Tuesday, September 10, 2013

Harry Potter and the Sorcerer's Stone — BAB 1 Anak Laki-Laki yang Bertahan Hidup

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Sumimasen~ Hari ini lagi berbaik hati nih mau share rangkaian novel karya J.K. Rowling, kalian pasti tahu kaaan? Yup! Harry Potter! Jadi buat kalian yang belum punya bukunya dan penasaran mau tahu jalan ceritanya, intip saja di sini! Hari ini, untuk Bab I dari novel pertama Harry Potter yaaa: Harry Potter and The Philosopher's (Sorcerer's) Stone. Check it out!


BAB I

Anak Laki-laki Yang Bertahan Hidup

MR dan Mrs Dursley yang tinggal di Privet Drive nomor empat bangga menyatakan diri bahwa mereka orang-orang yang normal, untunglah. Mereka tak bisa diharapkan terlibat dengan sesuatu yang ajaib atau misterius, karena mereka sama sekali tak percaya omong kosong seperti itu.
Mr Dursley adalah direktur Grunnings, perusahaan yang memproduksi bor. Dia laki-laki besar-gemuk, nyaris tanpa leher, walaupun kumisnya besar sekali. Mrs Dursley kurus berambut pirang, lehernya dua kali panjang leher biasa. Baginya ini menguntungkan, karena kegemarannya adalah menjulurkan leher di atas pagar-pagar, mengintip para tetangga. Suami-istri Dursley mempunyai seorang anak laki-laki kecil bernama Dudley dan menurut pendapat mereka, di dunia ini tak ada anak lain yang sehebat Dudley.
Keluarga Dursley memiliki segalanya yang mereka inginkan, tetapi mereka juga punya rahasia, dan ketakutan terbesar mereka adalah, kalau ada orang yang mengetahui rahasia ini. Mereka pikir mereka pasti tak tahan kalau sampai ada yang tahu tentang keluarga Potter. Mrs Potter adalah adik Mrs Dursley, tetapi sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Mrs Dursley malah berpura-pura tidak punya adik, karena adiknya dan suaminya yang tak berguna itu tak layak sama sekali menjadi kerabat keluarga Dursley. Mr dan Mrs Dursley bergidik memikirkan apa kata tetangga mereka jika keluarga Potter muncul di jalan mereka. Keluarga Dursley tahu bahwa keluarga Potter juga punya seorang anak laki-laki kecil, tetapi mereka belum pernah melihatnya. Anak ini salah satu alasan bagus lain kenapa mereka tak mau dekat-dekat keluarga Potter. Mereka tak ingin Dudley bergaul dengan anak seperti itu.
Ketika Mr dan Mrs Dursley bangun pada hari Selasa pagi yang mendung saat cerita kita ini mulai, tak ada tanda-tanda di langit berawan di luar bahwa akan terjadi hal-hal misterius dan aneh di seluruh negeri. Mr Dursley bersenandung ketika dia mengambil dasinya yang sangat membosankan untuk dipakainya bekerja, dan Mrs Dursley bergosip riang seraya berkutat dengan Dudley yang menjerit-jerit dan mendudukkan anak itu di kursinya yang tinggi.
Tak seorang pun dari mereka melihat seekor burung hantu besar kuning kecokelatan terbang melintasi jendela.
Pukul setengah sembilan Mr Dursley memungut tas kerjanya, mengecup pipi Mrs Dursley dan mencoba mengecup Dudley, tapi gagal, sebab sekarang Dudley ngadat dan melempar-lempar serealnya ke dinding. "Dasar anak-anak," senyum Mr Dursley sambil masuk ke mobilnya dan memundurkannya keluar dari garasi rumah nomor empat.
Di sudut jalanlah pertama kalinya dia menyadari ada sesuatu yang aneh—seekor kucing membaca peta. Sekejap Mr Dursley tidak menyadari apa yang telah dilihatnya—kemudian dia menoleh untuk melihat sekali lagi. Ada kucing betina berdiri di ujung Jalan Privet Drive, tapi sama sekali tak kelihatan ada peta. Rupanya tadi cuma khayalannya. Pasti itu tipuan cahaya. Mr Dursley berbelok di sudut dan meneruskan perjalanan, dia memandang kucing itu lewat kaca spionnya. Kucing itu sekarang sedang membaca papan jalan yang bertulisan Privet Drive—bukan, bukan membaca melainkan memandang papan jalan itu, kucing tidak bisa membaca peta atau papan jalan. Mr Dursley menggelengkan kepalanya dan mencoba melupakan kucing itu. Selama mengendarai mobilnya ke kota, yang dipikirkannya hanyalah pesanan bor dalam jumlah besar yang akan didapatnya hari itu.
