Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, Sumimasen~ Hari ini lagi berbaik hati nih mau share rangkaian novel karya J.K. Rowling, kalian pasti tahu kaaan? Yup! Harry Potter! Jadi buat kalian yang belum punya bukunya dan penasaran mau tahu jalan ceritanya, intip saja di sini! Hari ini, untuk Bab I dari novel pertama Harry Potter yaaa: Harry Potter and The Philosopher's (Sorcerer's) Stone. Check it out!
BAB I
BAB I
Anak
Laki-laki Yang Bertahan Hidup
MR
dan Mrs Dursley yang tinggal di Privet Drive nomor empat bangga menyatakan diri
bahwa mereka orang-orang yang normal, untunglah. Mereka tak bisa diharapkan
terlibat dengan sesuatu yang ajaib atau misterius, karena mereka sama sekali
tak percaya omong kosong seperti itu.
Mr
Dursley adalah direktur Grunnings, perusahaan yang memproduksi bor. Dia laki-laki
besar-gemuk, nyaris tanpa leher, walaupun kumisnya besar sekali. Mrs Dursley
kurus berambut pirang, lehernya dua kali panjang leher biasa. Baginya ini
menguntungkan, karena kegemarannya adalah menjulurkan leher di atas
pagar-pagar, mengintip para tetangga. Suami-istri Dursley mempunyai seorang
anak laki-laki kecil bernama Dudley dan menurut pendapat mereka, di dunia ini
tak ada anak lain yang sehebat Dudley.
Keluarga
Dursley memiliki segalanya yang mereka inginkan, tetapi mereka juga punya
rahasia, dan ketakutan terbesar mereka adalah, kalau ada orang yang mengetahui
rahasia ini. Mereka pikir mereka pasti tak tahan kalau sampai ada yang tahu
tentang keluarga Potter. Mrs Potter adalah adik Mrs Dursley, tetapi sudah
bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Mrs Dursley malah berpura-pura tidak punya
adik, karena adiknya dan suaminya yang tak berguna itu tak layak sama sekali
menjadi kerabat keluarga Dursley. Mr dan Mrs Dursley bergidik memikirkan apa
kata tetangga mereka jika keluarga Potter muncul di jalan mereka. Keluarga
Dursley tahu bahwa keluarga Potter juga punya seorang anak laki-laki kecil,
tetapi mereka belum pernah melihatnya. Anak ini salah satu alasan bagus lain
kenapa mereka tak mau dekat-dekat keluarga Potter. Mereka tak ingin Dudley
bergaul dengan anak seperti itu.
Ketika Mr dan Mrs Dursley bangun pada hari Selasa pagi yang mendung saat cerita kita ini mulai, tak ada tanda-tanda di langit berawan di luar bahwa akan terjadi hal-hal misterius dan aneh di seluruh negeri. Mr Dursley bersenandung ketika dia mengambil dasinya yang sangat membosankan untuk dipakainya bekerja, dan Mrs Dursley bergosip riang seraya berkutat dengan Dudley yang menjerit-jerit dan mendudukkan anak itu di kursinya yang tinggi.
Ketika Mr dan Mrs Dursley bangun pada hari Selasa pagi yang mendung saat cerita kita ini mulai, tak ada tanda-tanda di langit berawan di luar bahwa akan terjadi hal-hal misterius dan aneh di seluruh negeri. Mr Dursley bersenandung ketika dia mengambil dasinya yang sangat membosankan untuk dipakainya bekerja, dan Mrs Dursley bergosip riang seraya berkutat dengan Dudley yang menjerit-jerit dan mendudukkan anak itu di kursinya yang tinggi.
Tak
seorang pun dari mereka melihat seekor burung hantu besar kuning kecokelatan
terbang melintasi jendela.
Pukul
setengah sembilan Mr Dursley memungut tas kerjanya, mengecup pipi Mrs Dursley
dan mencoba mengecup Dudley, tapi gagal, sebab sekarang Dudley ngadat dan
melempar-lempar serealnya ke dinding. "Dasar anak-anak," senyum Mr
Dursley sambil masuk ke mobilnya dan memundurkannya keluar dari garasi rumah
nomor empat.
Di
sudut jalanlah pertama kalinya dia menyadari ada sesuatu yang aneh—seekor
kucing membaca peta. Sekejap Mr Dursley tidak menyadari apa yang telah
dilihatnya—kemudian dia menoleh untuk melihat sekali lagi. Ada kucing betina
berdiri di ujung Jalan Privet Drive, tapi sama sekali tak kelihatan ada peta.
Rupanya tadi cuma khayalannya. Pasti itu tipuan cahaya. Mr Dursley berbelok di
sudut dan meneruskan perjalanan, dia memandang kucing itu lewat kaca spionnya.
