BAB
4
Si
Pemegang Kunci
BOOM!
Mereka menggedor lagi. Dudley terbangun dengan kaget.
"Di
mana meriamnya?" tanyanya bego.
Terdengar
gubrakan di belakang mereka dan Paman Vernon muncul dengan tergopoh-gopoh ke
dalam ruangan. Tangannya memegang senapan—sekarang mereka tahu apa yang ada
dalam bungkusan kurus panjang yang tadi dibawanya.
"Siapa
itu?" teriaknya. "Kuperingatkan kau… aku bersenjata!"
Sunyi
sesaat. Kemudian…
GUBRAAAK!
Pintu
dihantam begitu keras sampai terlepas dari engselnya, dan dengan bunyi
memekakkan telinga pintu itu terempas ke lantai.
Sesosok
raksasa berdiri di depan pintu. Wajahnya nyaris tersembunyi di balik rambut
panjangnya yang awut-awutan dan berewok liar yang berantakan. Tetapi kau bisa
melihat matanya, berkilauan bagai dua kumbang hitam di balik rambut awut-awutan
itu.
Si raksasa memaksakan diri masuk, menunduk sehingga kepalanya cuma menyentuh langit-langit. Dia membungkuk, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali ke engselnya. Deru badai di luar teredam sedikit. Dia menoleh memandang mereka semua.
Si raksasa memaksakan diri masuk, menunduk sehingga kepalanya cuma menyentuh langit-langit. Dia membungkuk, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali ke engselnya. Deru badai di luar teredam sedikit. Dia menoleh memandang mereka semua.
"Bisa
bikinkan teh, kan? Tidak gampang datang ke sini…"
Dia
melangkah ke sofa. Dudley duduk membeku ketakutan.
"Minggir,
karung besar," kata orang asing itu.
Dudley
mencicit dan bersembunyi di belakang punggung ibunya. Bibi Petunia sendiri
berjongkok ketakutan di belakang Paman Vernon.
"Nah,
ini dia Harry!" kata si raksasa.
Harry
mendongak memandang wajah liar dan galak itu, dan melihat sudut mata kumbangnya
berkerut penuh senyum.
"Terakhir
kali aku melihatmu, kau masih bayi," kata si raksasa. "Kau mirip
sekali ayahmu, tapi matamu mata ibumu."
Paman
Vernon mengeluarkan suara serak yang aneh.
"Saya
meminta Anda segera pergi, Sir!" katanya. "Anda menjebol pintu dan
masuk tanpa izin."
"Ah,
tutup mulut, Dursley, jangan sok," kata si raksasa. Tangannya menjangkau
ke belakang sofa, menjambret senapan dari tangan Paman Vernon, membengkokkannya
seakan senapan itu terbuat dari karet saja, lalu melemparkannya ke sudut
ruangan.
Paman Vernon mengeluarkan suara aneh lagi, seperti cicit tikus yang terinjak.
"Yang jelas, Harry," kata si raksasa, berbalik membelakangi keluarga Dursley, "selamat ulang tahun untukmu, selamat panjang umur. Bawa sesuatu buatmu—mungkin tadi kududuki, tapi rasanya pasti masih enak."
Paman Vernon mengeluarkan suara aneh lagi, seperti cicit tikus yang terinjak.
"Yang jelas, Harry," kata si raksasa, berbalik membelakangi keluarga Dursley, "selamat ulang tahun untukmu, selamat panjang umur. Bawa sesuatu buatmu—mungkin tadi kududuki, tapi rasanya pasti masih enak."
Dari
saku dalam mantel hitamnya dia mengeluarkan kotak yang agak penyok. Harry
membuka dengan tangan gemetar. Di dalam kotak itu ada kue cokelat besar dengan
tulisan Selamat Ulang Tahun, Harry dari gula hijau.
Harry
menengadah menatap si raksasa. Dia bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi
kata-katanya menghilang dalam perjalanan ke mulutnya, dan yang dikatakannya
malah,
"Siapa
kau?"
Si
raksasa tertawa.