Tetapi menjelang masuk kota, bor tergusur keluar dari pikirannya oleh sesuatu yang lain. Sementara terjebak macet seperti biasanya, dia melihat banyak orang berpakaian aneh. Orang-orang yang memakai jubah. Mr Dursley tak tahan melihat orang yang berpakaian aneh-aneh—dandanan anak-anak muda zaman sekarang! Dia kira jubah bloon ini sedang mode. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi mobil dan matanya menatap serombongan orang aneh yang berdiri cukup dekat. Mereka sedang berbisik-bisik dengan tegang. Mr Dursley sebal sekali melihat bahwa dua di antara mereka sama sekali tidak muda lagi. Yang pakai jubah hijau zamrud itu bahkan lebih tua dari dia! Kelewatan benar! Tetapi kemudian terlintas di benaknya bahwa mereka mungkin sengaja berdandan seperti itu—mereka pastilah sedang mengumpulkan dana entah untuk apa—ya, pasti begitu. Kendaraan-kendaraan mulai bergerak, dan beberapa menit kemudian Mr Dursley tiba di tempat parkir Grunnings, pikirannya kembali dipenuhi bor.
Mr Dursley selalu duduk membelakangi jendela di kantornya di lantai sembilan. Jika tidak, mungkin sulit baginya untuk berkonsentrasi pada bor pagi itu. Dia tidak melihat burung-burung hantu terbang berseliweran di siang hari, meskipun orang-orang lain di jalan melihatnya. Orang-orang itu melongo dan menunjuk-nunjuk ketika burung-burung hantu tak putus-putusnya beterbangan. Sebagian besar dari mereka belum pernah melihat burung hantu, di malam hari sekalipun. Tetapi Mr Dursley melewatkan pagi yang normal, tanpa gangguan burung hantu. Dia berteriak pada lima orang yang berbeda. Dia melakukan beberapa pembicaraan telepon penting dan berteriak beberapa kali lagi. Hatinya sedang senang, sampai waktu makan siang, ketika dia memutuskan akan melemaskan kaki dan berjalan ke toko kue di seberang jalan.
Dia sudah lupa sama sekali pada orang-orang berjubah, sampai dia melewati serombongan lagi di sebelah toko kue. Dia mendelik gusar kepada mereka. Dia tidak tahu kenapa, tetapi mereka membuatnya resah. Rombongan yang ini juga berbisik-bisik tegang dan dia sama sekali tidak melihat satu pun kotak pengumpul dana. Saat melewati mereka lagi dalam perjalanan kembali ke kantor, dia mendengar beberapa kata yang mereka ucapkan.
"Keluarga Potter, betul, begitu yang kudengar…"
"… ya, anak mereka, Harry…"
Mr Dursley langsung berhenti. Ketakutan melandanya. Dia menoleh memandang mereka yang berbisik-bisik itu, seakan mau mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
Dia cepat-cepat menyeberang jalan, bergegas naik ke kantornya, dengan galak menyuruh sekretarisnya agar tidak mengganggunya, menyambar teleponnya, dan sudah hampir selesai menghubungi nomor rumahnya ketika dia berubah pikiran. Dia meletakkan kembali gagang telepon dan mengelus-elus kumisnya sambil berpikir… tidak, dia bodoh. Potter bukan nama yang tidak umum. Dia yakin ada banyak orang bernama Potter yang mempunyai anak bernama Harry. Dia bahkan belum pernah melihat anak itu. Siapa tahu namanya Harvey. Atau Harold. Tak ada gunanya membuat cemas Mrs Dursley. Dia selalu jadi cemas kalau nama adiknya disebut-sebut. Mr Dursley tidak menyalahkannya—kalau dia sendiri punya adik seperti itu… tapi, orang-orang yang memakai jubah itu…
Sulit baginya untuk berkonsentrasi pada bor sore itu, dan ketika meninggalkan kantornya pada pukul lima sore, dia masih cemas sehingga menabrak orang di depan pintu.
