Sunday, September 29, 2013

HP 1 - BAB 2 Kaca yang Lenyap



BAB 2.
Kaca Yang Lenyap

SUDAH hampir sepuluh tahun berlalu sejak suami-istri Dursley terbangun dan menemukan keponakan mereka di depan pintu, tetapi Privet Drive hampir tak berubah. Matahari terbit menyinari halaman-halaman depan yang rapi dan membuat berkilau angka empat dari kuningan di pintu depan rumah keluarga Dursley. Sinar matahari merayap ke dalam ruang keluarga mereka, yang masih nyaris sama dengan pada malam Mr Dursley menonton berita penting tentang burung-burung hantu dulu. Hanya foto-foto di rak di atas perapian yang betul-betul menunjukkan berapa lama waktu yang telah berlalu. Sepuluh tahun yang lalu, ada banyak foto anak yang tampak seperti bola pantai besar merah jambu memakai topi yang warnanya berbeda-beda. Tetapi sekarang Dudley Dursley sudah bukan bayi lagi, dan sekarang foto-foto itu menunjukkan anak gemuk berambut pirang menaiki sepeda roda tiga pertamanya, naik komidi putar, bermain komputer dengan ayahnya, dipeluk dan dicium ibunya. Dalam ruang itu sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa ada anak lain yang tinggal di rumah itu.

Padahal Harry Potter masih di situ, saat ini sedang tidur, tapi tak akan lama lagi. Bibinya, Petunia, sudah bangun, dan suara nyaringnyalah yang pertama memecah kesunyian pagi itu.
"Bangun! Bangun! Cepat!"
Harry terbangun dengan kaget. Bibinya menggedor pintu lagi.
"Banguuun!" lengkingnya. Harry mendengarnya melangkah menuju dapur, lalu bunyi wajan yang diletakkan di atas kompor. Harry berguling telentang lagi dan berusaha mengingat-ingat mimpinya yang terputus tadi. Mimpinya menyenangkan. Ada motor terbang. Dia merasa dia pernah mimpi yang sama sebelumnya.
Bibinya sudah kembali berada di depan pintu kamarnya.
"Kau sudah bangun belum?" tuntutnya.
"Hampir," jawab Harry.
"Ayo, cepat. Aku mau kau yang menggoreng daging asap. Jangan sampai gosong. Aku ingin segalanya sempurna pada hari ulang tahun Dudley."
Harry mengeluh.
"Apa katamu?"
"Tidak, tidak apa-apa…"
Ulang tahun Dudley—bagaimana mungkin dia bisa lupa? Dengan enggan Harry turun dari tempat tidur dan mencari-cari kaus kaki. Ditemukannya sepasang di bawah tempat tidur, dan setelah menarik labah-labah dari salah satu di antaranya, dipakainya kaus kaki itu. Harry sudah terbiasa dengan labah-labah, karena lemari di bawah tangga penuh labah-labah, dan di situlah dia tidur.
Setelah berpakaian, dia pergi ke dapur. Meja dapur nyaris tersembunyi di bawah tumpukan hadiah untuk Dudley. Tampaknya Dudley mendapatkan komputer baru yang diinginkannya, belum lagi televisi baru, dan sepeda balap. Kenapa persisnya Dudley ingin sepeda balap, sungguh suatu misteri bagi Harry, karena Dudley gemuk dan benci olahraga—kecuali, tentu saja, bentuk olahraganya adalah meninju orang lain. Kantong-tinju favorit Dudley adalah Harry, tetapi Dudley jarang berhasil mengenainya. Harry memang tidak kelihatan gesit, tetapi dia gesit sekali.
Mungkin ada hubungannya dengan tinggal di dalam lemari yang gelap, tetapi Harry termasuk kecil dan kurus untuk umurnya. Dia bahkan kelihatan lebih kecil dan lebih kurus dari yang sesungguhnya karena semua pakaiannya lungsuran Dudley, dan Dudley empat kali lebih besar daripadanya. Harry berwajah kurus, lututnya menonjol, rambutnya hitam, dan matanya hijau cemerlang. Dia memakai kacamata bulat yang bingkainya dilekat dengan banyak selotip karena seringnya Dudley memukul hidungnya. Satu-satunya yang disukai Harry penampilannya adalah bekas luka tipis pada dahinya yang berbentuk sambaran kilat. Sejauh yang dia ingat, dari dulu bekas litu sudah ada dan pertanyaan pertama yang seingatnya dia tanyakan kepada Bibi Petunia adalah bagaimana dia mendapatkan bekas luka itu.