"Betul,
aku belum perkenalkan diri. Rubeus Hagrid, pemegang kunci dan pengawas binatang
liar di Hogwarts."
Dia
mengulurkan tangan yang besar sekali dan mengguncang seluruh lengan Harry.
"Bagaimana tehnya tadi, eh?" katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya. "Aku juga tidak tolak minuman yang lebih keras, kalau memang ada."
"Bagaimana tehnya tadi, eh?" katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya. "Aku juga tidak tolak minuman yang lebih keras, kalau memang ada."
Pandangannya
tertuju ke perapian dengan bungkus keripik yang sudah mengerut dan dia
mendengus. Dia membungkuk ke perapian. Mereka tidak bisa melihat apa yang
dilakukannya, tetapi ketika dia tegak lagi sedetik kemudian, api sudah
menyala-nyala. Api itu memenuhi pondok yang lembap dengan cahayanya yang
bergerak-gerak dan Harry merasa kehangatan menyelubunginya, seakan dia masuk ke
dalam bak berisi air panas.
Si raksasa duduk kembali di sofa, yang langsung melesak keberatan dan mulai mengeluarkan berbagai benda dari dalam sakunya: ceret tembaga, satu pak sosis lezat, tusukan panjang, teko, beberapa cangkir yang sudah somplak, dan sebotol cairan kuning-kecokelatan yang diteguknya dulu sebelum dia menyiapkan makanan. Segera saja pondok dipenuhi bunyi dan bau sosis panggang yang lezat. Tak seorang pun bicara ketika si raksasa bekerja, tetapi ketika dia melepas enam sosis gemuk berminyak yang sedikit gosong dari tusukannya, Dudley mulai gelisah. Paman Vernon berkata tajam, "Jangan sentuh apa pun yang diberikannya padamu, Dudley."
Si raksasa duduk kembali di sofa, yang langsung melesak keberatan dan mulai mengeluarkan berbagai benda dari dalam sakunya: ceret tembaga, satu pak sosis lezat, tusukan panjang, teko, beberapa cangkir yang sudah somplak, dan sebotol cairan kuning-kecokelatan yang diteguknya dulu sebelum dia menyiapkan makanan. Segera saja pondok dipenuhi bunyi dan bau sosis panggang yang lezat. Tak seorang pun bicara ketika si raksasa bekerja, tetapi ketika dia melepas enam sosis gemuk berminyak yang sedikit gosong dari tusukannya, Dudley mulai gelisah. Paman Vernon berkata tajam, "Jangan sentuh apa pun yang diberikannya padamu, Dudley."
Si
raksasa tertawa seram.
"Anakmu
yang sudah sebulat bola tidak perlu digemukkan lagi, Dursley, jangan
khawatir."
Dia
menyerahkan sosis-sosis itu kepada Harry. Harry, yang sudah lapar sekali, belum
pernah makan makanan selezat itu, tetapi dia tetap tak bisa melepas pandangannya
dari si raksasa. Akhirnya, karena tak seorang pun kelihatannya akan
menjelaskan, dia berkata, "Maaf, tapi saya tetap belum tahu siapa
Anda."
Si
raksasa menghirup tehnya dalam tegukan besar, dan melap mulut dengan punggung
tangannya.
"Panggil
aku Hagrid," katanya. "Semua panggil aku begitu. Dan seperti sudah
kubilang, aku pemegang kunci di Hogwarts—kau tentunya sudah tahu tentang
Hogwarts."
"Eh…
belum," kata Harry.
Hagrid
kelihatannya terperangah.
"Maaf,"
kata Harry cepat-cepat.
"Maaf?"
balas Hagrid, menoleh menatap keluarga Dursley yang mengerut dalam bayangan
kegelapan. "Merekalah yang harus minta maaf! Aku tahu suratmu tidak
kauterima, tapi tak pernah kuduga kau tidak tahu tentang Hogwarts. Astaga! Tak
pernahkah kau ingin tahu di mana orangtuamu belajar semua itu?"
"Semua
apa?" tanya Harry.