Kucing itu sekarang sedang membaca papan jalan yang bertulisan Privet
Drive—bukan, bukan membaca melainkan memandang papan jalan itu, kucing tidak
bisa membaca peta atau papan jalan. Mr Dursley menggelengkan kepalanya dan
mencoba melupakan kucing itu. Selama mengendarai mobilnya ke kota, yang
dipikirkannya hanyalah pesanan bor dalam jumlah besar yang akan didapatnya hari
itu.
Tetapi
menjelang masuk kota, bor tergusur keluar dari pikirannya oleh sesuatu yang
lain. Sementara terjebak macet seperti biasanya, dia melihat banyak orang
berpakaian aneh. Orang-orang yang memakai jubah. Mr Dursley tak tahan melihat
orang yang berpakaian aneh-aneh—dandanan anak-anak muda zaman sekarang! Dia
kira jubah bloon ini sedang mode. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi
mobil dan matanya menatap serombongan orang aneh yang berdiri cukup dekat.
Mereka sedang berbisik-bisik dengan tegang. Mr Dursley sebal sekali melihat
bahwa dua di antara mereka sama sekali tidak muda lagi. Yang pakai jubah hijau
zamrud itu bahkan lebih tua dari dia! Kelewatan benar! Tetapi kemudian
terlintas di benaknya bahwa mereka mungkin sengaja berdandan seperti itu—mereka
pastilah sedang mengumpulkan dana entah untuk apa—ya, pasti begitu.
Kendaraan-kendaraan mulai bergerak, dan beberapa menit kemudian Mr Dursley tiba
di tempat parkir Grunnings, pikirannya kembali dipenuhi bor.
Mr
Dursley selalu duduk membelakangi jendela di kantornya di lantai sembilan. Jika
tidak, mungkin sulit baginya untuk berkonsentrasi pada bor pagi itu. Dia tidak
melihat burung-burung hantu terbang berseliweran di siang hari, meskipun
orang-orang lain di jalan melihatnya. Orang-orang itu melongo dan
menunjuk-nunjuk ketika burung-burung hantu tak putus-putusnya beterbangan.
Sebagian besar dari mereka belum pernah melihat burung hantu, di malam hari
sekalipun. Tetapi Mr Dursley melewatkan pagi yang normal, tanpa gangguan burung
hantu. Dia berteriak pada lima orang yang berbeda. Dia melakukan beberapa
pembicaraan telepon penting dan berteriak beberapa kali lagi. Hatinya sedang
senang, sampai waktu makan siang, ketika dia memutuskan akan melemaskan kaki
dan berjalan ke toko kue di seberang jalan.
Dia
sudah lupa sama sekali pada orang-orang berjubah, sampai dia melewati
serombongan lagi di sebelah toko kue. Dia mendelik gusar kepada mereka. Dia
tidak tahu kenapa, tetapi mereka membuatnya resah. Rombongan yang ini juga
berbisik-bisik tegang dan dia sama sekali tidak melihat satu pun kotak
pengumpul dana. Saat melewati mereka lagi dalam perjalanan kembali ke kantor,
dia mendengar beberapa kata yang mereka ucapkan.
"Keluarga
Potter, betul, begitu yang kudengar…"
"…
ya, anak mereka, Harry…"
Mr
Dursley langsung berhenti. Ketakutan melandanya. Dia menoleh memandang mereka
yang berbisik-bisik itu, seakan mau mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
Dia
cepat-cepat menyeberang jalan, bergegas naik ke kantornya, dengan galak
menyuruh sekretarisnya agar tidak mengganggunya, menyambar teleponnya, dan
sudah hampir selesai menghubungi nomor rumahnya ketika dia berubah pikiran. Dia
meletakkan kembali gagang telepon dan mengelus-elus kumisnya sambil berpikir…
tidak, dia bodoh. Potter bukan nama yang tidak umum. Dia yakin ada banyak orang
bernama Potter yang mempunyai anak bernama Harry. Dia bahkan belum pernah
melihat anak itu. Siapa tahu namanya Harvey. Atau Harold. Tak ada gunanya
membuat cemas Mrs Dursley. Dia selalu jadi cemas kalau nama adiknya
disebut-sebut. Mr Dursley tidak menyalahkannya—kalau dia sendiri punya adik
seperti itu… tapi, orang-orang yang memakai jubah itu…
Sulit
baginya untuk berkonsentrasi pada bor sore itu, dan ketika meninggalkan
kantornya pada pukul lima sore, dia masih cemas sehingga menabrak orang di
depan pintu.