"Dalam kecelakaan waktu orangtuamu meninggal," katanya. "Dan jangan tanya-tanya lagi."
Jangan tanya-tanya—itu peraturan pertama jika mau hidup tenang bersama keluarga Dursley.
Paman Vernon masuk dapur ketika Harry sedang membalik daging.
"Sisir rambutmu!" perintahnya, sebagai ucapan selamat paginya.
Sekali seminggu, Paman Vernon memandang dari atas korannya dan berteriak bahwa Harry harus potong rambut. Harry pastilah sudah potong rambut lebih sering dibanding seluruh teman sekelasnya sekaligus. Tetapi sama saja, rambutnya tetap saja tumbuh begitu—berantakan.
Harry sedang menggoreng telur ketika Dudley muncul di dapur dengan ibunya. Dudley mirip sekali dengan Paman Vernon. Wajahnya lebar dan merah jambu, lehernya pendek, matanya kecil, biru, berair. Rambutnya yang tebal pirang menempel rapi pada kepalanya yang gemuk. Bibi Petunia sering mengatakan bahwa Dudley kelihatan seperti bayi malaikat. Sedangkan Harry sering mengatakan Dudley seperti babi pakai wig.
Harry menaruh piring berisi daging dan telur ke atas meja. Ini susah, karena nyaris tak ada tempat. Dudley, sementara itu, menghitung hadiahnya. Wajahnya langsung cemberut.
"Tiga puluh enam," katanya sambil memandang ayah dan ibunya. "Kurang dua dibanding tahun lalu."
"Sayang, kau belum menghitung hadiah Bibi Marge, lihat, ini dia di bawah hadiah dari Mummy dan Daddy."
"Baik, tiga puluh tujuh, kalau begitu," kata Dudley, yang wajahnya sudah merah. Harry yang sudah bisa menduga kemarahan Dudley akan meledak, cepat-cepat mengunyah dagingnya. Siapa tahu Dudley akan menjungkirkan meja.
Bibi Petunia rupanya menyadari datangnya bahaya juga, karena dia cepat-cepat berkata, "Dan kami akan membelikan untukmu dua hadiah lagi kalau kita jalan-jalan nanti. Bagaimana, Manis? Dua hadiah tambahan. Oke, kan?"
Sejenak Dudley berpikir. Kelihatannya susah baginya. Akhirnya dia berkata pelan-pelan, "Jadi aku akan punya tiga puluh… tiga puluh…"
"Tiga puluh sembilan, anak pintar," kata Bibi Petunia.
"Oh." Dudley duduk dengan keras dan menjangkau bungkusan terdekat. "Baiklah."
Paman Vernon tertawa.
"Si kecil ini tak mau rugi, persis ayahnya. Pintar kau, Dudley!" Ia mengacak rambut Dudley.
Saat itu telepon berdering dan Bibi Petunia menjawabnya sementara Harry dan Paman Vernon menonton Dudley membuka sepeda balap, kamera, pesawat terbang mainan yang dikendalikan remote control, enam belas permainan komputer, dan perekam video. Dia sedang merobek kertas pembungkus arloji emas ketika Bibi Petunia muncul kembali dengan wajah marah dan cemas.
"Kabar buruk, Vernon," katanya. "Mrs Figg kakinya patah. Jadi tak bisa dititipi dia." Dia mengedikkan kepala ke arah Harry.
Mulut Dudley melongo ngeri, tetapi Harry senang. Setiap tahun, pada hari ulah tahun Dudley, orang tuanya mengajak Dudley dan seorang temannya jalan-jalan, ke taman hiburan, kios hamburger, atau menonton bioskop. Harry ditinggal, dititipkan pada Mrs Figg, wanita tua aneh yang tinggal dua jalan dari Privet Drive. Harry benci tinggal di sana. Seluruh rumahnya bau kol dan Mrs Figg memaksanya melihat foto-foto semua kucing yang pernah dimilikinya.