"SEMUA
APA?" gelegar Hagrid. "Tunggu dulu!"
Dia
melompat berdiri. Dalam kemarahannya dia seolah memenuhi seluruh pondok.
Keluarga Dursley merapat ketakutan ke tembok.
"Apa
ini berarti," dia menggeram kepada keluarga Dursley, "bahwa anak ini…
anak ini!… tidak tahu tentang… tidak tahu APA-APA?"
Harry
merasa ini sudah kelewatan. Dia kan sekolah, dan angka-angkanya juga tidak
buruk.
"Aku
tahu beberapa hal," katanya. "Aku bisa Matematika dan
pelajaran-pelajaran lain."
Tetapi Hagrid hanya mengibaskan tangannya dan berkata, "Tentang dunia kita, maksudku. Duniamu, duniaku. Dunia orangtuamu."
Tetapi Hagrid hanya mengibaskan tangannya dan berkata, "Tentang dunia kita, maksudku. Duniamu, duniaku. Dunia orangtuamu."
"Dunia
apa?"
Hagrid
kelihatannya sudah siap meledak.
"DURSLEY!"
teriakannya mengguntur.
Paman
Vernon, yang sudah pucat pasi, menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti
"Mimbelwimbel!" Hagrid menatap liar pada Harry.
"Tapi
kau pasti tahu tentang ayah dan ibumu," katanya. "Maksudku, mereka
terkenal. Kau terkenal."
"Apa?
Ja-jadi, ayah dan ibuku terkenal?
"Kau
tak tahu… kau tak tahu…" Hagrid menyisir rambut dengan jari-jarinya,
memandang Harry keheranan.
"Kau
tak tahu kau ini apa?" katanya akhirnya.
Paman
Vernon mendadak menemukan suaranya.
"Stop!"
perintahnya. "Stop di sini, Sir. Saya larang Anda memberitahu anak ini apa
pun!"
Orang
yang lebih berani dari Vernon Dursley pastilah sudah gemetar menerima pandangan
marah Hagrid. Ketika Hagrid bicara, setiap suku katanya gemetar saking marahnya
dia.
"Kau
tak pernah bilang padanya? Tak pernah beritahu dia apa yang ada dalam surat
yang ditinggalkan Dumbledore untuknya? Aku ada di sana! Aku lihat sendiri
Dumbledore tinggalkan surat itu, Dursley! Dan kausembunyikan itu darinya selama
bertahun-tahun ini?"
"Menyembunyikan
apa dariku?" tanya Harry tak sabar.
"STOP!
KULARANG KAU!" teriak Paman Vernon panik.
Bibi
Petunia tersedak kaget.
"Ah,
peduli amat kalian berdua," kata Hagrid. "Harry—kau penyihir."
Sunyi
senyap di dalam pondok. Hanya debur ombak dan deru angin yang terdengar.
"Aku
apa?" tanya Harry kaget.
"Penyihir,
tentu saja," kata Hagrid yang kembali duduk di sofa, sehingga sofanya
berderit dan melesak lebih dalam lagi. "Dan penyihir yang hebat, kalau
dilatih sedikit. Dengan ayah dan ibu sehebat itu, mana bisa lain lagi? Dan
kurasa sudah waktunya kaubaca suratmu."
Harry mengulurkan tangan, akhirnya, untuk mengambil amplop kekuningan dengan alamat ditulis dengan tinta hijau ditujukan kepada Mr H. Potter, Lantai, Pondok-di-Atas-Karang, Laut.
Harry mengulurkan tangan, akhirnya, untuk mengambil amplop kekuningan dengan alamat ditulis dengan tinta hijau ditujukan kepada Mr H. Potter, Lantai, Pondok-di-Atas-Karang, Laut.
Harry
menarik keluar suratnya dan membacanya.
SEKOLAH
SIHIR HOGWARTS
Kepala Sekolah: Albus
Dumbledore
(Order of Merlin,
Kelas Pertama, Penyihir Hebat, Kepala Penyihir, Konfederasi Sihir
Internasional)
Mr Potter yang baik,
Dengan gembira kami
mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihir Hogwarts.
Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan.
Tahun ajaran baru mulai 1 September. Kami menunggu burung hantu Anda paling lambat 31 Juli.
Tahun ajaran baru mulai 1 September. Kami menunggu burung hantu Anda paling lambat 31 Juli.
Hormat saya,
Minerva McGonagall
Wakil Kepala Sekolah
Berbagai
pertanyaan meledak-ledak dalam kepala Harry seperti kembang api dan dia tak
dapat memutuskan mana yang akan ditanyakan lebih dulu. Sesudah lewat beberapa
menit, dia bertanya tergagap, "Apa maksudnya mereka menunggu burung
hantuku?"
"Gordon
bloon, aku jadi ingat," kata Hagrid sembari menepakkan tangan ke dahinya
dengan kekuatan yang cukup untuk membalikkan kereta kuda. Dan dari dalam saku
lain di balik mantelnya, dia menarik keluar burung hantu—betul-betul burung
hantu hidup, yang bulunya agak berantakan—pena bulu panjang, dan gulungan
kertas. Dengan menggigit lidah dia menulis pesan yang bisa dibaca Harry dengan
terbalik:
Mr
Dumbledore yang terhormat,
Surat
Harry sudah kusampaikan. Akan bawa dia beli perlengkapan besok. Cuaca buruk sekali.
Mudah-mudahan Anda baik.
Hagrid
Hagrid
menggulung pesannya, menyerahkannya kepada si burung hantu, yang menggigitnya
di paruhnya, lalu melangkah ke pintu dan melontarkan si burung hantu ke dalam
badai. Kemudian dia kembali dan duduk lagi seakan tindakannya tadi sewajar
orang bicara di telepon.
Harry
sadar mulutnya ternganga. Cepat-cepat dikatupkannya.
"Sampai
mana aku tadi?" kata Hagrid. Tetapi saat itu Paman Vernon, wajahnya masih
pucat pasi tapi tampangnya sangat marah, maju ke depan perapian.
"Dia
tidak boleh pergi," katanya.
Hagrid
menggerutu.
"Aku
mau lihat Muggle hebat sepertimu halangi kepergiannya," katanya.
"Apa?"
tanya Harry tertarik.
"Muggle,"
kata Hagrid. "Itu sebutan kami untuk manusia-manusia yang bukan penyihir.
Dan sungguh buruk nasibmu dibesarkan dalam keluarga Muggle paling sok yang
pernah kulihat."
"Waktu
mengambilnya kami sudah bersumpah kami akan menghentikan semua omong kosong
ini," kata Paman Vernon. "Bersumpah untuk membelanya! Penyihir? Mana
ada!"
"Paman
dan Bibi tahu?" tanya Harry. "Paman dan Bibi tahu aku
pe-penyihir?"
"Tahu!"
pekik Bibi Petunia tiba-tiba. "Tahu! Tentu saja kami tahu! Bagaimana
tidak, kalau adikku yang brengsek juga begitu? Oh, dia juga menerima surat
seperti itu dan menghilang ke… ke sekolah itu… dan pulang setiap liburan dengan
kantong penuh telur katak dan mengubah cangkir menjadi tikus. Aku satu-satunya
yang tahu dia seperti apa—dia aneh! Tetapi ibu dan ayahku… uh, apa-apa Lily…
Lily begini dan Lily begitu. Mereka bangga punya anak penyihir!"
Dia
berhenti untuk menarik napas dalam-dalam, dan kemudian merepet lagi.
Kelihatannya sudah bertahun-tahun dia ingin mengeluarkan semua ini.
"Kemudian dia bertemu si Potter itu di sekolah, lalu mereka menikah dan punya anak kau, dan tentu saja aku tahu kau pasti sama anehnya, sama… abnormalnya, dan kemudian si Lily itu kena ledakan dan terpaksa kami kebebanan kau!"
"Kemudian dia bertemu si Potter itu di sekolah, lalu mereka menikah dan punya anak kau, dan tentu saja aku tahu kau pasti sama anehnya, sama… abnormalnya, dan kemudian si Lily itu kena ledakan dan terpaksa kami kebebanan kau!"
