu menorehkan pedangnya pada tubuh bagian depan lawannya. Darah pun muncrat.
Adegan-adegan di atas bukan muncul dari tayangan film laga untuk dewasa, tetapi cuplikan adegan film animasi “One Piece” (ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta dua kali sehari). Film ini mulai banyak disukai anak-anak setelah kepopuleran film animasi lainnya, “Naruto” (kini disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta juga), agak menurun.
Dalam beberapa bulan terakhir ini anak-anak banyak disuguhkan film animasi yang mengandung kekerasan yang cukup ekspresif di TV. Pola penayangannya sama, yakni ditayangkan lebih dari sekali sehari, hampir setiap hari. Anak-anak pun menyukainya –mungkin karena pembiasaan, yakni akibat seringnya serial itu ditayangkan.
Kekerasan dalam film-film animasi ini bercampur dengan unsur mistis dan seks. Marilah kita lihat apa yang ditampilkan dalam “Naruto” dan “One Piece”.
Dalam “Naruto” misalnya, banyak muncul adegan perkelahian dengan tangan kosong atau senjata. Adegan memukul atau menendang bertubi-tubi, mencengkeram kerah baju, mengangkat tubuh, dan mendorong ke tembok adalah bentuk kekerasan yang cukup banyak tampil. Lebih dari itu, film ini juga menampilkan adegan menodongkan pisau atau pedang ke leher musuh untuk menggertak, mencabik-cabik tubuh musuh dengan senjata, dan bahkan pembantaian berdarah serta siluet tubuh yang terpotong.
Pada “Naruto” kekerasan ini banyak dilakukan dengan kombinasi unsur mistis. Tokoh Naruto dan berbagai karakter dalam film ini memiliki kemampuan gaib dan menggunakan kemampuan tersebut saat bertarung dengan lawan. Misalnya, ada tokoh yang dapat memanjangkan leher sehingga mudah menyerang musuh, menghilang dan tiba-tiba muncul di belakang lawan dan menyerangnya atau memperbanyak diri sehingga dapat melawan musuh yang kuat.
Pada “One Piece”, kekerasan ditampilkan dengan diselingi muatan seks. Pada tayangan ini tokoh-tokoh perempuan banyak yang ditampilkan dengan menonjolkan unsur sensualitasnya. Tampaknya, film ini memang “menjual” unsur atau materi seks. Misalnya, tokoh perempuan tampil dengan bra dan celana panjang. Kamera secara close-up menampilkan bagian perut, pantat, dan payudara perempuan tersebut. Tidak itu saja, kamera seolah-olah berfungsi sebagai mata penonton yang secara perlahan mengamati payudara seorang perempuan –ada adegan yang menampilkan tubuh bagian atas seorang perempuan yang hanya mengenakan bra disorot dengan perlahan secara close-up. Dalam banyak episodenya ditampilkan siluet perempuan yang menampilkan lekuk tubuhnya secara sensual.
***

Dengan tampilan yang demikian, maka kita pun bisa bertanya, apakah film semacam “Naruto” atau “One Piece” tepat untuk anak-anak? Rasanya tidak! Tayangan tersebut jelas-jelas memuat materi yang tidak sehat bagi anak.
Kekerasan bukanlah materi yang sehat bagi anak, karena anak-anak yang rentan terpengaruh media mudah terpengaruh untuk meniru aksi kekerasan yang dilihatnya melalui media. Pada tahun 2001, The Committee on Public Education of the American Academy of Pediatrics (AAP) telah mengeluarkan pernyataan bahwa kekerasan di media berdampak pada perilaku kekerasan pada anak setelah menelaah lebih dari 3.500 penelitian.
Terkait dengan peniruan yang dilakukan anak terhadap aksi yang dilihatnya melalui media, muncul kabar dari Semarang pertengahan Januari lalu tentang peristiwa yang menimpa seorang anak yang diduga akibat meniru aksi Naruto, Revino (10), seorang anak  pendiam kelas 4 SD, ditemukan tewas tergantung di kamar tidurnya (Jawa Pos dotcom 17 Januari 2008).
Revino ditemukan tergantung dalam posisi setengah berdiri. Lehernya terjerat ikat pinggang merah yang tergantung di pegangan pintu lemari pakaian. Tak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya. Polisi menduga ia tewas bunuh diri. Polisi sampai kini sedang mencari penyebab korban meninggal. Ada dugaan ia tewas karena kecelakaan saat memeragakan aksi Naruto, karena Revino dikenal suka berperan sebagai Naruto.
Selain itu, materi-materi mistik dan seks bukanlah materi yang tepat untuk tampil dalam tayangan anak. Materi-materi tersebut adalah materi dewasa yang selayaknya baru dikonsumsi anak jika usianya sudah memadai.
Persoalannya adalah, karena bentuknya yang berupa film animasi, banyak orangtua tidak mewaspadai tayangan semacam “Naruto” atau “One Piece”. Karena bentuknya yang animasi, orangtua pun mengira bahwa tayangan tersebut adalah tayangan anak.
***

Banyak sekali orangtua yang membiarkan anaknya menonton tayangan (misalnya film atau sinetron) yang diposisikan sebagai tayangan anak, tanpa pernah sekali pun menonton (apalagi mencermati) tayangan tersebut. Padahal, sebagai tindakan preventif untuk menghambat efek negatif tayangan TV, orangtua seharusnya menyeleksi acara yang ditonton anak, mengatur pola menonton TV anak, dan melakukan pendampingan saat anak menonton TV.
Untuk itu semua, orangtua perlu tahu tayangan TV untuk anak itu seperti apa. Jadi, jangan hanya tahu bahwa saat ini yang sangat disukai anak adalah tayangan apa, tetapi orangtua perlu tahu tayangan itu sebenarnya bagaimana. Pengetahuan tentang bagaimana sesungguhnya tayangan anak itulah yang dapat menjadi modal bagi orangtua untuk mengatur pola interaksi anak dengan TV: selektif terhadap acara TV, anak hanya boleh menonton pada jam tertentu, dan melakukan pendampingan.
“Naruto” atau “One Piece” adalah contoh-contoh film animasi anak dengan muatan kekerasan yang ekspresif di dalamnya. Sebagai orangtua kita dapat belajar dari kasus ini untuk mencermati tayangan anak lainnya, baik film animasi ataupun sinetron.
***

Disari dari: Majalah Wanita Ummi edisi no. 04/XX Agustus 2008/1429 H


Menanggapi artikel ini, menurut saya pepatah "Anda adalah apa yang anda konsumsi" ada benarnya. Kata "konsumsi" di sini tidak hanya merujuk pada makanan, tetapi juga bahan bacaan, lagu-lagu yang biasa didengar, dan film-film yang senang anda tonton. Apalagi untuk mereka anak-anak yang istilahnya masih "labil", pastinya lebih mudah terpengaruh oleh tontonan yang mengandung unsur-unsur kekerasan, mistis, dan seks tersebut. :) Tetap CMIIW ^^


by: @MutiaRKinasih

No comments:

Post a Comment