Sumimasen~ haihaiii~
Gue nggak tahu harus memulai
dari mana tulisan ini? Yang pasti tiba-tiba kemarin sore sepulang kuliah, gue
mendapat ide aneh bin ajaib, yang berasal dari sebuah benda mati ternamakan:
tanah.
Dari pada penasaran (siapa?),
yuk mari diintip~ ^^
Hari itu … gue menelusuri
jalan menuju rumah gue, seperti biasanya. Rumah yang baru gue tempati beberapa
bulan itu kesannya terpencil, berada di pinggiran hutan bambu (atau mungkin
hanya kebun, yang pasti menurut gue itu hutan) di sebuah Kecamatan yang
terbilang makmur di Kota Depok.
Selayaknya orang berjalan,
matanya pasti tertuju ke bawah, memperhatikan jalannya, apalagi kalau jalan
yang dilaluinya kemungkinan akan dilintasi makhluk hidup lain seperti: kodok,
ular, atau pun cacing (iyuhh ….). Dan saat gue berjalan itu, gue menemukan
sesuatu yang aneh: kenapa tanah yang
sengaja digunakan untuk jalanan ini terlihat tandus, kering, dan berwarna
coklat pudar? Sedangkan tanah disampingnya, tepat disampingnya, berwarna coklat
tua, gembur, dan kaya akan zat hara? Padahal tanah ini dengan yang di
sebelahnya tak ada bedanya. Jika hujan maka akan basah juga, jika panas maka
akan sama-sama kering.
Dan pertanyaan itu segera gue
jawab saat itu juga: mungkin karena tanah
di sana ditumbuhi beraneka tanaman seperti pohon singkong, pohon pisang, tanaman
pacar air, dan tumbuhan-tumbuhan lain yang tidak teridentifikasi namanya
(sebenarnya gue yang nggak tahu namanya ._.).
Seketika itu juga gue memperhatikan
sekitar, rumah-rumah penduduk yang baru dibangun di sekitar perhutanan
(perkebunan), dan sisa-sisa hutan yang tidak begitu terawat.
Gue berpikir, bahwa tanah di
samping jalan ini nantinya mungkin akan berakhir tragis, sama seperti tanah
yang berada tepat di bawah kaki gue ini: tandus, kering, tak dapat lagi
ditanami tetumbuhan. Tanah-tanah ini dengan segera akan digantikan dengan
permukiman dan perumahan-perumahan penduduk, pertokoan, atau mungkin lahan
perindustrian.
Akan jadi apa Negara ini
kelak? Gue nggak mau Kota Depok yang gue sayangi ini akan berakhir seperti
Jakarta. Sumpah, gue nggak rela! Bahkan saat ini Kota yang gue tinggali
semenjak berusia dua tahun ini mulai tertular virus banjir dan macet seperti
Jakarta!
Seumur-umur belum pernah
bertemu Depok yang kena banjir dan macet parah, tapi setelah gue tinggal tiga
tahun untuk mengenyam pendidikan kejuruan di Jawa Timur, Depok gue berubah
total!
Gue lihat bangunan-bangunan
asing yang belum pernah gue lihat sebelumnya. Gue lihat tanah-tanah yang semula
ditanami pohon pisang, jambu, rambutan, mangga, duren, pesawahan, dll berubah
menjadi perumahan-perumahan elit yang belum tentu akan didiami oleh orang-orang
yang belum memiliki rumah.
Dulu waktu pertama kali
melihatnya gue berpikir: wah, bagus nih!
Depok semakin ramai, semakin maju. Sekarang ada Pasar modern, ada ini, ada itu,
bla bla bla. Tapi sekarang gue tahu kalau pikiran gue saat itu salah!
Lihat! Tepat di depan pasar segar itu kini kerap kali terjadi macet panjang
yang amat parah dan memenatkan di jam-jam “puncaknya kesibukan”. Padahal dahulu
mana ada? Mana pernah?
Back
to the main idea.
Entah kenapa melihat sepetak tanah yang nyempil di antara rumah-rumah itu memicu
otak gue untuk memunculkan sebuah ide aneh bin ajaib. Kalau di kartun-kartun
mungkin di atas kepala gue akan muncul sebuah bola lampu yang menyala dengan
terang. Cling! (abaikan)
And
that was … mungkin
sebaiknya Negara-negara di dunia ini membelah bagian negaranya menjadi dua: satu
bagian untuk dieksplor oleh penduduknya, sedangkan yang lainnya untuk tempat
tinggal makhluk hidup lainnya. That’s all.
Gue belum punya cara untuk
mengembangkan ide gue ini. Tapi gue merasa ini akan cukup adil untuk semuanya.
Bahwa segalanya akan menjadi seimbang: kehidupan untuk manusia, hewan, dan
tumbuhan.
Mengingat ide gue ini, gue
jadi teringat dengan Narnia, di mana di sana diceritakan manusia dengan makhluk
hidup lainnya hidup beriringan, menghasilkan simbiosis mutualisme, meskipun
masih ada manusia-manusia yang justru menjadi parasit.
Betapa gue mau (pake banget)
tinggal di sana, menikmati alamnya, menikmati udaranya, menikmati segalanya
yang masih alami.
Yaa, it seems literally impossible :(
Intinya gue mau Depok gue
balik! Balikin Depok gue! Kalau sudah seperti ini, siapa yang mau bertanggung
jawab? Siapa?? :’(
Mungkin sedari dulu kita
seharusnya tidak mencoba mengubah panorama-panorama alam yang indah menjadi
pusat-pusat pariwisata.
Mungkin sedari dulu kita
seharusnya membuat perencanaan sebelum secara sembrono membangun ini dan itu.
Mungkin sedari dulu … sedari
dulu … sedari dulu ….
Tetapi apa yang sudah terjadi
saat ini belum tentu tidak bisa diubah bukan?
Apa yang sudah terjadi belum
tentu tak dapat diperbaiki bukan?
Jika nasi sudah menjadi
bubur, kita bisa menambahkan bumbu-bumbu tambahan untuk menjadikannya bubur
ayam.
Jika nasi sudah menjadi bubur,
jangan dibuang percuma! Kita bisa mengolahnya menjadi lem perekat bukan?
Jika ‘beras’ yang diberi
Allah untuk kita jadikan ‘nasi’ terlanjur menjadi ‘bubur’, bukan berarti ia
kehilangan manfaatnya. Tetapi itu berarti Allah memberi kita, para generasi
pembaharu Indonesia, sebuah kesempatan untuk membangun perusahaan ‘bubur ayam’
atau ‘lem perekat’ untuk penerus kita kelak.
Gue tahu ini ending yang absurd. Tulisan ini dibuat apa adanya, tanpa rekayasa, dan keluar
begitu saja. Maka dimohon maklumnya jika ada kesalahan, dan kritikan yang
membangun.
Segala kekurangan dan
keburukan dari tulisan ini datang dari kelalaian gue, sedang kebenaran yang
bermanfaat datangnya dari Allah semata. :’) Oyasumii~ | @MutiaRKinasih |
No comments:
Post a Comment