"Maaf,"
gumamnya, ketika laki-laki tua yang ditabraknya terhuyung nyaris jatuh. Sesaat
kemudian baru Mr Dursley menyadari, laki-laki itu memakai jubah ungu. Dia
kelihatannya sama sekali tidak marah ditabrak sampai hampir jatuh. Sebaliknya,
dia malah nyengir lebar dan berkata dengan suara melengking yang membuat
orang-orang yang lewat menoleh, "Jangan minta maaf, Sir, karena tak ada
yang bisa membuatku marah hari ini! Bergembiralah, karena Kau-Tahu-Siapa telah
pergi akhirnya! Bahkan Muggle seperti Anda pun harus ikut merayakan hari yang amat
sangat membahagiakan ini!"
Dan
laki-laki tua itu memeluk pinggang Mr Dursley, lalu pergi.
Mr Dursley berdiri terpaku di tempatnya. Dia baru saja dipeluk oleh orang yang sama sekali asing. Seingatnya dia juga disebut Muggle, entah apa artinya itu. Dia jadi bingung. Dia bergegas ke mobilnya dan pulang, berharap bahwa semua tadi hanya khayalannya. Ini sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, karena dia orang yang tak suka berkhayal.
Mr Dursley berdiri terpaku di tempatnya. Dia baru saja dipeluk oleh orang yang sama sekali asing. Seingatnya dia juga disebut Muggle, entah apa artinya itu. Dia jadi bingung. Dia bergegas ke mobilnya dan pulang, berharap bahwa semua tadi hanya khayalannya. Ini sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, karena dia orang yang tak suka berkhayal.
Ketika
mobilnya meluncur masuk ke pekarangan rumah nomor empat, yang pertama kali
dilihatnya—dan ini tidak membuatnya bertambah lega—adalah kucing betina yang
telah dilihatnya pagi tadi. Kucing itu sekarang duduk di atas tembok
pekarangannya. Mr Dursley yakin itu kucing yang sama. Dia punya tanda yang sama
di sekeliling kedua matanya.
"Shuh!"
Mr Dursley mengusirnya.
Kucing
itu tidak bergerak. Dia malah menatap galak Mr Dursley. Apa ini perilaku normal
kucing? pikir Mr Dursley. Sambil berusaha menenangkan diri, dia masuk rumah.
Dia masih bertekad tidak akan mengatakan apa-apa kepada istrinya.
Mrs
Dursley melewatkan hari yang normal dan menyenangkan. Saat makan malam dia
bercerita kepada Mr Dursley tentang ibu tetangga yang punya masalah dengan anak
perempuannya dan bahwa Dudley sudah bisa ngomong kalimat baru ("Tak
mau!"). Mr Dursley berusaha bersikap biasa. Ketika Dudley sudah
ditidurkan, Mr Dursley ke ruang keluarga untuk mendengarkan kabar terakhir dalam
berita malam.
"Dan
akhirnya, para pengamat burung dari segala tempat melaporkan bahwa burung hantu
di seluruh negeri bersikap aneh sekali hari ini. Meskipun burung hantu
normalnya berburu di malam hari dan jarang terlihat di siang hari, ratusan
orang melihat burung-burung hantu beterbangan ke segala penjuru sejak matahari
terbit. Para ahli tidak dapat menjelaskan kenapa para burung hantu mengubah
pola tidur mereka." Pembawa berita tersenyum. "Sungguh aneh. Dan
sekarang, kita bergabung dengan Jim McGuffin yang akan menyampaikan ramalan
cuaca. Malam ini akan hujan burung hantu lagi, Jim?"
"Wah,
Ted," kata si peramal cuaca, "aku tak tahu tentang itu, tetapi bukan
cuma burung hantu yang bersikap aneh hari ini. Para pemirsa sampai sejauh Kent,
Yorkshire, dan Dundee bergantian meneleponku untuk memberitahu bahwa alih-alih
hujan seperti yang kuramalkan kemarin, yang mereka dapat adalah bintang-bintang
jatuh! Mungkin orang-orang merayakan Bonfire Night kelewat awal—padahal pesta
kembang api seharusnya baru minggu depan, para pemirsa! Tetapi malam ini bisa
dipastikan hujan akan turun!"
Mr
Dursley terenyak di kursi berlengannya. Bintang jatuh di seluruh Inggris?
Burung-burung hantu beterbangan di siang hari? Orang-orang misterius berjubah
di mana-mana? Dan bisik-bisik, bisik-bisik tentang keluarga Potter…
Mrs
Dursley masuk ruang keluarga membawa dua cangkir teh. Percuma. Dia harus
mengatakan sesuatu kepada istrinya. Mr Dursley berdeham panik.
"Ehm—Petunia
sayang—belakangan ini ada kabar apa dari adikmu?"
Seperti dugaannya, Mrs Dursley kelihatan kaget dan marah. Yah, biasanya kan mereka berpura-pura dia tidak punya adik.
Seperti dugaannya, Mrs Dursley kelihatan kaget dan marah. Yah, biasanya kan mereka berpura-pura dia tidak punya adik.
