Tuesday, December 10, 2013

HP 1 - BAB 4 Si Pemegang Kunci



BAB 4
Si Pemegang Kunci

BOOM! Mereka menggedor lagi. Dudley terbangun dengan kaget.
"Di mana meriamnya?" tanyanya bego.
Terdengar gubrakan di belakang mereka dan Paman Vernon muncul dengan tergopoh-gopoh ke dalam ruangan. Tangannya memegang senapan—sekarang mereka tahu apa yang ada dalam bungkusan kurus panjang yang tadi dibawanya.
"Siapa itu?" teriaknya. "Kuperingatkan kau… aku bersenjata!"
Sunyi sesaat. Kemudian…
GUBRAAAK!

Pintu dihantam begitu keras sampai terlepas dari engselnya, dan dengan bunyi memekakkan telinga pintu itu terempas ke lantai.
Sesosok raksasa berdiri di depan pintu. Wajahnya nyaris tersembunyi di balik rambut panjangnya yang awut-awutan dan berewok liar yang berantakan. Tetapi kau bisa melihat matanya, berkilauan bagai dua kumbang hitam di balik rambut awut-awutan itu.
Si raksasa memaksakan diri masuk, menunduk sehingga kepalanya cuma menyentuh langit-langit. Dia membungkuk, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali ke engselnya. Deru badai di luar teredam sedikit. Dia menoleh memandang mereka semua.
"Bisa bikinkan teh, kan? Tidak gampang datang ke sini…"
Dia melangkah ke sofa. Dudley duduk membeku ketakutan.
"Minggir, karung besar," kata orang asing itu.
Dudley mencicit dan bersembunyi di belakang punggung ibunya. Bibi Petunia sendiri berjongkok ketakutan di belakang Paman Vernon.
"Nah, ini dia Harry!" kata si raksasa.
Harry mendongak memandang wajah liar dan galak itu, dan melihat sudut mata kumbangnya berkerut penuh senyum.
"Terakhir kali aku melihatmu, kau masih bayi," kata si raksasa. "Kau mirip sekali ayahmu, tapi matamu mata ibumu."
Paman Vernon mengeluarkan suara serak yang aneh.
"Saya meminta Anda segera pergi, Sir!" katanya. "Anda menjebol pintu dan masuk tanpa izin."
"Ah, tutup mulut, Dursley, jangan sok," kata si raksasa. Tangannya menjangkau ke belakang sofa, menjambret senapan dari tangan Paman Vernon, membengkokkannya seakan senapan itu terbuat dari karet saja, lalu melemparkannya ke sudut ruangan.
Paman Vernon mengeluarkan suara aneh lagi, seperti cicit tikus yang terinjak.
"Yang jelas, Harry," kata si raksasa, berbalik membelakangi keluarga Dursley, "selamat ulang tahun untukmu, selamat panjang umur. Bawa sesuatu buatmu—mungkin tadi kududuki, tapi rasanya pasti masih enak."
Dari saku dalam mantel hitamnya dia mengeluarkan kotak yang agak penyok. Harry membuka dengan tangan gemetar. Di dalam kotak itu ada kue cokelat besar dengan tulisan Selamat Ulang Tahun, Harry dari gula hijau.
Harry menengadah menatap si raksasa. Dia bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi kata-katanya menghilang dalam perjalanan ke mulutnya, dan yang dikatakannya malah,
"Siapa kau?"
Si raksasa tertawa.
"Betul, aku belum perkenalkan diri. Rubeus Hagrid, pemegang kunci dan pengawas binatang liar di Hogwarts."
Dia mengulurkan tangan yang besar sekali dan mengguncang seluruh lengan Harry.
"Bagaimana tehnya tadi, eh?" katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya. "Aku juga tidak tolak minuman yang lebih keras, kalau memang ada."
Pandangannya tertuju ke perapian dengan bungkus keripik yang sudah mengerut dan dia mendengus. Dia membungkuk ke perapian. Mereka tidak bisa melihat apa yang dilakukannya, tetapi ketika dia tegak lagi sedetik kemudian, api sudah menyala-nyala. Api itu memenuhi pondok yang lembap dengan cahayanya yang bergerak-gerak dan Harry merasa kehangatan menyelubunginya, seakan dia masuk ke dalam bak berisi air panas.
Si raksasa duduk kembali di sofa, yang langsung melesak keberatan dan mulai mengeluarkan berbagai benda dari dalam sakunya: ceret tembaga, satu pak sosis lezat, tusukan panjang, teko, beberapa cangkir yang sudah somplak, dan sebotol cairan kuning-kecokelatan yang diteguknya dulu sebelum dia menyiapkan makanan. Segera saja pondok dipenuhi bunyi dan bau sosis panggang yang lezat. Tak seorang pun bicara ketika si raksasa bekerja, tetapi ketika dia melepas enam sosis gemuk berminyak yang sedikit gosong dari tusukannya, Dudley mulai gelisah. Paman Vernon berkata tajam, "Jangan sentuh apa pun yang diberikannya padamu, Dudley."