"Jadi bagaimana?" kata Bibi Petunia, memandang Harry dengan berang, seakan Harry yang merencanakan sakitnya Mrs Figg. Harry tahu dia seharusnya kasihan Mrs Figg kakinya patah, tetapi dia mengingatkan dirinya bahwa baru setahun lagi dia harus melihat foto Tibbles, Snowy, Mr Paws, dan Tufty.
"Kita bisa menelepon Marge," Paman Vernon menyarankan.
"Jangan ngaco, Vernon, dia kan benci anak itu."
Keluarga Dursley sering membicarakan Harry seperti ini, seakan anak ini tidak ada, atau lebih tepat lagi, seakan dia sesuatu yang sangat menjijikkan, seperti bekicot.
"Bagaimana kalau siapa-namanya-tuh, temanmu—Yvonne?"
"Sedang berlibur di Majorca," tukas Bibi Petunia.
"Kalian bisa meninggalkan aku di sini," Harry mengusulkan penuh harap (dia akan bisa menonton acara yang disukainya di televisi dan mungkin bahkan mencoba komputer Dudley).
Bibi Petunia kelihatan seperti tersedak telur.
"Dan kalau kami pulang nanti rumah sudah hancur?" geramnya.
"Aku tak akan meledakkan rumah," kata Harry, tetapi mereka tidak memedulikannya.
"Kurasa kita bisa membawanya ke kebun binatang," kata Bibi Petunia pelan, "… dan meninggalkannya di mobil…"
"Mobil kita baru, dia tak boleh duduk sendirian…"
Dudley mulai menangis meraung-raung. Sebetulnya sih dia tidak betul-betul menangis. Sudah bertahun-tahun dia tidak menangis. Tetapi dia tahu bahwa kalau dia mengerutkan mukanya dan meraung, ibunya akan mengabulkan semua yang diinginkannya.
"Dinky Duddydums, jangan menangis, Mummy tak akan membiarkannya merusak hari istimewamu!" Bibi Petunia berseru sambil memeluk Dudley.
"Aku… tak… mau… dia… i-i-ikut!" Dudley menjerit di antara isak pura-puranya. "Dia se-selalu merusak acara!" Dia menyeringai jahat ke arah Harry dari celah lengan ibunya.
Saat itu bel pintu berbunyi. "Ya ampun, mereka sudah datang!" kata Bibi Petunia panik—dan sekejap kemudian sahabat Dudley, Piers Polkiss, masuk bersama ibunya. Piers anak kurus dengan wajah seperti tikus. Dia biasanya yang memegangi lengan anak-anak di belakang punggung, Sementara Dudley memukuli mereka. Dudley langsung berhenti berpura-pura menangis.
Setengah jam kemudian, Harry yang tak mempercayai keberuntungannya, duduk di jok belakang mobil bersama Piers dan Dudley, menuju ke kebun binatang untuk pertama kali dalam hidupnya. Paman dan bibinya tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, tetapi sebelum mereka berangkat, Paman Vernon mengajaknya bicara.
"Kuperingatkan kau," katanya, wajahnya yang lebar keunguan dekat sekali dengan wajah Harry. "Kuperingatkan kau sekarang—kalau kau melakukan yang aneh-aneh sedikit saja—kau akan dikurung di lemari itu sampai Natal."
"Aku tidak akan melakukan apa-apa," kata Harry, "sungguh…"
Tetapi Paman Vernon tidak percaya. Yang lain pun tidak.
Susahnya, hal-hal aneh sering terjadi di sekitar Harry, dan tak ada gunanya memberitahu keluarga Dursley bahwa bukan dia yang menyebabkan hal-hal itu terjadi.
Pernah, Bibi Petunia yang sudah sebal melihat Harry pulang dari tukang cukur tetapi rambutnya kelihatan sama saja, mengambil gunting dapur dan memotong rambut Harry sampai pendek sekali, nyaris gundul, kecuali poninya yang sengaja tidak dipotongnya untuk "menyembunyikan bekas luka yang mengerikan". Dudley terbahak-bahak menertawakan Harry, sedangkan Harry sendiri semalaman tak bisa tidur, membayangkan bagaimana di sekolah keesokan harinya. Dia sudah selalu ditertawakan gara-gara pakaiannya yang kebesaran dan kacamatanya yang dilekat dengan selotip. Tapi paginya, ternyata rambutnya sudah persis lagi dengan sebelum Bibi Petunia mencukurnya. Dia dikurung selama seminggu dalam lemarinya gara-gara ini, walaupun dia sudah mencoba menerangkan bahwa dia tidak bisa menjelaskan bagaimana rambutnya bisa tumbuh kembali secepat itu.