"Tidak
ada," jawabnya ketus.
"Memangnya
kenapa?"
"Ada
berita aneh tadi," gumam Mr Dursley. "Burung hantu… bintang jatuh…
dan ada banyak orang bertampang aneh di jalan hari ini."
"Jadi?"
tukas Mrs Dursley.
"Yah,
aku cuma berpikir… mungkin… ada kaitannya dengan… kau tahu, kan…
kelompoknya."
Mrs
Dursley menyeruput tehnya dengan bibir cemberut. Mr Dursley mempertimbangkan,
beranikah dia memberitahu istrinya bahwa dia telah mendengar nama Potter
disebut-sebut. Dia memutuskan tidak berani saja. Sebagai gantinya dia berkata
sebiasa mungkin, "Anak mereka—seumuran Dudley, kan?"
"Kayaknya
sih," kata Mrs Dursley kaku.
"Siapa
ya, namanya? Howard, kan?"
"Harry.
Nama jelek dan kodian, menurutku."
"Oh,
ya," kata Mr Dursley, hatinya mencelos. "Ya, aku setuju."
Dia
tak lagi menyinggung-nyinggung masalah itu ketika mereka naik ke kamar tidur.
Sementara Mrs Dursley di kamar mandi, Mr Dursley merayap ke jendela kamar dan
mengintip ke halaman depan. Kucing itu masih ada. Dia sedang menatap ke jalanan,
seakan menunggu sesuatu.
Apakah
ini hanya khayalannya? Mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan keluarga
Pottter? Kalau betul begitu… kalau sampai bocor bahwa mereka masih kerabat pasangan…
wah, dia tak akan tahan.
Suami-istri
Dursley naik ke tempat tidur. Mrs Dursley segera tertidur, tetapi Mr Dursley
tidak. Dia memikirkan segala kemungkinan. Pikiran terakhir dan menenangkan
sebelum dia tertidur adalah, seandainya pun keluarga Potter memang terlibat,
tak ada alasan bagi mereka untuk datang ke tempat keluarga Dursley. Mereka tahu
bagaimana pendapat dirinya dan Mrs Dursley mengenai mereka dan jenis mereka… Mr
Dursley tak melihat bagaimana dia dan Petunia bisa terlibat dengan entah apa
yang sedang berlangsung ini. Dia menguap dan berbalik. Semua itu tak akan
mempengaruhi mereka…
Betapa
kelirunya dia.
Mr
Dursley mungkin saja bisa tidur, walau tak nyenyak, tetapi kucing di atas
tembok di luar sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Dia duduk
diam bagai patung, matanya memandang tanpa kedip ke sudut Privet Drive di
kejauhan. Ketika ada pintu mobil digabrukkan di jalan sebelah, dia tetap
bergeming. Begitu juga ketika ada dua burung hantu melayang di atasnya. Kucing
itu baru bergerak menjelang tengah malam.
Seorang
laki-laki muncul di sudut yang diawasi si kucing. Kemunculannya begitu mendadak
dan tanpa suara, sehingga kau akan mengira dia muncul begitu saja dari dalam
tanah. Ekor si kucing bergerak dan matanya menyipit.
Belum
pernah ada orang semacam ini di Privet Drive. Dia tinggi, kurus, dan sudah tua
sekali, kalau dilihat dari rambut dan jenggot putihnya yang cukup panjang untuk
diselipkan di ikat pinggangnya. Dia memakai jubah ungu panjang yang menyapu
jalan dan sepatu bot bergesper dengan hak tinggi. Matanya biru terang dan
bercahaya di balik kacamatanya yang berbentuk bulan-separo dan hidungnya
panjang serta bengkok, seakan sudah pernah patah paling tidak dua kali. Nama laki-laki
ini Albus Dumbledore.
Albus
Dumbledore tampaknya tidak menyadari bahwa dia baru saja tiba di jalan tempat
segala sesuatu dari namanya sampai sepatunya tidak diinginkan. Dia sibuk
memeriksa jubahnya, mencari sesuatu. Tetapi tampaknya dia sadar dia diawasi,
karena mendadak saja dia mendongak memandang si kucing, yang masih memandangnya
dari ujung lain jalan. Entah karena apa, melihat kucing ini dia tampak geli.
Dia
berdecak dan bergumam, "Seharusnya aku tahu."
Dia
sudah menemukan apa yang dicarinya di kantong sebelah dalam. Ternyata korek api
perak. Dibukanya, diangkatnya ke udara, lalu dinyalakannya. Lampu jalan
terdekat padam dengan bunyi pop pelan. Dinyalakannya lagi, lampu berikutnya
ikut padam. Dua belas kali ia menyalakan Pemadam-Lampu, sampai cahaya yang
tinggal hanyalah dua sorot kecil mungil di kejauhan, yaitu mata si kucing yang
mengawasinya. Jika ada orang yang melongok keluar dari jendela sekarang, bahkan
si mata-tajam Mrs Dursley pun tidak akan melihat apa yang sedang terjadi di
trotoar. Dumbledore menyelipkan Pemadam-Lampu ke dalam jubahnya lagi dan
berjalan menuju rumah nomor empat. Setiba di sana dia duduk di sebelah si
kucing. Dumbledore tidak memandangnya, tetapi setelah beberapa saat dia
mengajaknya bicara.