Si raksasa tertawa seram.
"Anakmu yang sudah sebulat bola tidak perlu digemukkan lagi, Dursley, jangan khawatir."
Dia menyerahkan sosis-sosis itu kepada Harry. Harry, yang sudah lapar sekali, belum pernah makan makanan selezat itu, tetapi dia tetap tak bisa melepas pandangannya dari si raksasa. Akhirnya, karena tak seorang pun kelihatannya akan menjelaskan, dia berkata, "Maaf, tapi saya tetap belum tahu siapa Anda."
Si raksasa menghirup tehnya dalam tegukan besar, dan melap mulut dengan punggung tangannya.
"Panggil aku Hagrid," katanya. "Semua panggil aku begitu. Dan seperti sudah kubilang, aku pemegang kunci di Hogwarts—kau tentunya sudah tahu tentang Hogwarts."
"Eh… belum," kata Harry.
Hagrid kelihatannya terperangah.
"Maaf," kata Harry cepat-cepat.
"Maaf?" balas Hagrid, menoleh menatap keluarga Dursley yang mengerut dalam bayangan kegelapan. "Merekalah yang harus minta maaf! Aku tahu suratmu tidak kauterima, tapi tak pernah kuduga kau tidak tahu tentang Hogwarts. Astaga! Tak pernahkah kau ingin tahu di mana orangtuamu belajar semua itu?"
"Semua apa?" tanya Harry.
"SEMUA APA?" gelegar Hagrid. "Tunggu dulu!"
Dia melompat berdiri. Dalam kemarahannya dia seolah memenuhi seluruh pondok. Keluarga Dursley merapat ketakutan ke tembok.
"Apa ini berarti," dia menggeram kepada keluarga Dursley, "bahwa anak ini… anak ini!… tidak tahu tentang… tidak tahu APA-APA?"
Harry merasa ini sudah kelewatan. Dia kan sekolah, dan angka-angkanya juga tidak buruk.
"Aku tahu beberapa hal," katanya. "Aku bisa Matematika dan pelajaran-pelajaran lain."
Tetapi Hagrid hanya mengibaskan tangannya dan berkata, "Tentang dunia kita, maksudku. Duniamu, duniaku. Dunia orangtuamu."
"Dunia apa?"
Hagrid kelihatannya sudah siap meledak.
"DURSLEY!" teriakannya mengguntur.
Paman Vernon, yang sudah pucat pasi, menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti "Mimbelwimbel!" Hagrid menatap liar pada Harry.
"Tapi kau pasti tahu tentang ayah dan ibumu," katanya. "Maksudku, mereka terkenal. Kau terkenal."
"Apa? Ja-jadi, ayah dan ibuku terkenal?
"Kau tak tahu… kau tak tahu…" Hagrid menyisir rambut dengan jari-jarinya, memandang Harry keheranan.
"Kau tak tahu kau ini apa?" katanya akhirnya.
Paman Vernon mendadak menemukan suaranya.
"Stop!" perintahnya. "Stop di sini, Sir. Saya larang Anda memberitahu anak ini apa pun!"
Orang yang lebih berani dari Vernon Dursley pastilah sudah gemetar menerima pandangan marah Hagrid. Ketika Hagrid bicara, setiap suku katanya gemetar saking marahnya dia.
"Kau tak pernah bilang padanya? Tak pernah beritahu dia apa yang ada dalam surat yang ditinggalkan Dumbledore untuknya? Aku ada di sana! Aku lihat sendiri Dumbledore tinggalkan surat itu, Dursley! Dan kausembunyikan itu darinya selama bertahun-tahun ini?"
"Menyembunyikan apa dariku?" tanya Harry tak sabar.
"STOP! KULARANG KAU!" teriak Paman Vernon panik.
Bibi Petunia tersedak kaget.
"Ah, peduli amat kalian berdua," kata Hagrid. "Harry—kau penyihir."
Sunyi senyap di dalam pondok. Hanya debur ombak dan deru angin yang terdengar.
"Aku apa?" tanya Harry kaget.
"Penyihir, tentu saja," kata Hagrid yang kembali duduk di sofa, sehingga sofanya berderit dan melesak lebih dalam lagi. "Dan penyihir yang hebat, kalau dilatih sedikit. Dengan ayah dan ibu sehebat itu, mana bisa lain lagi? Dan kurasa sudah waktunya kaubaca suratmu."
Harry mengulurkan tangan, akhirnya, untuk mengambil amplop kekuningan dengan alamat ditulis dengan tinta hijau ditujukan kepada Mr H. Potter, Lantai, Pondok-di-Atas-Karang, Laut.
Harry menarik keluar suratnya dan membacanya.

SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

Kepala Sekolah: Albus Dumbledore
(Order of Merlin, Kelas Pertama, Penyihir Hebat, Kepala Penyihir, Konfederasi Sihir Internasional)
Mr Potter yang baik,
Dengan gembira kami mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihir Hogwarts. Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan.
Tahun ajaran baru mulai 1 September. Kami menunggu burung hantu Anda paling lambat 31 Juli.

Hormat saya,
Minerva McGonagall
Wakil Kepala Sekolah

Berbagai pertanyaan meledak-ledak dalam kepala Harry seperti kembang api dan dia tak dapat memutuskan mana yang akan ditanyakan lebih dulu. Sesudah lewat beberapa menit, dia bertanya tergagap, "Apa maksudnya mereka menunggu burung hantuku?"
"Gordon bloon, aku jadi ingat," kata Hagrid sembari menepakkan tangan ke dahinya dengan kekuatan yang cukup untuk membalikkan kereta kuda. Dan dari dalam saku lain di balik mantelnya, dia menarik keluar burung hantu—betul-betul burung hantu hidup, yang bulunya agak berantakan—pena bulu panjang, dan gulungan kertas. Dengan menggigit lidah dia menulis pesan yang bisa dibaca Harry dengan terbalik:

Mr Dumbledore yang terhormat,
Surat Harry sudah kusampaikan. Akan bawa dia beli perlengkapan besok. Cuaca buruk sekali. Mudah-mudahan Anda baik.