Pada kesempatan lain, Bibi Petunia memaksanya memakai sweter tua Dudley yang menjijikkan (cokelat dengan bulatan-bulatan hitam). Semakin Bibi Petunia memaksa menariknya melewati kepala Harry, sweter itu semakin mengecil, sampai akhirnya cuma seukuran baju boneka tangan, dan jelas tak akan cukup dipakai Harry. Bibi Petunia memutuskan pastilah sweter itu mengerut ketika dicuci. Dan betapa leganya Harry, dia tidak dihukum karena ini.
Tetapi sebaliknya, dia mendapat kesulitan besar gara-gara ditemukan di atap dapur sekolah. Seperti biasa geng Dudley mengejar-ngejarnya, dan Harry sama kagetnya dengan yang lain ketika tiba-tiba saja dia sudah duduk di atas cerobong asap. Mr dan Mrs Dursley menerima surat dari Ibu Kepala Sekolah yang sangat marah, karena Harry telah memanjat-manjat bangunan sekolah. Tetapi sebetulnya yang dilakukannya hanyalah (seperti diteriakkannya kepada Paman Vernon dari dalam lemarinya yang terkunci) melompat ke belakang tempat sampah besar di luar pintu dapur. Harry menduga pastilah saat melompat itu dia terbawa angin ke atas.
Tetapi hari ini semua akan berjalan mulus. Bahkan duduk bersama Dudley dan Piers pun diterimanya, asal dia bisa melewatkan hari bukan di sekolah, di dalam lemarinya, atau di ruang tamu Mrs Figg yang bau kol.
Sementara mengemudi, Paman Vernon mengeluh kepada Bibi Petunia. Hobinya memang mengeluh: orang-orang di kantornya, Harry, para wakil rakyat, Harry, bank, dan Harry. Hanya beberapa saja dari topik favoritnya. Hari ini sepeda motor.
"… ngebut seperti orang gila, preman-preman kurang kerjaan," komentarnya ketika ada motor yang menyalip mereka.
"Aku pernah mimpi tentang motor," kata Harry yang tiba-tiba ingat mimpinya. "Motornya terbang."
Paman Vernon nyaris menabrak mobil di depannya. Dia berbalik di tempat duduknya dan berteriak kepada Harry, wajahnya seperti bit raksasa yang berkumis. "MOTOR TIDAK TERBANG!"
Dudley dan Piers cekikikan.
"Aku tahu motor tidak terbang," kata Harry. "Itu kan cuma mimpi."
Tetapi Harry menyesal sudah ngomong. Kalau ada hal lain yang dibenci keluarga Dursley, itu adalah jika Harry menyebut-nyebut sesuatu yang tidak semestinya terjadi, tak peduli peristiwa itu cuma dalam mimpi atau bahkan film kartun. Rupanya mereka berpendapat ide-ide Harry berbahaya.
Hari Sabtu itu cerah sekali dan kebun binatang penuh dikunjungi keluarga-keluarga. Mr dan Mrs Dursley membelikan Dudley dan Piers es krim cokelat besar di pintu masuk, dan karena si gadis penuh-senyum di mobil es krim itu sudah telanjur menanyai Harry dia ingin es krim apa sebelum mereka sempat mengajak Harry pergi, mereka membelikannya es loli lemon yang murah. Cukup enak juga, pikir Harry yang menjilati es lolinya sembari menonton gorila yang menggaruk-garuk kepalanya dan bertampang mirip Dudley, hanya saja rambutnya tidak pirang.
Belum pernah Harry segembira ini. Dia berhati-hati, berjalan agak jauh dari keluarga Dursley, agar Dudley dan Piers, yang menjelang makan siang sudah mulai bosan dengan binatang-binatang, tidak kembali melakukan hobi favorit mereka, yaitu memukulinya. Mereka makan di restoran kebun binatang dan ketika Dudley marah-marah karena es krimnya kurang besar, Paman Vernon membelikannya porsi yang lebih besar dan Harry diizinkan menghabiskan pesanan pertamanya.