Harry
sudah menjadi pucat. Segera setelah dapat bicara dia berkata, "Ledakan?
Kalian bilang mereka meninggal dalam kecelakaan mobil!"
"KECELAKAAN
MOBIL!" raung Hagrid, melompat bangun dengan amat marah sehingga Mr dan
Mrs Dursley cepat-cepat kembali ke sudut mereka. "Bagaimana mungkin
kecelakaan mobil bisa bunuh Lily dan James Potter? Sungguh penghinaan besar.
Skandal! Harry Potter tidak tahu kisah hidupnya sendiri, sementara semua anak
di dunia kami tahu namanya!"
"Tapi
kenapa? Apa yang terjadi?" desak Harry.
Kemarahan
memudar dari wajah Hagrid. Tiba-tiba dia kelihatan khawatir.
"Tak kusangka akan begini," katanya cemas dengan suara rendah. "Waktu Dumbledore bilang mungkin akan ada kesulitan ambil kau, tak kukira kau serba-tak-tahu begini. Ah, Harry, aku tak tahu apakah aku orang yang tepat untuk beritahu kau—tapi harus ada yang kasih tahu—tak mungkin kau berangkat ke Hogwarts tanpa tahu ini."
"Tak kusangka akan begini," katanya cemas dengan suara rendah. "Waktu Dumbledore bilang mungkin akan ada kesulitan ambil kau, tak kukira kau serba-tak-tahu begini. Ah, Harry, aku tak tahu apakah aku orang yang tepat untuk beritahu kau—tapi harus ada yang kasih tahu—tak mungkin kau berangkat ke Hogwarts tanpa tahu ini."
Hagrid
memandang sebal pada keluarga Dursley.
"Yah,
ada baiknya kau tahu sejauh yang bisa kuceritakan padamu—aku tak bisa ceritakan
semuanya, soalnya sebagian di antaranya misteri besar…"
Dia
duduk, memandang api selama beberapa detik, kemudian berkata, "Semua ini,
menurutku, dimulai oleh orang yang bernama—kelewatan sekali kau tidak tahu
namanya, semua orang di dunia kita tahu…"
"Siapa?"
"Yah—aku
tak mau sebut namanya, kalau bisa. Tak seorang pun berani sebut namanya."
"Kenapa
tidak?"
"Astaganaga,
Harry, orang kan masih takut. Wah, susah jadinya. Begini, ada penyihir yang…
jadi jahat. Jahat sekali. Bahkan lebih dari jahat. Jauh lebih jahat daripada
sekadar lebih jahat. Namanya…"
Hagrid
menelan ludah, tapi tak ada suara yang keluar.
"Bagaimana
kalau ditulis saja?" Harry mengusulkan.
"Tidak—aku
tidak bisa eja. Baiklah—Voldemort." Hagrid bergidik. "Jangan suruh
aku sebut sekali lagi. Pendeknya, penyihir ini kira-kira dua puluh tahun yang
lalu mulai cari pengikut. Dan dapat, lagi—sebagian karena takut, sebagian lagi
karena inginkan cipratan kekuasaannya, karena dia memang punya kekuasaan.
Sungguh hari-hari suram, Harry. Kita tak tahu siapa yang bisa dipercaya, tak
berani bersikap ramah pada penyihir asing… Hal-hal mengerikan terjadi. Dia
mulai ambil alih kekuasaan. Tentu saja beberapa berusaha lawan dia—dan mereka
dibunuh. Dengan sangat mengerikan. Salah satu tempat yang masih aman adalah
Hogwarts. Kurasa Dumbledore adalah satu-satunya yang ditakuti Kau-Tahu-Siapa.
Tidak berani ambil alih sekolah, dulu paling tidak."
"Ibu
dan ayahmu penyihir hebat. Dua-duanya Ketua Murid semasa mereka sekolah! Kurasa
misterinya adalah kenapa Kau-Tahu-Siapa tidak coba tarik ibu dan ayahmu ke
pihaknya sebelumnya… mungkin dia tahu mereka terlalu dekat dengan Dumbledore,
sehingga pasti tidak tertarik pada Sihir Hitam."