"Maaf," gumamnya, ketika laki-laki tua yang ditabraknya terhuyung nyaris jatuh. Sesaat kemudian baru Mr Dursley menyadari, laki-laki itu memakai jubah ungu. Dia kelihatannya sama sekali tidak marah ditabrak sampai hampir jatuh. Sebaliknya, dia malah nyengir lebar dan berkata dengan suara melengking yang membuat orang-orang yang lewat menoleh, "Jangan minta maaf, Sir, karena tak ada yang bisa membuatku marah hari ini! Bergembiralah, karena Kau-Tahu-Siapa telah pergi akhirnya! Bahkan Muggle seperti Anda pun harus ikut merayakan hari yang amat sangat membahagiakan ini!"
Dan laki-laki tua itu memeluk pinggang Mr Dursley, lalu pergi.
Mr Dursley berdiri terpaku di tempatnya. Dia baru saja dipeluk oleh orang yang sama sekali asing. Seingatnya dia juga disebut Muggle, entah apa artinya itu. Dia jadi bingung. Dia bergegas ke mobilnya dan pulang, berharap bahwa semua tadi hanya khayalannya. Ini sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, karena dia orang yang tak suka berkhayal.
Ketika mobilnya meluncur masuk ke pekarangan rumah nomor empat, yang pertama kali dilihatnya—dan ini tidak membuatnya bertambah lega—adalah kucing betina yang telah dilihatnya pagi tadi. Kucing itu sekarang duduk di atas tembok pekarangannya. Mr Dursley yakin itu kucing yang sama. Dia punya tanda yang sama di sekeliling kedua matanya.
"Shuh!" Mr Dursley mengusirnya.
Kucing itu tidak bergerak. Dia malah menatap galak Mr Dursley. Apa ini perilaku normal kucing? pikir Mr Dursley. Sambil berusaha menenangkan diri, dia masuk rumah. Dia masih bertekad tidak akan mengatakan apa-apa kepada istrinya.
Mrs Dursley melewatkan hari yang normal dan menyenangkan. Saat makan malam dia bercerita kepada Mr Dursley tentang ibu tetangga yang punya masalah dengan anak perempuannya dan bahwa Dudley sudah bisa ngomong kalimat baru ("Tak mau!"). Mr Dursley berusaha bersikap biasa. Ketika Dudley sudah ditidurkan, Mr Dursley ke ruang keluarga untuk mendengarkan kabar terakhir dalam berita malam.
"Dan akhirnya, para pengamat burung dari segala tempat melaporkan bahwa burung hantu di seluruh negeri bersikap aneh sekali hari ini. Meskipun burung hantu normalnya berburu di malam hari dan jarang terlihat di siang hari, ratusan orang melihat burung-burung hantu beterbangan ke segala penjuru sejak matahari terbit. Para ahli tidak dapat menjelaskan kenapa para burung hantu mengubah pola tidur mereka." Pembawa berita tersenyum. "Sungguh aneh. Dan sekarang, kita bergabung dengan Jim McGuffin yang akan menyampaikan ramalan cuaca. Malam ini akan hujan burung hantu lagi, Jim?"
"Wah, Ted," kata si peramal cuaca, "aku tak tahu tentang itu, tetapi bukan cuma burung hantu yang bersikap aneh hari ini. Para pemirsa sampai sejauh Kent, Yorkshire, dan Dundee bergantian meneleponku untuk memberitahu bahwa alih-alih hujan seperti yang kuramalkan kemarin, yang mereka dapat adalah bintang-bintang jatuh! Mungkin orang-orang merayakan Bonfire Night kelewat awal—padahal pesta kembang api seharusnya baru minggu depan, para pemirsa! Tetapi malam ini bisa dipastikan hujan akan turun!"
Mr Dursley terenyak di kursi berlengannya. Bintang jatuh di seluruh Inggris? Burung-burung hantu beterbangan di siang hari? Orang-orang misterius berjubah di mana-mana? Dan bisik-bisik, bisik-bisik tentang keluarga Potter…
Mrs Dursley masuk ruang keluarga membawa dua cangkir teh. Percuma. Dia harus mengatakan sesuatu kepada istrinya. Mr Dursley berdeham panik.
"Ehm—Petunia sayang—belakangan ini ada kabar apa dari adikmu?"
Seperti dugaannya, Mrs Dursley kelihatan kaget dan marah. Yah, biasanya kan mereka berpura-pura dia tidak punya adik.