Harry belakangan merasa, bahwa seharusnya dia tahu, hal menyenangkan seperti ini tak mungkin berlangsung terus.
Setelah makan siang mereka mengunjungi rumah reptil. Di dalam rumah reptil sejuk dan gelap, dengan jendela-jendela berlampu di sepanjang dindingnya. Di balik kaca, berjenis-jenis kadal dan ular merayap dan melata di atas potongan-potongan kayu dan batu. Dudley dan Piers ingin melihat kobra besar beracun dan sanca raksasa yang bisa meremuk manusia. Dudley segera menemukan ular terbesar di tempat itu. Ular itu bisa membelitkan tubuhnya dua kali ke mobil Paman Vernon dan meremuknya seperti kaleng kerupuk—tetapi saat ini kelihatannya dia sedang malas. Sebetulnya, dia malah sedang tidur nyenyak.
Dudley berdiri dengan hidung menempel di kaca, memandang gulungan cokelat berkilat itu.
"Suruh dia bergerak," rengeknya pada ayahnya. Paman Vernon mengetuk kaca tetapi si ular diam saja.
"Ketuk lagi," Dudley menyuruh. Paman Vernon mengetuk keras dengan buku-buku jarinya, tetapi si ular tetap saja tidur.
"Sungguh membosankan," keluh Dudley. Dia pergi.
Harry ganti bergerak ke dekat kaca dan memandang si ular lekat-lekat. Dia tak akan heran kalau si ular mati karena bosannya. Tak ada teman selain orang-orang bodoh yang mengetuk-ngetuk kaca, mencoba mengganggunya sepanjang hari. Ini lebih parah daripada menggunakan lemari sebagai kamar tidur, dengan satu-satunya pengunjung adalah Bibi Petunia yang menggedor-gedor pintu untuk membangunkannya—paling tidak dia kan bisa ke bagian rumah yang lain.
Ular itu tiba-tiba membuka matanya yang seperti manik-manik. Pelan, sangat pelan, ia mengangkat kepalanya sampai matanya sejajar dengan mata Harry.
Mata itu mengedip.
Harry terbelalak. Kemudian dia cepat-cepat memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang melihat. Ternyata memang tak ada. Dia kembali memandang si ular dan balas mengedip juga.
Si ular mengedikkan kepala ke arah Paman Vernon dan Dudley, kemudian mendongak ke langit-langit. Pandangannya kepada Harry seakan jelas berkata, "Sepanjang waktu memang seperti itu."
"Aku tahu," gumam Harry lewat kaca, meskipun dia tak yakin si ular bisa mendengarnya. "Pastilah sangat menyebalkan."
Si ular mengangguk-angguk bersemangat.
"Kau berasal dari mana sih?" tanya Harry.
Ular itu menggerakkan ekornya ke arah papan kecil di sebelah kaca. Harry membaca tulisannya.
Boa Pembelit, Brasil.
"Enakkah di sana?"
Si boa pembelit menunjuk dengan ekornya ke papan lagi dan Harry meneruskan membaca: Ular yang ada di sini dikembangbiakkan di kebun binatang. "Oh, begitu—jadi, kau belum pernah ke Brasil?"
Saat si ular menggelengkan kepala, teriakan memekakkan telinga di belakang Harry membuat mereka berdua terlonjak. "DUDLEY! MR DURSLEY! SINI LIHAT, ULARNYA MENGGELENG-GELENG! KALIAN TAK AKAN PERCAYA!"
Dudley datang tergopoh-gopoh.
"Minggir kau," katanya sambil meninju dada Harry. Karena tak menyangka akan diserang, Harry terjatuh di lantai beton. Apa yang terjadi berikutnya berlangsung begitu cepat sehingga tak ada yang melihat bagaimana terjadinya. Sesaat Piers dan Dudley berdiri menempel di kaca, detik berikutnya mereka melompat mundur sambil memekik ngeri.
Harry duduk ternganga: kaca bagian depan kandang si ular telah lenyap. Ular raksasa itu membuka gulungan tubuhnya dengan cepat, meluncur di lantai. Para pengunjung rumah reptile menjerit-jerit panik dan berlarian ke pintu keluar.
