“Kali
ini giliran tempat siapa, Bu?”
“Bude
Halimah. Cepat, siap-siap sana! Sebentar lagi Bulik Nur mau ngampiri!”
Acara
yang menggundahkan hati Risma itu bernama arisan keluarga. Diadakan sebulan
sekali oleh keluarga besar trah Bani H. Hasyim. Tempatnya bergiliran, urut dari
putra tertua. Biasanya Risma tak pernah angot. Hanya kali itu….
“Sampaikan
salah Ibu ke Bude. Bilang Ibu harus menemani Bapak kondangan. Sekalian nanti kalau ketemu Mas Farid, suruh main ke
sini! Lama nggak ketemu, Ibu kangen!” wanti-wanti
Ibu.
Duh,
ini lagi. Mas Farid! Apa naluri Ibu nggak menangkap sinyal bahaya dari
hubunganku dengan dia, ya? Risma membatin.
*******
Mas
Farid adalah sepupu Risma yang terdekat. Keterpautan usia yang hanya tiga tahun
membuat keduanya bagai kakak beradik yang teramat kompak. Kebetulan pula, ibu
mereka berdua adalah dua bersaudara yang paling lengket satu sama lain sejak
kecilnya hingga berkeluarga.
Risma
adalah anak tunggal. Dia tidak mungkin lagi bisa punya adik lantaran rahim Ibu
sudah diangkat pasca operasi tumor. Amatlah besar bagi Ibu resikonya jika harus
mengandung lagi. Karena itulah bagi Risma, Mas Farid adalah segalanya. Kakak
tempat minta nasihat, kakak tempat berlindung, serta kakak tempat mencurahkan
segala perasaannya.
Kedekatan
yang terus terbangun menimbulkan hal lain yang sebelumnya tak terbayangkan oleh
mereka berdua, bahkan tidak oleh Ibu maupun Bude Halimah. Layaknya hubungan
akrab dua makhluk Allah berlainan jenis yang tidak sedarah, maka
perasaan-perasaan yang belum selayaknya ada mulai menjangkiti mereka berdua.
Virus cinta pun mulai digelorakan oleh Satan
and his gank. Namun parahnya, tidak ada yang curiga. Kedekatan mereka
berdua malah dipandang positif oleh Ibu dan Bude. Maklum, keluarga besar Risma
memang belum sepenuhnya memahami syariat. Termasuk juga Risma dan Mas Farid,
pada awalnya.
Sejak
Mas Farid kuliah di sebuah PTS di Semarang dan aktif di mushola fakultas,
sedikit demi sedikit dia mulai memahami batasan syar’i mengenai pergaulan
dengan lawan jenis. Juga konsep jilbab, hijab, mahram, non mahram, dan banyak
lagi. Mas Farid menularkan apa yang diketahuinya kepada Risma.
Risma
pun lantas masuk dalam pergaulan komunitas akhwat di kampus Mas Farid. Meski
masih SMU, dia bisa mengimbangi dan memahami pembicaraan ataupun diskusi ala
para mahasiswi. Risma memang anak yang cerdas.
Kecerdasan
sekaligus kepekaan intuisi yang dimilikinya membuat Risma cepat menangkap
hal-hal baru yang teramat menarik baginya. Satu kesimpulan kebenaran tapi
menyakitkan yang Risma peroleh adalah, hubungannya dengan Mas Farid sudah
melampaui batas.
*******
“Sebenarnya,
yang mula-mula hijrah tuh malah Mas Farid, Mbak Dina. Saya belakangan, awalnya
juga cuma ikut-ikutan,” tutur Risma.
Jilbaber
manis berlesung pipit yang dipanggil Mbak Dina menyunggingkan senyum. “Trus
kenapa?”
“Semestinya
Mas Farid lebih dulu memahami persoalan ini disbanding Risma. Risma udah capek
membagi hati dalam cinta segitiga yang melelahkan ini.”