"Mungkin
dia kira bisa bujuk mereka… mungkin dia cuma ingin mereka menyingkir. Yang
orang tahu hanyalah, dia muncul di desa tempat kalian tinggal di malam
Halloween sepuluh tahun lalu. Kau baru berumur satu tahun. Dia datang ke
rumahmu dan… dan…"
Hagrid tiba-tiba menarik keluar saputangan yang sangat kotor dan membuang ingus dengan bunyi seperti terompet.
Hagrid tiba-tiba menarik keluar saputangan yang sangat kotor dan membuang ingus dengan bunyi seperti terompet.
"Maaf,"
katanya. "Tetapi aku sedih sekali—aku kenal ibu dan ayahmu—tak ada orang
lain sebaik mereka—pendeknya…"
"Kau-Tahu-Siapa
bunuh mereka. Dan kemudian—dan ini misteri yang sesungguhnya—dia mencoba bunuh
kau juga. Mau habisi kalian sampai tuntas, kurasa, atau mungkin dia memang
senang membunuh. Tetapi dia tak bisa bunuh kau. Pernahkah kau bertanya-tanya
bagaimana kaudapat bekas luka di dahimu? Itu bukan luka biasa. Itu yang
kaudapat jika kekuatan sihir jahat sentuh kau—berhasil tewaskan ibu dan ayahmu,
bahkan hancurkan rumahmu—tetapi tidak mempan untukmu. Itulah sebabnya kau
terkenal, Harry. Tak seorang pun bisa hidup setelah dia putuskan untuk
membunuhnya. Tak seorang pun, kecuali kau, dan dia telah berhasil bunuh penyihir-penyihir
terbaik pada zaman ini—keluarga McKinnon, keluarga Bone, keluarga
Prewett—padahal kau masih bayi, dan kau hidup."
Sesuatu
yang menyakitkan berpusar dalam benak Harry. Ketika cerita Hagrid hampir tamat,
dia melihat kembali cahaya hijau menyilaukan, lebih jelas daripada yang selama
ini diingatnya. Dan dia juga ingat sesuatu yang lain, untuk pertama kali dalam
hidupnya—tawa nyaring, dingin, dan bengis.
Hagrid
menatapnya dengan sedih.
"Aku
sendiri yang ambil kau dari rumahmu yang hancur, atas perintah Dumbledore.
Kubawa kau ke keluarga ini…"
"Omong
kosong besar," kata Paman Vernon. Harry melompat. Dia nyaris lupa keluarga
Dursley ada di situ. Paman Vernon kelihatannya sudah mendapatkan kembali
keberaniannya. Dia mendelik kepada Hagrid dan tangannya terkepal.
"Dengarkan
aku, Harry," geramnya. "Kuakui kau memang agak aneh, tapi mungkin
bisa dibereskan dengan dihajar. Sedangkan tentang orangtuamu, mereka memang
aneh, tak bisa dibantah, dan menurutku dunia ini lebih baik tanpa mereka—yang
terjadi itu salah mereka sendiri, bergaul dengan tukang-tukang sihir. Mau apa
lagi, sudah kuduga mereka akan berakhir begitu…"
Tetapi
saat itu Hagrid melompat bangun dari sofa dan menarik payung butut merah jambu
dari dalam sakunya. Sambil mengacungkan payung itu ke arah Paman Vernon seperti
pedang, dia berkata, "Kuperingatkan kau, Dursley—kuperingatkan kau—satu
kata lagi saja…"
Menghadapi bahaya ditombak dengan ujung payung, keberanian Paman Vernon melempem lagi. Dia merapatkan diri ke dinding dan diam.
Menghadapi bahaya ditombak dengan ujung payung, keberanian Paman Vernon melempem lagi. Dia merapatkan diri ke dinding dan diam.
“Itu
lebih baik," kata Hagrid, bernapas berat dan duduk lagi di sofa, yang kali
ini melesak sampai ke lantai.