Hagrid

Hagrid menggulung pesannya, menyerahkannya kepada si burung hantu, yang menggigitnya di paruhnya, lalu melangkah ke pintu dan melontarkan si burung hantu ke dalam badai. Kemudian dia kembali dan duduk lagi seakan tindakannya tadi sewajar orang bicara di telepon.
Harry sadar mulutnya ternganga. Cepat-cepat dikatupkannya.
"Sampai mana aku tadi?" kata Hagrid. Tetapi saat itu Paman Vernon, wajahnya masih pucat pasi tapi tampangnya sangat marah, maju ke depan perapian.
"Dia tidak boleh pergi," katanya.
Hagrid menggerutu.
"Aku mau lihat Muggle hebat sepertimu halangi kepergiannya," katanya.
"Apa?" tanya Harry tertarik.
"Muggle," kata Hagrid. "Itu sebutan kami untuk manusia-manusia yang bukan penyihir. Dan sungguh buruk nasibmu dibesarkan dalam keluarga Muggle paling sok yang pernah kulihat."
"Waktu mengambilnya kami sudah bersumpah kami akan menghentikan semua omong kosong ini," kata Paman Vernon. "Bersumpah untuk membelanya! Penyihir? Mana ada!"
"Paman dan Bibi tahu?" tanya Harry. "Paman dan Bibi tahu aku pe-penyihir?"
"Tahu!" pekik Bibi Petunia tiba-tiba. "Tahu! Tentu saja kami tahu! Bagaimana tidak, kalau adikku yang brengsek juga begitu? Oh, dia juga menerima surat seperti itu dan menghilang ke… ke sekolah itu… dan pulang setiap liburan dengan kantong penuh telur katak dan mengubah cangkir menjadi tikus. Aku satu-satunya yang tahu dia seperti apa—dia aneh! Tetapi ibu dan ayahku… uh, apa-apa Lily… Lily begini dan Lily begitu. Mereka bangga punya anak penyihir!"
Dia berhenti untuk menarik napas dalam-dalam, dan kemudian merepet lagi. Kelihatannya sudah bertahun-tahun dia ingin mengeluarkan semua ini.
"Kemudian dia bertemu si Potter itu di sekolah, lalu mereka menikah dan punya anak kau, dan tentu saja aku tahu kau pasti sama anehnya, sama… abnormalnya, dan kemudian si Lily itu kena ledakan dan terpaksa kami kebebanan kau!"
Harry sudah menjadi pucat. Segera setelah dapat bicara dia berkata, "Ledakan? Kalian bilang mereka meninggal dalam kecelakaan mobil!"
"KECELAKAAN MOBIL!" raung Hagrid, melompat bangun dengan amat marah sehingga Mr dan Mrs Dursley cepat-cepat kembali ke sudut mereka. "Bagaimana mungkin kecelakaan mobil bisa bunuh Lily dan James Potter? Sungguh penghinaan besar. Skandal! Harry Potter tidak tahu kisah hidupnya sendiri, sementara semua anak di dunia kami tahu namanya!"
"Tapi kenapa? Apa yang terjadi?" desak Harry.
Kemarahan memudar dari wajah Hagrid. Tiba-tiba dia kelihatan khawatir.
"Tak kusangka akan begini," katanya cemas dengan suara rendah. "Waktu Dumbledore bilang mungkin akan ada kesulitan ambil kau, tak kukira kau serba-tak-tahu begini. Ah, Harry, aku tak tahu apakah aku orang yang tepat untuk beritahu kau—tapi harus ada yang kasih tahu—tak mungkin kau berangkat ke Hogwarts tanpa tahu ini."
Hagrid memandang sebal pada keluarga Dursley.
"Yah, ada baiknya kau tahu sejauh yang bisa kuceritakan padamu—aku tak bisa ceritakan semuanya, soalnya sebagian di antaranya misteri besar…"
Dia duduk, memandang api selama beberapa detik, kemudian berkata, "Semua ini, menurutku, dimulai oleh orang yang bernama—kelewatan sekali kau tidak tahu namanya, semua orang di dunia kita tahu…"
"Siapa?"
"Yah—aku tak mau sebut namanya, kalau bisa. Tak seorang pun berani sebut namanya."