"Tidak ada," jawabnya ketus.
"Memangnya kenapa?"
"Ada berita aneh tadi," gumam Mr Dursley. "Burung hantu… bintang jatuh… dan ada banyak orang bertampang aneh di jalan hari ini."
"Jadi?" tukas Mrs Dursley.
"Yah, aku cuma berpikir… mungkin… ada kaitannya dengan… kau tahu, kan… kelompoknya."
Mrs Dursley menyeruput tehnya dengan bibir cemberut. Mr Dursley mempertimbangkan, beranikah dia memberitahu istrinya bahwa dia telah mendengar nama Potter disebut-sebut. Dia memutuskan tidak berani saja. Sebagai gantinya dia berkata sebiasa mungkin, "Anak mereka—seumuran Dudley, kan?"
"Kayaknya sih," kata Mrs Dursley kaku.
"Siapa ya, namanya? Howard, kan?"
"Harry. Nama jelek dan kodian, menurutku."
"Oh, ya," kata Mr Dursley, hatinya mencelos. "Ya, aku setuju."
Dia tak lagi menyinggung-nyinggung masalah itu ketika mereka naik ke kamar tidur. Sementara Mrs Dursley di kamar mandi, Mr Dursley merayap ke jendela kamar dan mengintip ke halaman depan. Kucing itu masih ada. Dia sedang menatap ke jalanan, seakan menunggu sesuatu.
Apakah ini hanya khayalannya? Mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan keluarga Pottter? Kalau betul begitu… kalau sampai bocor bahwa mereka masih kerabat pasangan… wah, dia tak akan tahan.
Suami-istri Dursley naik ke tempat tidur. Mrs Dursley segera tertidur, tetapi Mr Dursley tidak. Dia memikirkan segala kemungkinan. Pikiran terakhir dan menenangkan sebelum dia tertidur adalah, seandainya pun keluarga Potter memang terlibat, tak ada alasan bagi mereka untuk datang ke tempat keluarga Dursley. Mereka tahu bagaimana pendapat dirinya dan Mrs Dursley mengenai mereka dan jenis mereka… Mr Dursley tak melihat bagaimana dia dan Petunia bisa terlibat dengan entah apa yang sedang berlangsung ini. Dia menguap dan berbalik. Semua itu tak akan mempengaruhi mereka…
Betapa kelirunya dia.
Mr Dursley mungkin saja bisa tidur, walau tak nyenyak, tetapi kucing di atas tembok di luar sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Dia duduk diam bagai patung, matanya memandang tanpa kedip ke sudut Privet Drive di kejauhan. Ketika ada pintu mobil digabrukkan di jalan sebelah, dia tetap bergeming. Begitu juga ketika ada dua burung hantu melayang di atasnya. Kucing itu baru bergerak menjelang tengah malam.
Seorang laki-laki muncul di sudut yang diawasi si kucing. Kemunculannya begitu mendadak dan tanpa suara, sehingga kau akan mengira dia muncul begitu saja dari dalam tanah. Ekor si kucing bergerak dan matanya menyipit.
Belum pernah ada orang semacam ini di Privet Drive. Dia tinggi, kurus, dan sudah tua sekali, kalau dilihat dari rambut dan jenggot putihnya yang cukup panjang untuk diselipkan di ikat pinggangnya. Dia memakai jubah ungu panjang yang menyapu jalan dan sepatu bot bergesper dengan hak tinggi. Matanya biru terang dan bercahaya di balik kacamatanya yang berbentuk bulan-separo dan hidungnya panjang serta bengkok, seakan sudah pernah patah paling tidak dua kali. Nama laki-laki ini Albus Dumbledore.
Albus Dumbledore tampaknya tidak menyadari bahwa dia baru saja tiba di jalan tempat segala sesuatu dari namanya sampai sepatunya tidak diinginkan. Dia sibuk memeriksa jubahnya, mencari sesuatu. Tetapi tampaknya dia sadar dia diawasi, karena mendadak saja dia mendongak memandang si kucing, yang masih memandangnya dari ujung lain jalan. Entah karena apa, melihat kucing ini dia tampak geli.
Dia berdecak dan bergumam, "Seharusnya aku tahu."
