Wednesday, June 12, 2013

SEGITIGA CINTA - Jazimah Al Muhyi

“Ris, kamu saja ya, yang makili pergi arisan!”
“Kali ini giliran tempat siapa, Bu?”
“Bude Halimah. Cepat, siap-siap sana! Sebentar lagi Bulik Nur mau ngampiri!”
Risma mengeluh dalam hati. Kok di rumah Bude Halimah, sih!
Acara yang menggundahkan hati Risma itu bernama arisan keluarga. Diadakan sebulan sekali oleh keluarga besar trah Bani H. Hasyim. Tempatnya bergiliran, urut dari putra tertua. Biasanya Risma tak pernah angot. Hanya kali itu….
“Sampaikan salah Ibu ke Bude. Bilang Ibu harus menemani Bapak kondangan. Sekalian nanti kalau ketemu Mas Farid, suruh main ke sini! Lama nggak ketemu, Ibu kangen!” wanti-wanti Ibu.
Duh, ini lagi. Mas Farid! Apa naluri Ibu nggak menangkap sinyal bahaya dari hubunganku dengan dia, ya? Risma membatin.
*******

Mas Farid adalah sepupu Risma yang terdekat. Keterpautan usia yang hanya tiga tahun membuat keduanya bagai kakak beradik yang teramat kompak. Kebetulan pula, ibu mereka berdua adalah dua bersaudara yang paling lengket satu sama lain sejak kecilnya hingga berkeluarga.
Risma adalah anak tunggal. Dia tidak mungkin lagi bisa punya adik lantaran rahim Ibu sudah diangkat pasca operasi tumor. Amatlah besar bagi Ibu resikonya jika harus mengandung lagi. Karena itulah bagi Risma, Mas Farid adalah segalanya. Kakak tempat minta nasihat, kakak tempat berlindung, serta kakak tempat mencurahkan segala perasaannya.
Kedekatan yang terus terbangun menimbulkan hal lain yang sebelumnya tak terbayangkan oleh mereka berdua, bahkan tidak oleh Ibu maupun Bude Halimah. Layaknya hubungan akrab dua makhluk Allah berlainan jenis yang tidak sedarah, maka perasaan-perasaan yang belum selayaknya ada mulai menjangkiti mereka berdua. Virus cinta pun mulai digelorakan oleh Satan and his gank. Namun parahnya, tidak ada yang curiga. Kedekatan mereka berdua malah dipandang positif oleh Ibu dan Bude. Maklum, keluarga besar Risma memang belum sepenuhnya memahami syariat. Termasuk juga Risma dan Mas Farid, pada awalnya.
Sejak Mas Farid kuliah di sebuah PTS di Semarang dan aktif di mushola fakultas, sedikit demi sedikit dia mulai memahami batasan syar’i mengenai pergaulan dengan lawan jenis. Juga konsep jilbab, hijab, mahram, non mahram, dan banyak lagi. Mas Farid menularkan apa yang diketahuinya kepada Risma.
Risma pun lantas masuk dalam pergaulan komunitas akhwat di kampus Mas Farid. Meski masih SMU, dia bisa mengimbangi dan memahami pembicaraan ataupun diskusi ala para mahasiswi. Risma memang anak yang cerdas.
Kecerdasan sekaligus kepekaan intuisi yang dimilikinya membuat Risma cepat menangkap hal-hal baru yang teramat menarik baginya. Satu kesimpulan kebenaran tapi menyakitkan yang Risma peroleh adalah, hubungannya dengan Mas Farid sudah melampaui batas.
*******