"Kenapa tidak?"
"Astaganaga, Harry, orang kan masih takut. Wah, susah jadinya. Begini, ada penyihir yang… jadi jahat. Jahat sekali. Bahkan lebih dari jahat. Jauh lebih jahat daripada sekadar lebih jahat. Namanya…"
Hagrid menelan ludah, tapi tak ada suara yang keluar.
"Bagaimana kalau ditulis saja?" Harry mengusulkan.
"Tidak—aku tidak bisa eja. Baiklah—Voldemort." Hagrid bergidik. "Jangan suruh aku sebut sekali lagi. Pendeknya, penyihir ini kira-kira dua puluh tahun yang lalu mulai cari pengikut. Dan dapat, lagi—sebagian karena takut, sebagian lagi karena inginkan cipratan kekuasaannya, karena dia memang punya kekuasaan. Sungguh hari-hari suram, Harry. Kita tak tahu siapa yang bisa dipercaya, tak berani bersikap ramah pada penyihir asing… Hal-hal mengerikan terjadi. Dia mulai ambil alih kekuasaan. Tentu saja beberapa berusaha lawan dia—dan mereka dibunuh. Dengan sangat mengerikan. Salah satu tempat yang masih aman adalah Hogwarts. Kurasa Dumbledore adalah satu-satunya yang ditakuti Kau-Tahu-Siapa. Tidak berani ambil alih sekolah, dulu paling tidak."
"Ibu dan ayahmu penyihir hebat. Dua-duanya Ketua Murid semasa mereka sekolah! Kurasa misterinya adalah kenapa Kau-Tahu-Siapa tidak coba tarik ibu dan ayahmu ke pihaknya sebelumnya… mungkin dia tahu mereka terlalu dekat dengan Dumbledore, sehingga pasti tidak tertarik pada Sihir Hitam."
"Mungkin dia kira bisa bujuk mereka… mungkin dia cuma ingin mereka menyingkir. Yang orang tahu hanyalah, dia muncul di desa tempat kalian tinggal di malam Halloween sepuluh tahun lalu. Kau baru berumur satu tahun. Dia datang ke rumahmu dan… dan…"
Hagrid tiba-tiba menarik keluar saputangan yang sangat kotor dan membuang ingus dengan bunyi seperti terompet.
"Maaf," katanya. "Tetapi aku sedih sekali—aku kenal ibu dan ayahmu—tak ada orang lain sebaik mereka—pendeknya…"
"Kau-Tahu-Siapa bunuh mereka. Dan kemudian—dan ini misteri yang sesungguhnya—dia mencoba bunuh kau juga. Mau habisi kalian sampai tuntas, kurasa, atau mungkin dia memang senang membunuh. Tetapi dia tak bisa bunuh kau. Pernahkah kau bertanya-tanya bagaimana kaudapat bekas luka di dahimu? Itu bukan luka biasa. Itu yang kaudapat jika kekuatan sihir jahat sentuh kau—berhasil tewaskan ibu dan ayahmu, bahkan hancurkan rumahmu—tetapi tidak mempan untukmu. Itulah sebabnya kau terkenal, Harry. Tak seorang pun bisa hidup setelah dia putuskan untuk membunuhnya. Tak seorang pun, kecuali kau, dan dia telah berhasil bunuh penyihir-penyihir terbaik pada zaman ini—keluarga McKinnon, keluarga Bone, keluarga Prewett—padahal kau masih bayi, dan kau hidup."
Sesuatu yang menyakitkan berpusar dalam benak Harry. Ketika cerita Hagrid hampir tamat, dia melihat kembali cahaya hijau menyilaukan, lebih jelas daripada yang selama ini diingatnya. Dan dia juga ingat sesuatu yang lain, untuk pertama kali dalam hidupnya—tawa nyaring, dingin, dan bengis.
Hagrid menatapnya dengan sedih.
"Aku sendiri yang ambil kau dari rumahmu yang hancur, atas perintah Dumbledore. Kubawa kau ke keluarga ini…"
"Omong kosong besar," kata Paman Vernon. Harry melompat. Dia nyaris lupa keluarga Dursley ada di situ. Paman Vernon kelihatannya sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Dia mendelik kepada Hagrid dan tangannya terkepal.