Dia sudah menemukan apa yang dicarinya di kantong sebelah dalam. Ternyata korek api perak. Dibukanya, diangkatnya ke udara, lalu dinyalakannya. Lampu jalan terdekat padam dengan bunyi pop pelan. Dinyalakannya lagi, lampu berikutnya ikut padam. Dua belas kali ia menyalakan Pemadam-Lampu, sampai cahaya yang tinggal hanyalah dua sorot kecil mungil di kejauhan, yaitu mata si kucing yang mengawasinya. Jika ada orang yang melongok keluar dari jendela sekarang, bahkan si mata-tajam Mrs Dursley pun tidak akan melihat apa yang sedang terjadi di trotoar. Dumbledore menyelipkan Pemadam-Lampu ke dalam jubahnya lagi dan berjalan menuju rumah nomor empat. Setiba di sana dia duduk di sebelah si kucing. Dumbledore tidak memandangnya, tetapi setelah beberapa saat dia mengajaknya bicara.
"Tak disangka kita bertemu di sini ya, Profesor McGonagall."
Dia menoleh untuk tersenyum pada si kucing betina, tetapi kucing itu sudah tak ada. Alih-alih kucing, dia tersenyum pada wanita bertampang agak galak yang memakai kacamata persegi, persis bentuk yang melingkari mata si kucing. Wanita itu juga memakai jubah, warnanya hijau zamrud. Rambut hitamnya digelung ketat. Dia kelihatan bingung.
"Bagaimana kau bisa tahu kucing itu aku?" tanyanya.
"Profesorku, belum pernah aku melihat kucing yang duduk begitu kaku."
"Kau pun akan kaku kalau sudah duduk di tembok bata seharian," kata Profesor McGonagall.
"Seharian? Padahal seharusnya kau bisa merayakan hari gembira ini? Aku melewati paling tidak selusin pesta dan perayaan dalam perjalanan kemari."
Profesor McGonagall mendengus marah.
"Oh ya, semua merayakan," katanya tak sabar. "Kau pikir mereka akan lebih hati-hati, tetapi tidak—bahkan para Muggle pun merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Itu disiarkan di warta berita mereka." Dia mengedikkan kepalanya ke arah jendela ruang keluarga Dursley yang gelap. "Aku mendengarnya. Rombongan burung hantu… bintang jatuh… Nah, mereka kan tidak bego. Keanehan ini menarik perhatian mereka. Bintang jatuh di Kent—aku berani bertaruh itu Dedalus Diggle. Dari dulu dia kurang perhitungan."
"Kau tak bisa menyalahkan mereka," kata Dumbledore lembut. "Tak ada yang benar-benar bisa kita rayakan selama sebelas tahun ini."
"Aku tahu," kata Profesor McGonagall jengkel. "Tapi itu bukan alasan bagi kita untuk lupa diri. Orang-orang ceroboh sekali, berkeliaran di jalan di siang bolong, bahkan tidak memakai pakaian Muggle, bertukar gosip."
Dia melirik tajam Dumbledore, seakan berharap Dumbledore akan memberitahunya sesuatu, tetapi ternyata tidak, maka dia meneruskan, "Bagus sekali jika pada hari Kau-Tahu-Siapa akhirnya menghilang, bangsa Muggle akhirnya juga tahu tentang kita. Kira-kira dia betul sudah pergi, Dumbledore?"
"Kelihatannya begitu," kata Dumbledore. "Banyak yang harus kita syukuri. Kau mau permen jeruk?"
"Apa?"
"Permen jeruk. Permen Muggle yang kusukai."
"Tidak, terima kasih," kata Profesor McGonagall dingin, seakan menurut dia ini bukan saatnya untuk makan permen jeruk. "Seperti kukatakan, bahkan jika Kau-Tahu-Siapa sudah pergi…"
"Profesorku yang baik, tentunya orang bijaksana seperti kau bisa menyebut namanya? Segala omong-kosong ‘Kau-Tahu-Siapa’—selama sebelas tahun aku sudah berusaha membujuk orang-orang agar menyebutnya dengan namanya yang sebenarnya: Voldemort." Profesor McGonagall berjengit, tetapi Dumbledore, yang sedang membuka bungkus dua permen jeruk, kelihatannya tidak tahu. "Jadi sangat membingungkan jika kita selalu berkata ‘Kau-Tahu-Siapa’. Aku tak melihat alasan kita harus takut menyebut nama Voldemort."