“Cinta
segitiga?” Alis Mbak Dina terangkat.
“He-eh.
Cinta untuk Allah dan cinta kepada yang belum diperbolehkan Allah.”
Mbak
Dina mengangguk-angguk. “Mas Farid bilang apa kemarin?”
“Dia
bilang, ‘pokoknya kita tahu kita saling mencintai. Kita saling menjaga perasaan
ini sampai tiba saatnya nanti untuk dipersatukan. Kita tak akan pernah
berkhalwat. Mungkin ini salah. Tapi…’ Mas Farid nggak mau nerusin ucapannya
Mbak.”
Mbak
Dina, teman seangkatan Mas Farid, tersenyum lagi. “Dik Risma bisa
menjalaninya?”
“Lho,
kan Risma tadi udah bilang Risma capek dengan segitiga cinta ini!”
“Kenapa
tidak nikah aja kalau memang Mas Farid udah mantap dengan cintanya?”
“Mbak
Dina ini mau ngasih solusi atau mau membunuh Risma, sih? Keluarga besar Hasyim
tuh nggak ada kamusnya nikah dengan kerabat dekat. Pernikahan kami tak akan
direstui siapa pun, Mbak!” Risma menyahut getas.
“Sekarang
jujur aja, Dik Risma sendiri punya cinta untuk Mas Farid apa nggak?”
“Mbak
Dina, biar bagaimanapun Risma harus meminimalisir jenis cinta yang satu ini. Kepada
siapa pun. Risma hanya ingin cinta ini hadir setelah Ijab Qobul
diselenggarakan. Hanya kepada suami Risma, siapa pun dia yang telah ditetapkan
Allah! Tidak sekarang!” Risma meradang.
“Ya,
ya, Mbak mengerti. Untuk sementara, kurangi kontak dengan Mas Farid dulu. Dan
Dik Risma tetap sabar. Oke?” Mbak Dina tak lagi berpanjang kata melihat air
yang sudah menggenang di pelupuk mata Risma. Rona muka Risma memias,
menyiratkan batin yang benar-benar terluka.
*******
“Kring…
kriing… kriiing!!!”
“Angkat
teleponnya, Ris!” teriak Ibu dari dapur.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.
Ini Bude, Ris.”
Deg.
Suara Bude Halimah. “Ada apa, Bude?”
“Ra po po. Bude cuma kangen. Kamu nggak
kangen sama Bude? Sama Masmu? Akhir-akhir ini Masmu kok ketok nglentruk, kelihatan lesu… bla… bla… blaaa….”
Ucapan
Bude berikutnya bagai daun kering tertiup angin kencang. Tidak berbekas sedikit
pun di gendang telinga Risma.
“Ris…
hey… Ris… kamu masih dengerin Bude, to?”
“Oh ya,
ya Bude. Gimana?”
“Kalau
kamu ndak lagi sibuk, ke sini! Ajak dolan-dolan
Masmu. Biar ndak mlungker di kamar
terus! Meh ujian yo biar semangat!”
Hek.
Risma menelan ludah. Bagaimana mau menghindar dari Mas Farid kalau begini
ceritanya. “Nggih, Bude, kapan-kapan mawon, nggih,” jawab Risma gugup.
*******
“Nonsens Mbak, kalau yang ingin
menghindar cuma Risma.”
“Ada
masalah apa lagi non?”
Tanpa
pikir panjang Risma mengeluhkan perlakuan Bude yang amat memanjakan dan selalu
menganggapnya sebagai adik kesayangan Mas Farid.
“Mas
Farid… Mas Farid yang dimaksud apakah akhi Farid yang sering mengisi taklim
itu?” Mbak Wirdah, teman sefakultas tapi beda jurusan dengan Mbak Dina,
menyela.
Mbak
Dina dan Risma mengangguk bersamaan.
“Saya
ada ide… begini… pssst… pssst… ya, minta pertolongan Allah juga… psst… pssst…
semoga sukses. Insya Allah.”