"Dengarkan aku, Harry," geramnya. "Kuakui kau memang agak aneh, tapi mungkin bisa dibereskan dengan dihajar. Sedangkan tentang orangtuamu, mereka memang aneh, tak bisa dibantah, dan menurutku dunia ini lebih baik tanpa mereka—yang terjadi itu salah mereka sendiri, bergaul dengan tukang-tukang sihir. Mau apa lagi, sudah kuduga mereka akan berakhir begitu…"
Tetapi saat itu Hagrid melompat bangun dari sofa dan menarik payung butut merah jambu dari dalam sakunya. Sambil mengacungkan payung itu ke arah Paman Vernon seperti pedang, dia berkata, "Kuperingatkan kau, Dursley—kuperingatkan kau—satu kata lagi saja…"
Menghadapi bahaya ditombak dengan ujung payung, keberanian Paman Vernon melempem lagi. Dia merapatkan diri ke dinding dan diam.
“Itu lebih baik," kata Hagrid, bernapas berat dan duduk lagi di sofa, yang kali ini melesak sampai ke lantai.
Harry, sementara itu, masih penasaran, masih ingin mengajukan ratusan pertanyaan.
"Tetapi apa yang terjadi pada Vol—maaf—maksudku, Kau-Tahu-Siapa?"
"Pertanyaan bagus, Harry. Hilang. Lenyap. Malam yang sama dia coba bunuh kau. Membuat kau tambah terkenal. Itulah misteri yang paling besar. Soalnya… belakangan makin lama dia makin kuat—jadi kenapa dia harus pergi?"
"Ada yang bilang dia mati. Omong kosong, menurutku. Tak tahu apakah masih ada cukup manusia di tubuhnya untuk bisa mati. Yang lain lagi bilang dia masih sembunyi, tunggu waktu yang tepat, tapi aku tidak percaya. Orang-orang yang tadinya jadi pengikutnya telah kembali ke kami. Beberapa di antaranya seperti kerasukan. Mana mungkin mereka balik ke kami kalau dia akan datang lagi."
"Kebanyakan dari kami duga dia masih ada entah di mana, tapi sudah kehilangan kekuatannya. Terlalu lemah untuk terus merajalela. Karena sesuatu pada dirimu menghabisi dia, Harry. Ada yang terjadi malam itu yang di luar perhitungannya—aku tak tahu apa itu, tak ada yang tahu—tetapi sesuatu pada dirimu membuat dia takluk."
Hagrid memandang Harry dengan hangat dan rasa hormat. Tetapi Harry, alih-alih merasa senang dan bangga, merasa yakin ada kekeliruan besar. Penyihir? Dia? Bagaimana mungkin dia penyihir? Dia telah melewatkan hidupnya dijadikan bulan-bulanan oleh Dudley dan ditindas oleh Bibi Petunia dan Paman Vernon. Kalau memang dia penyihir, kenapa mereka tidak berubah jadi kodok setiap kali mereka mencoba menguncinya di dalam lemari? Jika dia pernah mengalahkan penyihir paling hebat di dunia, bagaimana mungkin Dudley selalu bisa menendang-nendangnya ke sana kemari seperti bola?
"Hagrid," katanya cemas. "Kurasa kau pasti keliru. Tidak mungkin aku ini penyihir."
Betapa herannya dia, Hagrid tertawa.
"Tidak mungkin penyihir, eh? Tidak pernahkan ada peristiwa-peristiwa yang terjadi setiap kali kau takut atau marah?"
Harry memandang perapian. Kalau dipikir-pikir… semua kejadian aneh yang membuat bibi dan pamannya marah kepadanya terjadi ketika dia, Harry, sedang marah atau sedih. Ketika dikejar-kejar oleh geng Dudley, entah bagaimana dia selalu bisa meloloskan diri… waktu cemas karena harus ke sekolah dengan potongan rambut yang konyol, rambutnya tiba-tiba tumbuh sendiri… dan ketika Dudley terakhir kali memukulnya, bukankah dia telah berhasil membalasnya, tanpa sadar? Bukankah dia yang melepas ular boa yang menakutkan Dudley?