"Aku tahu," kata Profesor McGonagall, kedengarannya setengah putus asa, setengah kagum. "Tetapi kau lain. Semua tahu kau satu-satunya yang ditakuti si Kau-Tahu—oh, baiklah, Voldemort."
"Kau membuatku tersanjung," jawab Dumbledore tenang. "Voldemort memiliki kekuatan yang tak akan pernah kumiliki."
"Hanya karena kau terlalu—yah, mulia untuk menggunakannya."
"Untung sekarang gelap. Belum pernah mukaku semerah ini sejak Madam Pomfrey mengatakan dia menyukai tutup telingaku yang baru."
Profesor McGonagall memandang tajam Dumbledore dan berkata, "Burung-burung hantu itu bukan apa-apa dibanding dengan kabar burung yang tersebar. Kau tahu apa yang dikatakan semua orang? Tentang apa yang akhirnya menghentikannya?"
Kelihatannya Profesor McGonagall telah mencapai pokok masalah yang ingin sekali didiskusikannya, alasan kenapa dia duduk menunggu di atas tembok keras dingin sepanjang hari, karena tidak sebagai kucing ataupun sebagai perempuan dia pernah memandang Dumbledore setajam sekarang. Jelas bahwa apa pun yang dikatakan "semua orang", tak akan dipercayainya sampai Dumbledore mengatakan kepadanya bahwa itu benar. Tapi Dumbledore malah memilih permen jeruk yang lain dan tidak menjawab.
"Apa yang mereka katakan," dia meneruskan, "adalah bahwa tadi malam Voldemort muncul di Godric’s Hollow. Dia datang mencari keluarga Potter. Menurut gosip, Lily dan James Potter sudah—sudah—mereka sudah meninggal."
Dumbledore menundukkan kepalanya. Profesor McGonagall memekik kaget.
"Lily dan James… tak bisa kupercaya… aku tak mau percaya… Oh, Albus…"
Dumbledore mengulurkan tangan dan membelai bahu Profesor McGonagall. "Aku tahu… aku tahu…," katanya sedih.
Suara Profesor McGonagall bergetar ketika dia meneruskan, "Itu belum semua. Kata mereka dia mencoba membunuh anak keluarga Potter, Harry. Tetapi—dia tidak bisa. Dia tidak berhasil membunuh anak kecil itu. Tak ada yang tahu kenapa atau bagaimana, tetapi mereka bilang, bahwa ketika dia gagal membunuh Harry Potter, kekuatan Voldemort punah—dan itulah sebabnya dia menghilang."
Dumbledore mengangguk tanpa bicara.
"Jadi—jadi betul?" Profesor McGonagall tergagap. "Setelah semua yang dilakukannya… semua orang yang telah dibunuhnya… dia tak bisa membunuh anak yang boleh dikatakan masih bayi? Sungguh mengherankan… mengingat segala upaya untuk menghentikan sepak terjangnya… tetapi bagaimana mungkin Harry bisa bertahan?"
"Kita cuma bisa menduga," kata Dumbledore. "Kita mungkin tak akan pernah tahu."
Profesor McGonagall menarik sehelai saputangan sutra dan mengusap mata di balik kacamatanya. Dumbledore menyedot hidung keras sambil mengambil jam emas dari dalam sakunya dan memandangnya. Jam itu sudah sangat tua. Jarumnya ada dua belas, tetapi tidak ada angkanya. Sebagai gantinya, planet-planet kecil bergerak mengitari tepinya. Tapi Dumbledore pasti bisa mengartikannya, karena dia mengembalikan jam itu ke sakunya dan berkata, "Hagrid terlambat. Kurasa dia yang memberitahumu bahwa aku akan ada di sini, kan?"
"Ya," jawab Profesor McGonagall. "Dan kurasa kau tidak akan memberitahuku kenapa kau sampai berada di sini?"
"Aku datang untuk mengantar Harry kepada bibi dan pamannya. Hanya merekalah keluarganya yang tinggal sekarang."
"Kau tidak—yang kaumaksudkan tak mungkin orang-orang yang tinggal di sini?" seru Profesor McGonagall seraya melompat berdiri dan menunjuk rumah nomor empat. "Dumbledore—jangan. Aku sudah mengamati mereka sepanjang hari. Takkan bisa kautemukan dua orang yang sangat berbeda dari kita seperti mereka. Dan mereka punya anak—kulihat anak ini menendang-nendang ibunya sepanjang jalan ini, menjerit-jerit minta permen. Harry Potter akan tinggal di sini?"