"Tak
disangka kita bertemu di sini ya, Profesor McGonagall."
Dia
menoleh untuk tersenyum pada si kucing betina, tetapi kucing itu sudah tak ada.
Alih-alih kucing, dia tersenyum pada wanita bertampang agak galak yang memakai
kacamata persegi, persis bentuk yang melingkari mata si kucing. Wanita itu juga
memakai jubah, warnanya hijau zamrud. Rambut hitamnya digelung ketat. Dia
kelihatan bingung.
"Bagaimana
kau bisa tahu kucing itu aku?" tanyanya.
"Profesorku,
belum pernah aku melihat kucing yang duduk begitu kaku."
"Kau
pun akan kaku kalau sudah duduk di tembok bata seharian," kata Profesor
McGonagall.
"Seharian?
Padahal seharusnya kau bisa merayakan hari gembira ini? Aku melewati paling
tidak selusin pesta dan perayaan dalam perjalanan kemari."
Profesor
McGonagall mendengus marah.
"Oh
ya, semua merayakan," katanya tak sabar. "Kau pikir mereka akan lebih
hati-hati, tetapi tidak—bahkan para Muggle pun merasa ada sesuatu yang sedang
terjadi. Itu disiarkan di warta berita mereka." Dia mengedikkan kepalanya
ke arah jendela ruang keluarga Dursley yang gelap. "Aku mendengarnya. Rombongan
burung hantu… bintang jatuh… Nah, mereka kan tidak bego. Keanehan ini menarik
perhatian mereka. Bintang jatuh di Kent—aku berani bertaruh itu Dedalus Diggle.
Dari dulu dia kurang perhitungan."
"Kau
tak bisa menyalahkan mereka," kata Dumbledore lembut. "Tak ada yang
benar-benar bisa kita rayakan selama sebelas tahun ini."
"Aku
tahu," kata Profesor McGonagall jengkel. "Tapi itu bukan alasan bagi
kita untuk lupa diri. Orang-orang ceroboh sekali, berkeliaran di jalan di siang
bolong, bahkan tidak memakai pakaian Muggle, bertukar gosip."
Dia
melirik tajam Dumbledore, seakan berharap Dumbledore akan memberitahunya
sesuatu, tetapi ternyata tidak, maka dia meneruskan, "Bagus sekali jika
pada hari Kau-Tahu-Siapa akhirnya menghilang, bangsa Muggle akhirnya juga tahu
tentang kita. Kira-kira dia betul sudah pergi, Dumbledore?"
"Kelihatannya
begitu," kata Dumbledore. "Banyak yang harus kita syukuri. Kau mau
permen jeruk?"
"Apa?"
"Permen
jeruk. Permen Muggle yang kusukai."
"Tidak,
terima kasih," kata Profesor McGonagall dingin, seakan menurut dia ini
bukan saatnya untuk makan permen jeruk. "Seperti kukatakan, bahkan jika
Kau-Tahu-Siapa sudah pergi…"
"Profesorku
yang baik, tentunya orang bijaksana seperti kau bisa menyebut namanya? Segala
omong-kosong ‘Kau-Tahu-Siapa’—selama sebelas tahun aku sudah berusaha membujuk
orang-orang agar menyebutnya dengan namanya yang sebenarnya: Voldemort."
Profesor McGonagall berjengit, tetapi Dumbledore, yang sedang membuka bungkus
dua permen jeruk, kelihatannya tidak tahu. "Jadi sangat membingungkan jika
kita selalu berkata ‘Kau-Tahu-Siapa’. Aku tak melihat alasan kita harus takut
menyebut nama Voldemort."
"Aku
tahu," kata Profesor McGonagall, kedengarannya setengah putus asa,
setengah kagum. "Tetapi kau lain. Semua tahu kau satu-satunya yang ditakuti
si Kau-Tahu—oh, baiklah, Voldemort."
"Kau
membuatku tersanjung," jawab Dumbledore tenang. "Voldemort memiliki
kekuatan yang tak akan pernah kumiliki."
"Hanya
karena kau terlalu—yah, mulia untuk menggunakannya."
"Untung sekarang gelap. Belum pernah mukaku semerah ini sejak Madam Pomfrey mengatakan dia menyukai tutup telingaku yang baru."