Harry kembali memandang Hagrid, tersenyum, dan dilihatnya Hagrid nyengir senang kepadanya.
"Lihat sendiri, kan?" kata Hagrid. "Harry Potter tidak mungkin penyihir—tunggu saja, kau akan terkenal di Hogwarts."
Tetapi Paman Vernon tak akan mau menyerah tanpa perlawanan.
"Kan sudah kubilang dia tidak boleh pergi?" desisnya. "Dia akan ke Stonewall High dan dia akan berterima kasih karenanya. Aku sudah membaca surat-surat itu dan katanya dia memerlukan segala macam sampah—buku mantra dan tongkat dan…"
"Kalau dia mau pergi, Muggle hebat seperti kau tidak akan bisa larang dia," geram Hagrid. "Melarang anak Lily dan James Potter masuk Hogwarts! Kau gila. Namanya sudah terdaftar di sana sejak dia dilahirkan. Dia akan masuk sekolah sihir paling terkenal di dunia. Tujuh tahun di sana, dia tak akan kenal dirinya lagi. Dia akan bergaul dengan anak-anak sejenisnya, kali ini, dan di bawah bimbingan kepala sekolah paling hebat yang dimiliki Hogwarts, Albus Dumbled…"
"AKU TIDAK MAU MEMBAYAR LAKI-LAKI TUA SINTING UNTUK MENGAJARINYA TIPUAN SIHIR!" teriak Paman Vernon.
Tetapi dia sudah kelewatan. Hagrid menyambar payungnya dan memutar-mutarnya di atas kepala. "JANGAN BERANI-BERANI…," gelegarnya, "… HINA… ALBUS… DUMBLEDORE… DI… DEPANKU!"
Diayunkannya payungnya turun untuk menunjuk Dudley. Ada kilatan cahaya ungu, bunyi seperti petasan, jeritan nyaring, dan detik berikutnya Dudley menarik-nari di tempat dengan tangan memegangi pantatnya yang gemuk, menjerit-jerit kesakitan. Ketika dia berbalik membelakangi mereka, Harry melihat ekor babi melingkar nongol dari lubang di celananya.
Paman Vernon menggerung. Seraya menarik Bibi Petunia dan Dudley ke kamar satunya, dia melempar pandangan ketakutan untuk terakhir kali kepada Hagrid, lalu membanting pintu menutup di belakang mereka.
Hagrid menunduk menatap payungnya dan membelai jenggotnya.
"Harusnya tak boleh marah," katanya menyesal, "tapi kan tidak berhasil. Maksudku mau ubah dia jadi babi, tapi kurasa dia sudah mirip sekali babi, tak banyak lagi yang bisa dilakukan."
Dia melirik Harry dari bawah alisnya yang lebat.
"Aku akan berterima kasih kalau kau tidak sebut-sebut kejadian ini pada siapa pun di Hogwarts," katanya. "Aku… ehm… sebetulnya tidak boleh menyihir. Hanya boleh sedikit saja untuk ikuti kau dan antar surat-surat kepadamu dan belanja—salah satu alasan aku ingin sekali dapatkan tugas ini…"
"Kenapa kau tidak boleh menyihir?" tanya Harry.
"Oh, yah… aku dulunya sekolah di Hogwarts juga, tapi… ehm… aku dikeluarkan, jujur saja. Waktu kelas tiga. Mereka patahkan tongkatku jadi dua dan macam-macam lagi. Tetapi Dumbledore izinkan aku tinggal sebagai pengawas binatang liar. Orang hebat, Dumbledore."
"Kenapa kau dikeluarkan?"
"Sudah malam dan banyak yang harus kita lakukan besok," kata Hagrid keras-keras. "Harus ke kota, beli buku-buku dan peralatanmu."
Hagrid melepas mantel hitamnya yang tebal dan melemparkannya kepada Harry.
"Bisa kaujadikan selimut," katanya. "Jangan pedulikan kalau sedikit meronta-ronta. Kurasa masih ada sepasang tikus di salah satu sakunya."
***
| @MutiaRKinasih |

No comments:

Post a Comment