"Ini tempat paling baik untuknya," kata Dumbledore tegas. "Bibi dan pamannya akan bisa menjelaskan segalanya kepadanya kalau dia sudah lebih besar. Aku sudah menulis surat kepada mereka."
"Surat?" Profesor McGonagall mengulangi dengan lesu, kembali duduk di atas tembok. "Astaga, Dumbledore, kaupikir kau bisa menjelaskan semua ini dalam surat? Orang-orang ini tak akan pernah memahami Harry! Dia akan jadi orang terkenal—jadi legenda—aku tak akan heran jika di masa depan nanti, hari ini akan dijadikan Hari Harry Potter—akan ada buku-buku tentang Harry yang ditulis—semua anak di dunia kita akan mengenal namanya!"
"Justru itu," kata Dumbledore, memandang dengan sangat serius di atas lensa kacamatanya yang berbentuk bulan-separo. "Semua itu bisa membuat sombong anak mana pun. Sudah terkenal sebelum dia bisa berjalan dan bicara! Terkenal gara-gara sesuatu yang ingat pun dia tidak! Tak bisakah kaulihat, akan jauh lebih baik baginya jika dia dibesarkan jauh dari semua itu, sampai dia sudah siap menerimanya."
Profesor McGonagall membuka mulut, berubah pikiran, menelan ludah, dan kemudian berkata, "Ya—ya, kau benar, tentu saja. Tetapi bagaimana anak itu bisa tiba di sini, Dumbledore?" Mendadak diamatinya jubah Dumbledore, seakan dia mengira Dumbledore mungkin saja menyembunyikan anak itu di balik jubahnya.
"Hagrid yang akan mengantarnya."
"Kaupikir—bijaksana mempercayakan hal sepenting ini kepada Hagrid?"
"Aku akan mempercayakan hidupku kepada Hagrid," kata Dumbledore.
"Aku tidak bermaksud mengatakan hatinya tidak berada di tempatnya yang benar," kata Profesor McGonagall menggerundel, "tetapi kau tak bisa berpura-pura tak tahu dia ceroboh. Dia kan cenderung… apa itu?"
Derum rendah memecah kesunyian di sekitar mereka. Derum itu makin lama makin keras sementara mereka memandang ke ujung jalan, mencari-cari lampu kendaraan. Bunyi itu membesar seperti raungan sementara mereka bedua mendongak ke langit—dan sebuah motor luar biasa besar jatuh dari angkasa, mendarat di jalan di depan mereka.
Sepeda motor besar itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan laki-laki yang duduk di atasnya. Tingginya nyaris dua kali laki-laki dewasa dan lima kali lebih lebar. Besarnya sungguh kelewatan, dan dia begitu liar—rambut panjangnya yang hitam dan lebat kusut dan jenggotnya yang juga lebat menyembunyikan sebagian besar wajahnya. Tangannya sebesar tutup tempat sampah dan kakinya yang memakai sepatu bot kulit seperti lumba-lumba kecil. Lengannya yang besar dan berotot memeluk bungkusan selimut.
"Hagrid," kata Dumbledore lega. "Akhirnya. Dan dari mana kaudapat sepeda motor itu?"
"Pinjam, Profesor Dumbledore," jawab si raksasa, sambil turun dengan hati-hati dari motor itu. "Sirius Black muda pinjamkan padaku. Aku dapat dia, Sir."
"Tidak ada kesulitan, kan?"
"Tidak, Sir—rumah nyaris hancur, tapi aku berhasil ambil dia sebelum para Muggle berdatangan. Dia tertidur ketika kami terbang melewati Bristol."
Dumbledore dan Profesor McGonagall membungkuk ke arah bungkusan selimut. Di dalamnya ada seorang bayi laki-laki, tertidur nyenyak. Di balik sejumput rambut hitam pekat di atas dahinya mereka bisa melihat luka berbentuk aneh, seperti sambaran kilat.
"Itukah…?" bisik Profesor McGonagall.
"Ya," kata Dumbledore. "Bekas lukanya tak akan hilang selamanya."
"Tak bisakah kau melakukan sesuatu, Dumbledore?"