"Untung sekarang gelap. Belum pernah mukaku semerah ini sejak Madam Pomfrey mengatakan dia menyukai tutup telingaku yang baru."
Profesor
McGonagall memandang tajam Dumbledore dan berkata, "Burung-burung hantu
itu bukan apa-apa dibanding dengan kabar burung yang tersebar. Kau tahu apa
yang dikatakan semua orang? Tentang apa yang akhirnya menghentikannya?"
Kelihatannya Profesor McGonagall telah mencapai pokok masalah yang ingin sekali didiskusikannya, alasan kenapa dia duduk menunggu di atas tembok keras dingin sepanjang hari, karena tidak sebagai kucing ataupun sebagai perempuan dia pernah memandang Dumbledore setajam sekarang. Jelas bahwa apa pun yang dikatakan "semua orang", tak akan dipercayainya sampai Dumbledore mengatakan kepadanya bahwa itu benar. Tapi Dumbledore malah memilih permen jeruk yang lain dan tidak menjawab.
Kelihatannya Profesor McGonagall telah mencapai pokok masalah yang ingin sekali didiskusikannya, alasan kenapa dia duduk menunggu di atas tembok keras dingin sepanjang hari, karena tidak sebagai kucing ataupun sebagai perempuan dia pernah memandang Dumbledore setajam sekarang. Jelas bahwa apa pun yang dikatakan "semua orang", tak akan dipercayainya sampai Dumbledore mengatakan kepadanya bahwa itu benar. Tapi Dumbledore malah memilih permen jeruk yang lain dan tidak menjawab.
"Apa
yang mereka katakan," dia meneruskan, "adalah bahwa tadi malam
Voldemort muncul di Godric’s Hollow. Dia datang mencari keluarga Potter.
Menurut gosip, Lily dan James Potter sudah—sudah—mereka sudah meninggal."
Dumbledore
menundukkan kepalanya. Profesor McGonagall memekik kaget.
"Lily
dan James… tak bisa kupercaya… aku tak mau percaya… Oh, Albus…"
Dumbledore mengulurkan tangan dan membelai bahu Profesor McGonagall. "Aku tahu… aku tahu…," katanya sedih.
Dumbledore mengulurkan tangan dan membelai bahu Profesor McGonagall. "Aku tahu… aku tahu…," katanya sedih.
Suara
Profesor McGonagall bergetar ketika dia meneruskan, "Itu belum semua. Kata
mereka dia mencoba membunuh anak keluarga Potter, Harry. Tetapi—dia tidak bisa.
Dia tidak berhasil membunuh anak kecil itu. Tak ada yang tahu kenapa atau
bagaimana, tetapi mereka bilang, bahwa ketika dia gagal membunuh Harry Potter,
kekuatan Voldemort punah—dan itulah sebabnya dia menghilang."
Dumbledore
mengangguk tanpa bicara.
"Jadi—jadi
betul?" Profesor McGonagall tergagap. "Setelah semua yang
dilakukannya… semua orang yang telah dibunuhnya… dia tak bisa membunuh anak
yang boleh dikatakan masih bayi? Sungguh mengherankan… mengingat segala upaya
untuk menghentikan sepak terjangnya… tetapi bagaimana mungkin Harry bisa
bertahan?"
"Kita
cuma bisa menduga," kata Dumbledore. "Kita mungkin tak akan pernah
tahu."
Profesor
McGonagall menarik sehelai saputangan sutra dan mengusap mata di balik
kacamatanya. Dumbledore menyedot hidung keras sambil mengambil jam emas dari
dalam sakunya dan memandangnya. Jam itu sudah sangat tua. Jarumnya ada dua
belas, tetapi tidak ada angkanya. Sebagai gantinya, planet-planet kecil
bergerak mengitari tepinya. Tapi Dumbledore pasti bisa mengartikannya, karena
dia mengembalikan jam itu ke sakunya dan berkata, "Hagrid terlambat.
Kurasa dia yang memberitahumu bahwa aku akan ada di sini, kan?"
"Ya,"
jawab Profesor McGonagall. "Dan kurasa kau tidak akan memberitahuku kenapa
kau sampai berada di sini?"
"Aku
datang untuk mengantar Harry kepada bibi dan pamannya. Hanya merekalah keluarganya
yang tinggal sekarang."
"Kau
tidak—yang kaumaksudkan tak mungkin orang-orang yang tinggal di sini?"
seru Profesor McGonagall seraya melompat berdiri dan menunjuk rumah nomor
empat. "Dumbledore—jangan. Aku sudah mengamati mereka sepanjang hari.
Takkan bisa kautemukan dua orang yang sangat berbeda dari kita seperti mereka.
Dan mereka punya anak—kulihat anak ini menendang-nendang ibunya sepanjang jalan
ini, menjerit-jerit minta permen. Harry Potter akan tinggal di sini?"