“Sebenarnya, yang mula-mula hijrah tuh malah Mas Farid, Mbak Dina. Saya belakangan, awalnya juga cuma ikut-ikutan,” tutur Risma.
Jilbaber manis berlesung pipit yang dipanggil Mbak Dina menyunggingkan senyum. “Trus kenapa?”
“Semestinya Mas Farid lebih dulu memahami persoalan ini disbanding Risma. Risma udah capek membagi hati dalam cinta segitiga yang melelahkan ini.”
“Cinta segitiga?” Alis Mbak Dina terangkat.
“He-eh. Cinta untuk Allah dan cinta kepada yang belum diperbolehkan Allah.”
Mbak Dina mengangguk-angguk. “Mas Farid bilang apa kemarin?”
“Dia bilang, ‘pokoknya kita tahu kita saling mencintai. Kita saling menjaga perasaan ini sampai tiba saatnya nanti untuk dipersatukan. Kita tak akan pernah berkhalwat. Mungkin ini salah. Tapi…’ Mas Farid nggak mau nerusin ucapannya Mbak.”
Mbak Dina, teman seangkatan Mas Farid, tersenyum lagi. “Dik Risma bisa menjalaninya?”
“Lho, kan Risma tadi udah bilang Risma capek dengan segitiga cinta ini!”
“Kenapa tidak nikah aja kalau memang Mas Farid udah mantap dengan cintanya?”
“Mbak Dina ini mau ngasih solusi atau mau membunuh Risma, sih? Keluarga besar Hasyim tuh nggak ada kamusnya nikah dengan kerabat dekat. Pernikahan kami tak akan direstui siapa pun, Mbak!” Risma menyahut getas.
“Sekarang jujur aja, Dik Risma sendiri punya cinta untuk Mas Farid apa nggak?”
“Mbak Dina, biar bagaimanapun Risma harus meminimalisir jenis cinta yang satu ini. Kepada siapa pun. Risma hanya ingin cinta ini hadir setelah Ijab Qobul diselenggarakan. Hanya kepada suami Risma, siapa pun dia yang telah ditetapkan Allah! Tidak sekarang!” Risma meradang.
“Ya, ya, Mbak mengerti. Untuk sementara, kurangi kontak dengan Mas Farid dulu. Dan Dik Risma tetap sabar. Oke?” Mbak Dina tak lagi berpanjang kata melihat air yang sudah menggenang di pelupuk mata Risma. Rona muka Risma memias, menyiratkan batin yang benar-benar terluka.
*******

“Kring… kriing… kriiing!!!”
“Angkat teleponnya, Ris!” teriak Ibu dari dapur.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Ini Bude, Ris.”
Deg. Suara Bude Halimah. “Ada apa, Bude?”
Ra po po. Bude cuma kangen. Kamu nggak kangen sama Bude? Sama Masmu? Akhir-akhir ini Masmu kok ketok nglentruk, kelihatan lesu… bla… bla… blaaa….”
Ucapan Bude berikutnya bagai daun kering tertiup angin kencang. Tidak berbekas sedikit pun di gendang telinga Risma.
“Ris… hey… Ris… kamu masih dengerin Bude, to?”
“Oh ya, ya Bude. Gimana?”
“Kalau kamu ndak lagi sibuk, ke sini! Ajak dolan-dolan Masmu. Biar ndak mlungker di kamar terus! Meh ujian yo biar semangat!”
Hek. Risma menelan ludah. Bagaimana mau menghindar dari Mas Farid kalau begini ceritanya. “Nggih, Bude, kapan-kapan mawon, nggih,” jawab Risma gugup.
*******

Nonsens Mbak, kalau yang ingin menghindar cuma Risma.”
“Ada masalah apa lagi non?”
Tanpa pikir panjang Risma mengeluhkan perlakuan Bude yang amat memanjakan dan selalu menganggapnya sebagai adik kesayangan Mas Farid.
“Mas Farid… Mas Farid yang dimaksud apakah akhi Farid yang sering mengisi taklim itu?” Mbak Wirdah, teman sefakultas tapi beda jurusan dengan Mbak Dina, menyela.
Mbak Dina dan Risma mengangguk bersamaan.
“Saya ada ide… begini… pssst… pssst… ya, minta pertolongan Allah juga… psst… pssst… semoga sukses. Insya Allah.”
“Amin.” Mereka menutup diskusi kilat itu dengan perasaan optimis.
*******