"Kalaupun bisa, aku tak mau. Bekas luka kadang-kadang ada gunanya. Aku sendiri punya bekas luka di atas lutut kiri yang berupa peta jalur kereta api bawah tanah London. Nah, berikan anak itu, Hagrid. Lebih baik segera kita bereskan."
Dumbledore menggendong Harry dan berbalik menuju rumah keluarga Dursley.
"Bolehkah—bolehkah aku ucapkan selamat tinggal padanya, Sir?" tanya Hagrid.
Dia menundukkan kepalanya yang besar berambut lebat dan memberi si bayi kecupan yang pastilah membuat gatal gara-gara gesekan kumisnya. Kemudian mendadak Hagrid melolong seperti anjing yang terluka.
"Shhh!" desah Profesor McGonagall. "Kau akan membangunkan para Muggle!"
"M-m-maaf," isak Hagrid, seraya mengeluarkan saputangan besar berbintik-bintik dan membenamkan wajahnya di dalamnya. "Tapi aku t-t-tak tahan—Lily dan James meninggal—dan kasihan Harry harus tinggal dengan Muggle…"
"Ya, ya, memang sangat menyedihkan, tetapi kendalikan dirimu, Hagrid. Kalau tidak, kita bisa ketahuan," bisik Profesor McGonagall sambil membelai-belai lengan Hagrid dengan amat hati-hati, sementara Dumbledore melangkahi tembok halaman yang rendah dan berjalan ke pintu depan. Dengan hati-hati dibaringkannya Harry di depan pintu. Diambilnya sehelai surat dari dalam jubahnya dan diselipkannya di balik selimut Harry. Setelah itu dia kembali bergabung dengan dua orang lainnya. Selama semenit penuh ketiganya memandang bungkusan kecil itu. Bahu Hagrid berguncang, Profesor McGonagall berkali-kali mengejapkan matanya, dan kilat yang biasanya ada di mata Dumbledore seakan telah padam.
"Nah," kata Dumbledore akhirnya, "begitulah. Tak ada gunanya lagi kita tinggal di sini. Lebih baik kita pergi dan ikut perayaan."
"Yeah," kata Hagrid sengau. "Aku akan kembalikan motor Sirius. Malam, Profesor McGonagall… Profesor Dumbledore."
Sambil menyeka air matanya yang mengucur terus dengan lengan jaketnya, Hagrid melompat ke atas motornya dan menstarternya. Diiringi deruman, motor itu terangkat ke angkasa dan meluncur dalam kegelapan malam.
"Kita akan segera bertemu lagi, Profesor McGonagall," kata Dumbledore sambil mengangguk kepadanya. Sebagai jawaban, Profesor McGonagall membuang ingus.
Dumbledore berbalik dan berjalan pergi. Di sudut dia berhenti dan mengeluarkan Pemadam-Lampu peraknya. Dijetreknya sekali, dan dua belas bola cahaya serentak meluncur menuju lampu-lampu jalanan, sehingga Privet Drive mendadak terang dan dia bisa melihat seekor kucing betina menyelinap ke sudut di ujung jalan lainnya. Dia juga masih bisa melihat bungkusan selimut di depan pintu rumah nomor empat.
"Semoga semua baik, Harry," gumamnya. Dia memutar tumitnya dan dengan kebutan jubahnya, dia lenyap.
Angin sepoi meniup pagar-pagar tanaman di Privet Drive yang rapi, yang berjajar diam dan teratur di bawah langit kelam. Di tempat setenang ini tidak akan pernah kausangka akan terjadi hal-hal menakjubkan. Harry Potter berguling dalam selimutnya tanpa terbangun. Dengan salah satu tangan kecilnya memegang surat yang ada di sampingnya, dia tidur terus. Tanpa menyadari bahwa dia istimewa, tanpa menyadari bahwa dia terkenal, tanpa menyadari bahwa beberapa jam lagi dia akan terbangun mendengar jeritan Mrs Dursley saat membuka pintu depan untuk menaruh botol-botol susu, atau bahwa dia akan melewatkan beberapa minggu mendatang didorong-dorong dan dicubiti oleh sepupunya, Dudley… Dia tak mungkin tahu bahwa pada saat ini, orang-orang yang berkumpul secara rahasia di seluruh negeri, semua mengangkat gelas dan berkata dengan suara pelan, "Untuk Harry Potter—anak laki-laki yang bertahan hidup!"
***

| @MutiaRKinasih |

No comments:

Post a Comment