“Amin.”
Mereka menutup diskusi kilat itu dengan perasaan optimis.
*******
“Teramat
berat siksa bagi orang yang menyeru kepada orang lain untuk melakukan kebaikan
sedang dia sendiri tidak melaksanakannya, bahkan mengingkarinya!”
Farid
menghempaskan tubuhnya ke kasur. Biarpun kiriman kaset itu tak bernama, Farid
bisa menduga siapa dalang dari semuanya.
“Tundukkan
pandanganmu ya ukhti, jagalah hatimu ya akhi!” Kata-kata dalam kaset itu adalah
kata-katanya sendiri. Perkataan penuh keyakinan yang terucap di hadapan puluhan
peserta Studi Islam Dasar beberapa hari yang lalu. Entah siapa yang telah
merekamnya. Kata-kata itu sekarang terasa tajam menghunjam, bagai sebilah
pedang runcing yang ditusukkan tepat mengenai ulu hatinya.
Farid
termenung. Kesadaran perlahan merayap, menuntunnya untuk beristighfar…
beristighfar… dan terus beristighfar. Ada yang jatuh perlahan dari sudut
matanya. Tes! Ujung bantalnya semakin dibanjiri air mata. Menangislah, Farid!
Menangislah untuk pertobatanmu! Sebab… menangis sama sekali bukan monopoli kaum
hawa.
*******
“Bude,
saya MC saja!” Risma buka suara. Sore itu pembagian tugas untuk acara syukuran
di rumah Pakde Syam dua minggu yang akan datang berlangsung seru.
“Piye
to, apike kamu itu yo saritilawah, ndampingi Masmu ngaji. Koyo biasane wae!”
Bude Halimah ngotot.
“Mboten,
Bu. Dik Risma jadi MC saja. Nanti saritilawahnya biar Dik Hendri. Kami sudah
latihan bareng kok, Bu,” Mas Farid menerangkan.
Risma
merasa lega. Sekilas diliriknya Mas Farid. Dan… ops, mereka lihat-lihatan.
“Astaghfirullah,” muka Risma memerah. Ghadhul bashor, ukhti! Ada suara halus
dari bilik nurani mengingatkan.
“Kalian
tidak sedang musuhan, tho? Kok sekarang opo-opo tidak mau sama-sama?” Bude
Halimah menatap Risma dan putranya.
“Nggih
mboten, Bu. Kebetulan saja kami sama-sama sibuk. Saya konsentrasi skripsi. Dik
Risma persiapan ujian semester.” Mas Farid buru-buru menjawab.
“Iya,
Bude,” tambah Risma sambil terus menunduk. Suara batin Risma berebutan menambahkan,
‘kami tidak pernah bermusuhan, Bude. Ikatan persaudaraan kami masih tetap
terjaga. Silaturrahim tak kan pernah terputus. Hanya kami kini mencoba untuk
lebih menjaga diri, lebih taat kepada Illahi demi kebaikan kami dan juga
kebaikan semuanya.’
Kalimat-kalimat
terus terucap walau baru di hati. Hanya terdengar nurani. Masih perlu banyak
waktu dan kesabaran untuk berbicara terang-terangan mengenai masalah seperti
itu di hadapan keluarga besarnya, keluarga besar trah Bani H. Hasyim.
Bagaimanapu, tekad telah terpatri. Dan begitu banyak lading dakwah telah siap
ditanami.
Insya
Allah Risma… Insya Allah!!
Magelang,
Juli 2000
Keterangan:
Makili : mewakili
Ngampiri : menjemput
Kondangan : pergi memenuhi
undangan
Wanti-wanti : berpesan
Ra po po : tidak
apa-apa
Mlungker : mengurung
diri
Meh : hampir
Nggih : iya
Piye to : bagaimana
sih
Apike : sebaiknya
Koyo biasane wae : seperti
biasanya saja
Mboten : tidak.
No comments:
Post a Comment