Harry,
sementara itu, masih penasaran, masih ingin mengajukan ratusan pertanyaan.
"Tetapi apa yang terjadi pada Vol—maaf—maksudku, Kau-Tahu-Siapa?"
"Tetapi apa yang terjadi pada Vol—maaf—maksudku, Kau-Tahu-Siapa?"
"Pertanyaan
bagus, Harry. Hilang. Lenyap. Malam yang sama dia coba bunuh kau. Membuat kau
tambah terkenal. Itulah misteri yang paling besar. Soalnya… belakangan makin
lama dia makin kuat—jadi kenapa dia harus pergi?"
"Ada
yang bilang dia mati. Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup
manusia di tubuhnya untuk bisa mati. Yang lain lagi bilang dia masih sembunyi,
tunggu waktu yang tepat, tapi aku tidak percaya. Orang-orang yang tadinya jadi
pengikutnya telah kembali ke kami. Beberapa di antaranya seperti kerasukan.
Mana mungkin mereka balik ke kami kalau dia akan datang lagi."
"Kebanyakan
dari kami duga dia masih ada entah di mana, tapi sudah kehilangan kekuatannya.
Terlalu lemah untuk terus merajalela. Karena sesuatu pada dirimu menghabisi
dia, Harry. Ada yang terjadi malam itu yang di luar perhitungannya—aku tak tahu
apa itu, tak ada yang tahu—tetapi sesuatu pada dirimu membuat dia takluk."
Hagrid
memandang Harry dengan hangat dan rasa hormat. Tetapi Harry, alih-alih merasa
senang dan bangga, merasa yakin ada kekeliruan besar. Penyihir? Dia? Bagaimana
mungkin dia penyihir? Dia telah melewatkan hidupnya dijadikan bulan-bulanan
oleh Dudley dan ditindas oleh Bibi Petunia dan Paman Vernon. Kalau memang dia
penyihir, kenapa mereka tidak berubah jadi kodok setiap kali mereka mencoba
menguncinya di dalam lemari? Jika dia pernah mengalahkan penyihir paling hebat
di dunia, bagaimana mungkin Dudley selalu bisa menendang-nendangnya ke sana
kemari seperti bola?
"Hagrid,"
katanya cemas. "Kurasa kau pasti keliru. Tidak mungkin aku ini
penyihir."
Betapa herannya dia, Hagrid tertawa.
Betapa herannya dia, Hagrid tertawa.
"Tidak
mungkin penyihir, eh? Tidak pernahkan ada peristiwa-peristiwa yang terjadi
setiap kali kau takut atau marah?"
Harry
memandang perapian. Kalau dipikir-pikir… semua kejadian aneh yang membuat bibi
dan pamannya marah kepadanya terjadi ketika dia, Harry, sedang marah atau
sedih. Ketika dikejar-kejar oleh geng Dudley, entah bagaimana dia selalu bisa
meloloskan diri… waktu cemas karena harus ke sekolah dengan potongan rambut
yang konyol, rambutnya tiba-tiba tumbuh sendiri… dan ketika Dudley terakhir
kali memukulnya, bukankah dia telah berhasil membalasnya, tanpa sadar? Bukankah
dia yang melepas ular boa yang menakutkan Dudley?
Harry
kembali memandang Hagrid, tersenyum, dan dilihatnya Hagrid nyengir senang
kepadanya.
"Lihat
sendiri, kan?" kata Hagrid. "Harry Potter tidak mungkin
penyihir—tunggu saja, kau akan terkenal di Hogwarts."
Tetapi
Paman Vernon tak akan mau menyerah tanpa perlawanan.
"Kan
sudah kubilang dia tidak boleh pergi?" desisnya. "Dia akan ke
Stonewall High dan dia akan berterima kasih karenanya. Aku sudah membaca
surat-surat itu dan katanya dia memerlukan segala macam sampah—buku mantra dan
tongkat dan…"
"Kalau
dia mau pergi, Muggle hebat seperti kau tidak akan bisa larang dia," geram
Hagrid. "Melarang anak Lily dan James Potter masuk Hogwarts! Kau gila.