Saat si ular meluncur cepat melewatinya, Harry bersedia bersumpah dia mendengar suara desis pelan berkata, "Brasil, aku datang segera… Trimsss, Amigo."
Si penjaga rumah reptile shock dan bengong.
"Tapi kacanya," katanya terus-menerus, "ke mana kacanya?"
Direktur kebun binatang sendiri yang membuatkan secangkir teh kental manis untuk Bibi Petunia sambil tak henti-hentinya minta maaf. Piers dan Dudley cuma bisa merepet. Sejauh yang Harry lihat, ular itu tidak melakukan apa-apa, kecuali dengan main-main mengatup-ngatupkan mulutnya di dekat tumit Dudley dan Piers saat dia lewat. Tetapi ketika mereka sudah kembali ke mobil Paman Vernon, Dudley bercerita bagaimana si ular nyaris menggigit kakinya sampai putus, sementara Piers bersumpah si ular mencoba membelitnya sampai mati. Tetapi yang paling parah, paling tidak bagi Harry, adalah Piers sudah cukup tenang untuk berkata, "Harry tadi bicara dengan ular itu. Iya, kan, Harry?"
Paman Vernon menunggu sampai Piers meninggalkan rumah mereka, sebelum dia mulai mencecar Harry. Paman Vernon marah sekali, sampai nyaris tak bisa bicara. Dia hanya bisa bilang, "Pergi—lemari—tinggal sana—tidak makan," sebelum dia terenyak di kursi dan Bibi Petunia cepat-cepat lari mengambilkannya segelas besar brandy.
* * *
Lama kemudian Harry masih berbaring di dalam lemarinya yang gelap, ingin sekali rasanya punya arloji. Dia sama sekali tak tahu jam berapa sekarang dan dia juga tidak yakin keluarga Dursley sudah tidur. Sebelum mereka tidur, riskan sekali jika dia keluar dan mengendap-endap ke dapur untuk mengambil makanan.
Dia telah tinggal bersama keluarga Dursley selama sepuluh tahun, sepuluh tahun penuh penderitaan. Sejauh yang dia ingat, sejak dia masih bayi dan orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Kadang-kadang, jika dia mengingat-ingat dengan keras selama jam-jam panjang membosankan di dalam lemarinya, muncul dalam ingatannya pemandangan yang aneh: kilat cahaya hijau menyilaukan dan rasa sakit yang panas di dahinya. Dia menganggap ini pastilah saat tabrakan terjadi, walaupun dia tak bisa membayangkan dari mana cahaya hijau itu muncul. Dia sama sekali tidak bisa mengingat orangtuanya. Paman dan bibinya tidak pernah bicara tentang mereka, dan tentu saja dia dilarang mengajukan pertanyaan. Tak ada foto orangtuanya di rumah keluarga Dursley.
Waktu dia masih lebih kecil, Harry sering mengkhayalkan ada keluarga tak dikenal yang datang untuk membawanya pergi, tetapi ini tak pernah terjadi. Keluarga Dursley adalah satu-satunya keluarganya. Meskipun demikian kadang-kadang dia mengira (atau berharap) orang-orang asing di jalan mengenalnya. Dan mereka juga orang-orang asing yang sangat aneh. Pernah seorang laki-laki kecil memakai topi ungu membungkuk kepadanya ketika dia sedang berbelanja dengan Bibi Petunia dan Dudley. Setelah dengan marah menanyai Harry apakah dia kenal orang itu, Bibi Petunia buru-buru menggiring mereka keluar dari toko itu tanpa membeli apa pun. Seorang wanita tua bertampang liar dan berdandan serba-hijau melambai dengan riang kepadanya dari bus. Seorang laki-laki botak memakai mantel panjang ungu bahkan menjabat tangannya di jalan kemarin dulu dan kemudian pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Yang paling aneh tentang orang-orang ini adalah, tampaknya mereka langsung lenyap begitu Harry ingin melihat lebih jelas.
Di sekolah, Harry tak punya teman. Semua anak tahu bahwa geng Dudley membenci Harry Potter yang aneh dengan pakaian bekasnya yang kebesaran dan kacamatanya yang bingkainya patah, dan tak seorang pun berani menentang geng Dudley.

***

| @MutiaRKinasih |

No comments:

Post a Comment