"Ini
tempat paling baik untuknya," kata Dumbledore tegas. "Bibi dan
pamannya akan bisa menjelaskan segalanya kepadanya kalau dia sudah lebih besar.
Aku sudah menulis surat kepada mereka."
"Surat?"
Profesor McGonagall mengulangi dengan lesu, kembali duduk di atas tembok.
"Astaga, Dumbledore, kaupikir kau bisa menjelaskan semua ini dalam surat?
Orang-orang ini tak akan pernah memahami Harry! Dia akan jadi orang
terkenal—jadi legenda—aku tak akan heran jika di masa depan nanti, hari ini
akan dijadikan Hari Harry Potter—akan ada buku-buku tentang Harry yang
ditulis—semua anak di dunia kita akan mengenal namanya!"
"Justru
itu," kata Dumbledore, memandang dengan sangat serius di atas lensa
kacamatanya yang berbentuk bulan-separo. "Semua itu bisa membuat sombong
anak mana pun. Sudah terkenal sebelum dia bisa berjalan dan bicara! Terkenal
gara-gara sesuatu yang ingat pun dia tidak! Tak bisakah kaulihat, akan jauh
lebih baik baginya jika dia dibesarkan jauh dari semua itu, sampai dia sudah
siap menerimanya."
Profesor
McGonagall membuka mulut, berubah pikiran, menelan ludah, dan kemudian berkata,
"Ya—ya, kau benar, tentu saja. Tetapi bagaimana anak itu bisa tiba di
sini, Dumbledore?" Mendadak diamatinya jubah Dumbledore, seakan dia
mengira Dumbledore mungkin saja menyembunyikan anak itu di balik jubahnya.
"Hagrid
yang akan mengantarnya."
"Kaupikir—bijaksana
mempercayakan hal sepenting ini kepada Hagrid?"
"Aku
akan mempercayakan hidupku kepada Hagrid," kata Dumbledore.
"Aku
tidak bermaksud mengatakan hatinya tidak berada di tempatnya yang benar,"
kata Profesor McGonagall menggerundel, "tetapi kau tak bisa berpura-pura
tak tahu dia ceroboh. Dia kan cenderung… apa itu?"
Derum
rendah memecah kesunyian di sekitar mereka. Derum itu makin lama makin keras
sementara mereka memandang ke ujung jalan, mencari-cari lampu kendaraan. Bunyi
itu membesar seperti raungan sementara mereka bedua mendongak ke langit—dan
sebuah motor luar biasa besar jatuh dari angkasa, mendarat di jalan di depan
mereka.
Sepeda
motor besar itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan laki-laki yang
duduk di atasnya. Tingginya nyaris dua kali laki-laki dewasa dan lima kali
lebih lebar. Besarnya sungguh kelewatan, dan dia begitu liar—rambut panjangnya
yang hitam dan lebat kusut dan jenggotnya yang juga lebat menyembunyikan
sebagian besar wajahnya. Tangannya sebesar tutup tempat sampah dan kakinya yang
memakai sepatu bot kulit seperti lumba-lumba kecil. Lengannya yang besar dan
berotot memeluk bungkusan selimut.
"Hagrid,"
kata Dumbledore lega. "Akhirnya. Dan dari mana kaudapat sepeda motor
itu?"
"Pinjam,
Profesor Dumbledore," jawab si raksasa, sambil turun dengan hati-hati dari
motor itu. "Sirius Black muda pinjamkan padaku. Aku dapat dia, Sir."
"Tidak
ada kesulitan, kan?"
"Tidak,
Sir—rumah nyaris hancur, tapi aku berhasil ambil dia sebelum para Muggle
berdatangan. Dia tertidur ketika kami terbang melewati Bristol."
Dumbledore
dan Profesor McGonagall membungkuk ke arah bungkusan selimut. Di dalamnya ada
seorang bayi laki-laki, tertidur nyenyak. Di balik sejumput rambut hitam pekat
di atas dahinya mereka bisa melihat luka berbentuk aneh, seperti sambaran
kilat.
"Itukah…?"
bisik Profesor McGonagall.
"Ya,"
kata Dumbledore. "Bekas lukanya tak akan hilang selamanya."
"Tak
bisakah kau melakukan sesuatu, Dumbledore?"
"Kalaupun
bisa, aku tak mau. Bekas luka kadang-kadang ada gunanya. Aku sendiri punya
bekas luka di atas lutut kiri yang berupa peta jalur kereta api bawah tanah
London. Nah, berikan anak itu, Hagrid. Lebih baik segera kita bereskan."
Dumbledore
menggendong Harry dan berbalik menuju rumah keluarga Dursley.
"Bolehkah—bolehkah
aku ucapkan selamat tinggal padanya, Sir?" tanya Hagrid.