Namanya sudah terdaftar di sana sejak dia dilahirkan. Dia akan masuk sekolah
sihir paling terkenal di dunia. Tujuh tahun di sana, dia tak akan kenal dirinya
lagi. Dia akan bergaul dengan anak-anak sejenisnya, kali ini, dan di bawah
bimbingan kepala sekolah paling hebat yang dimiliki Hogwarts, Albus
Dumbled…"
"AKU
TIDAK MAU MEMBAYAR LAKI-LAKI TUA SINTING UNTUK MENGAJARINYA TIPUAN SIHIR!"
teriak Paman Vernon.
Tetapi
dia sudah kelewatan. Hagrid menyambar payungnya dan memutar-mutarnya di atas
kepala. "JANGAN BERANI-BERANI…," gelegarnya, "… HINA… ALBUS…
DUMBLEDORE… DI… DEPANKU!"
Diayunkannya
payungnya turun untuk menunjuk Dudley. Ada kilatan cahaya ungu, bunyi seperti
petasan, jeritan nyaring, dan detik berikutnya Dudley menarik-nari di tempat
dengan tangan memegangi pantatnya yang gemuk, menjerit-jerit kesakitan. Ketika
dia berbalik membelakangi mereka, Harry melihat ekor babi melingkar nongol dari
lubang di celananya.
Paman Vernon menggerung. Seraya menarik Bibi Petunia dan Dudley ke kamar satunya, dia melempar pandangan ketakutan untuk terakhir kali kepada Hagrid, lalu membanting pintu menutup di belakang mereka.
Paman Vernon menggerung. Seraya menarik Bibi Petunia dan Dudley ke kamar satunya, dia melempar pandangan ketakutan untuk terakhir kali kepada Hagrid, lalu membanting pintu menutup di belakang mereka.
Hagrid
menunduk menatap payungnya dan membelai jenggotnya.
"Harusnya tak boleh marah," katanya menyesal, "tapi kan tidak berhasil. Maksudku mau ubah dia jadi babi, tapi kurasa dia sudah mirip sekali babi, tak banyak lagi yang bisa dilakukan."
"Harusnya tak boleh marah," katanya menyesal, "tapi kan tidak berhasil. Maksudku mau ubah dia jadi babi, tapi kurasa dia sudah mirip sekali babi, tak banyak lagi yang bisa dilakukan."
Dia
melirik Harry dari bawah alisnya yang lebat.
"Aku
akan berterima kasih kalau kau tidak sebut-sebut kejadian ini pada siapa pun di
Hogwarts," katanya. "Aku… ehm… sebetulnya tidak boleh menyihir. Hanya
boleh sedikit saja untuk ikuti kau dan antar surat-surat kepadamu dan
belanja—salah satu alasan aku ingin sekali dapatkan tugas ini…"
"Kenapa
kau tidak boleh menyihir?" tanya Harry.
"Oh,
yah… aku dulunya sekolah di Hogwarts juga, tapi… ehm… aku dikeluarkan, jujur
saja. Waktu kelas tiga. Mereka patahkan tongkatku jadi dua dan macam-macam
lagi. Tetapi Dumbledore izinkan aku tinggal sebagai pengawas binatang liar.
Orang hebat, Dumbledore."
"Kenapa
kau dikeluarkan?"
"Sudah
malam dan banyak yang harus kita lakukan besok," kata Hagrid keras-keras.
"Harus ke kota, beli buku-buku dan peralatanmu."
Hagrid
melepas mantel hitamnya yang tebal dan melemparkannya kepada Harry.
"Bisa kaujadikan selimut," katanya. "Jangan pedulikan kalau sedikit meronta-ronta. Kurasa masih ada sepasang tikus di salah satu sakunya."
"Bisa kaujadikan selimut," katanya. "Jangan pedulikan kalau sedikit meronta-ronta. Kurasa masih ada sepasang tikus di salah satu sakunya."
***
| @MutiaRKinasih |
No comments:
Post a Comment