Wednesday, September 18, 2013

My Mad Thought

Sumimasen~ haihaiii~
Gue nggak tahu harus memulai dari mana tulisan ini? Yang pasti tiba-tiba kemarin sore sepulang kuliah, gue mendapat ide aneh bin ajaib, yang berasal dari sebuah benda mati ternamakan: tanah.
Dari pada penasaran (siapa?), yuk mari diintip~ ^^


Hari itu … gue menelusuri jalan menuju rumah gue, seperti biasanya. Rumah yang baru gue tempati beberapa bulan itu kesannya terpencil, berada di pinggiran hutan bambu (atau mungkin hanya kebun, yang pasti menurut gue itu hutan) di sebuah Kecamatan yang terbilang makmur di Kota Depok.
Selayaknya orang berjalan, matanya pasti tertuju ke bawah, memperhatikan jalannya, apalagi kalau jalan yang dilaluinya kemungkinan akan dilintasi makhluk hidup lain seperti: kodok, ular, atau pun cacing (iyuhh ….). Dan saat gue berjalan itu, gue menemukan sesuatu yang aneh: kenapa tanah yang sengaja digunakan untuk jalanan ini terlihat tandus, kering, dan berwarna coklat pudar? Sedangkan tanah disampingnya, tepat disampingnya, berwarna coklat tua, gembur, dan kaya akan zat hara? Padahal tanah ini dengan yang di sebelahnya tak ada bedanya. Jika hujan maka akan basah juga, jika panas maka akan sama-sama kering.
Dan pertanyaan itu segera gue jawab saat itu juga: mungkin karena tanah di sana ditumbuhi beraneka tanaman seperti pohon singkong, pohon pisang, tanaman pacar air, dan tumbuhan-tumbuhan lain yang tidak teridentifikasi namanya (sebenarnya gue yang nggak tahu namanya ._.).
Seketika itu juga gue memperhatikan sekitar, rumah-rumah penduduk yang baru dibangun di sekitar perhutanan (perkebunan), dan sisa-sisa hutan yang tidak begitu terawat.
Gue berpikir, bahwa tanah di samping jalan ini nantinya mungkin akan berakhir tragis, sama seperti tanah yang berada tepat di bawah kaki gue ini: tandus, kering, tak dapat lagi ditanami tetumbuhan. Tanah-tanah ini dengan segera akan digantikan dengan permukiman dan perumahan-perumahan penduduk, pertokoan, atau mungkin lahan perindustrian.
Akan jadi apa Negara ini kelak? Gue nggak mau Kota Depok yang gue sayangi ini akan berakhir seperti Jakarta. Sumpah, gue nggak rela! Bahkan saat ini Kota yang gue tinggali semenjak berusia dua tahun ini mulai tertular virus banjir dan macet seperti Jakarta!
Seumur-umur belum pernah bertemu Depok yang kena banjir dan macet parah, tapi setelah gue tinggal tiga tahun untuk mengenyam pendidikan kejuruan di Jawa Timur, Depok gue berubah total!
Gue lihat bangunan-bangunan asing yang belum pernah gue lihat sebelumnya. Gue lihat tanah-tanah yang semula ditanami pohon pisang, jambu, rambutan, mangga, duren, pesawahan, dll berubah menjadi perumahan-perumahan elit yang belum tentu akan didiami oleh orang-orang yang belum memiliki rumah.
Dulu waktu pertama kali melihatnya gue berpikir: wah, bagus nih! Depok semakin ramai, semakin maju. Sekarang ada Pasar modern, ada ini, ada itu, bla bla bla. Tapi sekarang gue tahu kalau pikiran gue saat itu salah! Lihat! Tepat di depan pasar segar itu kini kerap kali terjadi macet panjang yang amat parah dan memenatkan di jam-jam “puncaknya kesibukan”. Padahal dahulu mana ada? Mana pernah?
Back to the main idea. Entah kenapa melihat sepetak tanah yang nyempil di antara rumah-rumah itu memicu otak gue untuk memunculkan sebuah ide aneh bin ajaib. Kalau di kartun-kartun mungkin di atas kepala gue akan muncul sebuah bola lampu yang menyala dengan terang. Cling! (abaikan)
And that was … mungkin sebaiknya Negara-negara di dunia ini membelah bagian negaranya menjadi dua: satu bagian untuk dieksplor oleh penduduknya, sedangkan yang lainnya untuk tempat tinggal makhluk hidup lainnya. That’s all.
Gue belum punya cara untuk mengembangkan ide gue ini. Tapi gue merasa ini akan cukup adil untuk semuanya. Bahwa segalanya akan menjadi seimbang: kehidupan untuk manusia, hewan, dan tumbuhan.
Mengingat ide gue ini, gue jadi teringat dengan Narnia, di mana di sana diceritakan manusia dengan makhluk hidup lainnya hidup beriringan, menghasilkan simbiosis mutualisme, meskipun masih ada manusia-manusia yang justru menjadi parasit.
Betapa gue mau (pake banget) tinggal di sana, menikmati alamnya, menikmati udaranya, menikmati segalanya yang masih alami.

Yaa, it seems literally impossible :(

Intinya gue mau Depok gue balik! Balikin Depok gue! Kalau sudah seperti ini, siapa yang mau bertanggung jawab? Siapa?? :’(
Mungkin sedari dulu kita seharusnya tidak mencoba mengubah panorama-panorama alam yang indah menjadi pusat-pusat pariwisata.
Mungkin sedari dulu kita seharusnya membuat perencanaan sebelum secara sembrono membangun ini dan itu.
Mungkin sedari dulu … sedari dulu … sedari dulu ….

Tetapi apa yang sudah terjadi saat ini belum tentu tidak bisa diubah bukan?
Apa yang sudah terjadi belum tentu tak dapat diperbaiki bukan?
Jika nasi sudah menjadi bubur, kita bisa menambahkan bumbu-bumbu tambahan untuk menjadikannya bubur ayam.
Jika nasi sudah menjadi bubur, jangan dibuang percuma! Kita bisa mengolahnya menjadi lem perekat bukan?
Jika ‘beras’ yang diberi Allah untuk kita jadikan ‘nasi’ terlanjur menjadi ‘bubur’, bukan berarti ia kehilangan manfaatnya. Tetapi itu berarti Allah memberi kita, para generasi pembaharu Indonesia, sebuah kesempatan untuk membangun perusahaan ‘bubur ayam’ atau ‘lem perekat’ untuk penerus kita kelak.

Gue tahu ini ending yang absurd. Tulisan ini dibuat apa adanya, tanpa rekayasa, dan keluar begitu saja. Maka dimohon maklumnya jika ada kesalahan, dan kritikan yang membangun.
Segala kekurangan dan keburukan dari tulisan ini datang dari kelalaian gue, sedang kebenaran yang bermanfaat datangnya dari Allah semata. :’) Oyasumii~ | @MutiaRKinasih |

No comments:

Post a Comment