Dia
menundukkan kepalanya yang besar berambut lebat dan memberi si bayi kecupan
yang pastilah membuat gatal gara-gara gesekan kumisnya. Kemudian mendadak
Hagrid melolong seperti anjing yang terluka.
"Shhh!"
desah Profesor McGonagall. "Kau akan membangunkan para Muggle!"
"M-m-maaf," isak Hagrid, seraya mengeluarkan saputangan besar berbintik-bintik dan membenamkan wajahnya di dalamnya. "Tapi aku t-t-tak tahan—Lily dan James meninggal—dan kasihan Harry harus tinggal dengan Muggle…"
"M-m-maaf," isak Hagrid, seraya mengeluarkan saputangan besar berbintik-bintik dan membenamkan wajahnya di dalamnya. "Tapi aku t-t-tak tahan—Lily dan James meninggal—dan kasihan Harry harus tinggal dengan Muggle…"
"Ya,
ya, memang sangat menyedihkan, tetapi kendalikan dirimu, Hagrid. Kalau tidak,
kita bisa ketahuan," bisik Profesor McGonagall sambil membelai-belai
lengan Hagrid dengan amat hati-hati, sementara Dumbledore melangkahi tembok
halaman yang rendah dan berjalan ke pintu depan. Dengan hati-hati
dibaringkannya Harry di depan pintu. Diambilnya sehelai surat dari dalam
jubahnya dan diselipkannya di balik selimut Harry. Setelah itu dia kembali
bergabung dengan dua orang lainnya. Selama semenit penuh ketiganya memandang
bungkusan kecil itu. Bahu Hagrid berguncang, Profesor McGonagall berkali-kali
mengejapkan matanya, dan kilat yang biasanya ada di mata Dumbledore seakan
telah padam.
"Nah,"
kata Dumbledore akhirnya, "begitulah. Tak ada gunanya lagi kita tinggal di
sini. Lebih baik kita pergi dan ikut perayaan."
"Yeah,"
kata Hagrid sengau. "Aku akan kembalikan motor Sirius. Malam, Profesor
McGonagall… Profesor Dumbledore."
Sambil
menyeka air matanya yang mengucur terus dengan lengan jaketnya, Hagrid melompat
ke atas motornya dan menstarternya. Diiringi deruman, motor itu terangkat ke
angkasa dan meluncur dalam kegelapan malam.
"Kita
akan segera bertemu lagi, Profesor McGonagall," kata Dumbledore sambil
mengangguk kepadanya. Sebagai jawaban, Profesor McGonagall membuang ingus.
Dumbledore berbalik dan berjalan pergi. Di sudut dia berhenti dan mengeluarkan Pemadam-Lampu peraknya. Dijetreknya sekali, dan dua belas bola cahaya serentak meluncur menuju lampu-lampu jalanan, sehingga Privet Drive mendadak terang dan dia bisa melihat seekor kucing betina menyelinap ke sudut di ujung jalan lainnya. Dia juga masih bisa melihat bungkusan selimut di depan pintu rumah nomor empat.
Dumbledore berbalik dan berjalan pergi. Di sudut dia berhenti dan mengeluarkan Pemadam-Lampu peraknya. Dijetreknya sekali, dan dua belas bola cahaya serentak meluncur menuju lampu-lampu jalanan, sehingga Privet Drive mendadak terang dan dia bisa melihat seekor kucing betina menyelinap ke sudut di ujung jalan lainnya. Dia juga masih bisa melihat bungkusan selimut di depan pintu rumah nomor empat.
"Semoga
semua baik, Harry," gumamnya. Dia memutar tumitnya dan dengan kebutan
jubahnya, dia lenyap.
Angin
sepoi meniup pagar-pagar tanaman di Privet Drive yang rapi, yang berjajar diam
dan teratur di bawah langit kelam. Di tempat setenang ini tidak akan pernah
kausangka akan terjadi hal-hal menakjubkan. Harry Potter berguling dalam
selimutnya tanpa terbangun. Dengan salah satu tangan kecilnya memegang surat
yang ada di sampingnya, dia tidur terus. Tanpa menyadari bahwa dia istimewa,
tanpa menyadari bahwa dia terkenal, tanpa menyadari bahwa beberapa jam lagi dia
akan terbangun mendengar jeritan Mrs Dursley saat membuka pintu depan untuk
menaruh botol-botol susu, atau bahwa dia akan melewatkan beberapa minggu
mendatang didorong-dorong dan dicubiti oleh sepupunya, Dudley… Dia tak mungkin
tahu bahwa pada saat ini, orang-orang yang berkumpul secara rahasia di seluruh
negeri, semua mengangkat gelas dan berkata dengan suara pelan, "Untuk
Harry Potter—anak laki-laki yang bertahan hidup!"
***
| @MutiaRKinasih |
No comments:
Post a Comment