“Teramat berat siksa bagi orang yang menyeru kepada orang lain untuk melakukan kebaikan sedang dia sendiri tidak melaksanakannya, bahkan mengingkarinya!”
Farid menghempaskan tubuhnya ke kasur. Biarpun kiriman kaset itu tak bernama, Farid bisa menduga siapa dalang dari semuanya.
“Tundukkan pandanganmu ya ukhti, jagalah hatimu ya akhi!” Kata-kata dalam kaset itu adalah kata-katanya sendiri. Perkataan penuh keyakinan yang terucap di hadapan puluhan peserta Studi Islam Dasar beberapa hari yang lalu. Entah siapa yang telah merekamnya. Kata-kata itu sekarang terasa tajam menghunjam, bagai sebilah pedang runcing yang ditusukkan tepat mengenai ulu hatinya.
Farid termenung. Kesadaran perlahan merayap, menuntunnya untuk beristighfar… beristighfar… dan terus beristighfar. Ada yang jatuh perlahan dari sudut matanya. Tes! Ujung bantalnya semakin dibanjiri air mata. Menangislah, Farid! Menangislah untuk pertobatanmu! Sebab… menangis sama sekali bukan monopoli kaum hawa.
*******

“Bude, saya MC saja!” Risma buka suara. Sore itu pembagian tugas untuk acara syukuran di rumah Pakde Syam dua minggu yang akan datang berlangsung seru.
“Piye to, apike kamu itu yo saritilawah, ndampingi Masmu ngaji. Koyo biasane wae!” Bude Halimah ngotot.
“Mboten, Bu. Dik Risma jadi MC saja. Nanti saritilawahnya biar Dik Hendri. Kami sudah latihan bareng kok, Bu,” Mas Farid menerangkan.
Risma merasa lega. Sekilas diliriknya Mas Farid. Dan… ops, mereka lihat-lihatan. “Astaghfirullah,” muka Risma memerah. Ghadhul bashor, ukhti! Ada suara halus dari bilik nurani mengingatkan.
“Kalian tidak sedang musuhan, tho? Kok sekarang opo-opo tidak mau sama-sama?” Bude Halimah menatap Risma dan putranya.
“Nggih mboten, Bu. Kebetulan saja kami sama-sama sibuk. Saya konsentrasi skripsi. Dik Risma persiapan ujian semester.” Mas Farid buru-buru menjawab.
“Iya, Bude,” tambah Risma sambil terus menunduk. Suara batin Risma berebutan menambahkan, ‘kami tidak pernah bermusuhan, Bude. Ikatan persaudaraan kami masih tetap terjaga. Silaturrahim tak kan pernah terputus. Hanya kami kini mencoba untuk lebih menjaga diri, lebih taat kepada Illahi demi kebaikan kami dan juga kebaikan semuanya.’
Kalimat-kalimat terus terucap walau baru di hati. Hanya terdengar nurani. Masih perlu banyak waktu dan kesabaran untuk berbicara terang-terangan mengenai masalah seperti itu di hadapan keluarga besarnya, keluarga besar trah Bani H. Hasyim. Bagaimanapu, tekad telah terpatri. Dan begitu banyak lading dakwah telah siap ditanami.
Insya Allah Risma… Insya Allah!!
Magelang, Juli 2000

Keterangan:
Makili                   :     mewakili
Ngampiri              :     menjemput
Kondangan            :     pergi memenuhi undangan
Wanti-wanti         :     berpesan
Ra po po                :     tidak apa-apa
Mlungker               :     mengurung diri
Meh                       :     hampir
Nggih                    :     iya
Piye to                   :     bagaimana sih
Apike                     :     sebaiknya
Koyo biasane wae  :     seperti biasanya saja
Mboten                  :     tidak.

No comments:

Post a Comment