date: Sat,
Dec 17, 2011 at 5:05 PM
subject:
<no subject>
Assalamualaikum Aisha.
I’ve just finished my training with Lidya. Actually, she is a great dancer. But
I’m still expecting you to be my partner. Well, I forgot one thing. I don’t
have your phone number, because I lost my old phone. So, I only have this
e-mail. Anytime you want to call, just call me at 0899977887. I beg you. I
really beg. In love, your old Adi oJ
Aku bimbang ingin menulis apa. Jadi kuputuskan
untuk menghubungi Ayah terlebih dahulu sebelum membalas surel Adi ataupun
meneleponnya. Kuraih handphone ku,
dan segera kuhubungi Ayah.
“Tut… tuut… tuuut….”
“Assalamualaikum sayang?”
“Waalaikumussalam Ayah, Ayah sibuk?”
“Tidak, Ayah kan sedang libur.”
“Astaghfirullah….” Kutepuk jidatku dengan
keras. Aku lupa kalau hari ini adalah hari minggu, dan Ayah sedang di bawah, di
ruang keluarga, “oh iya Ayah, yasudah Aisha ke bawah yaaa.”
“Iya. Hahaha.” Tawa Ayah membuatku malu.
Setelah mengucap salam dan memutus teleponnya, aku turun ke ruang keluarga.
E-mail dari Adi membuatku agak… aneh.
“Kamu kenapa sih, lagi panik?” tebak Ayah. Aku
mengangguk seketika. Ku ceritakan padanya tentang e-mail dari Adi. Seluruhnya.
Ayah, seperti biasa, tersenyum arif.
“Yasudah. Kamu mau atau tidak jadi partner
dia? Kamu harus ingat bahwa kamu sudah berhijab, sayang. Ayah serahkan semua
keputuskan pada kamu. Kamu sudah dewasa, Ayah tidak ingin banyak mengekang
kamu. Tentukanlah yang terbaik untuk kamu.”
Aku merenungkan perkataan Ayah dalam diam.
•∞•∞•
Aku tahu aku
tidak punya banyak waktu. Sebenarnya aku sangat menyukai dancing. Begitu mencintainya. Begitu pula Adi, dan ia pun tahu
tentang passion ku yang satu itu.
Tapi hijab? Ah, aku bimbang. Aku tahu Ayah bermaksud mengatakan tidak, tapi….
Aku merasa tidak rela. Maka saat itu juga aku naik kembali ke kamar dan
langsung menelepon Adi.
“Tut… tuut….”
“Hallo?”
terdengar suara dalam yang familiar
di seberang sana. Senyumku terkembang seketika itu juga.
“Hallo Adi?
Assalamualaikum!” ujarku setengah berteriak. Untuk beberapa detik aku tak
mendengar response apa-apa di
seberang. Tapi kemudian kudengar sebuah suara yang bergetar.
“Aisha?
Alhamdulillah. Waaaikumsalam! Finally
Aisha! I really wish you will do this!”
pekiknya. Aku tersenyum. Tapi kemudian senyumanku tak jadi berkembang mengingat
perkataan Ayah. Maka tanpa jeda, kuceritakan pada Adi tentang pendapat Ayah.
“Jadi begitu?
Aisha, sebenarnya apa yang Ayahmu katakan memang baik dan benar. Kamu memang
sudah seharusnya cuti dari dunia dancing. Mungking memang lebih baik begitu.”
Katanya terdengar pasrah. Aku menggeleng sekuat tenaga.
“Tapi, Adi….
Aku… tidak rela… belum rela. I wanna
dance more than what I’ve―we’ve
done before. Can this be my last dance?” tanyaku penuh harap. Entah mengapa
Adi malah terdengar bimbang begitu kuceritakan tentang pendapat Ayah.
“Maybe… you have to come here first, then we
can arrange our dancing movements. Make it a bit syar’i. Hahaha.” Aku ikut
tersenyum mendengarnya. Dalam hatiku ragu. Apa bisa?
“Aisha? Gimana?
Jangan ragu, pasti masih bisa kok!”
“Baiklah… I’m gonna have a preparation. I will call
you back then. Bye?”
“Okey, see you!”
•∞•∞•
Dengan
bimbang aku turun ke ruang keluarga. Kulihat Yusuf dan Via sedang bermain
bersama. Ayah menemani sambil membaca koran lokal. Kulihat ia melirikku yang
masih berdiri di ambang anak tangga dan kemudian tersenyum.
“Ke sini
sayang?”
Aku
melangkah mendekatinya. Aku tahu kalau yang akan aku lakukan ini sangat salah…
tapi?
“Bagaimana?”
“Ayah…
Aisha berpikir… bisakah ini menjadi yang terakhir? Dan kemudian Aisha akan
menjauhinya. Selamanya, Ayah!” ujarku
meyakinkan. “Ayah tahu kan Aisha begitu mencintai seni tari? Sama seperti…
seperti… Ibu.”
“Ayah
tidak berharap kamu menjadi seperti Ibumu, nak.” Ujar Ayah sendu. Aku menunduk.
Aku pun tak ingin mengikuti jejak beliau, yah! Ibu yang sama sekali tidak
bertanggungjawab!
“Aku
berjanji tidak akan menjadi wanita sepertinya, Ayah! Aisha janji!”
“Aisha
sayang, ini sebenarnya bukan pula tentang Ibumu. Ini semata-mata untuk kebaikan
kamu, nak. Tapi Ayah tidak ingin mengekang kamu. Pergilah kamu, jika memang
Jogjakarta bisa melepas kebahagiaanmu. Jangan terlalu lama di sana, ingat
sekolah kamu.” Ujar Ayah arif. Seketika senyumanku terkembang. Aku menghambur
ke pelukannya.
“Terimakasih,
Ayah!”
“Iya,
yasudah sana kamu siap-siap. Ayah akan carikan tiket pemberangkatan paling
cepat, mumpung besok bukan hari libur! Jangan sampai ada yang ketinggalan, ya!
Kalau beruntung besok kamu sudah terbangun di Jogjakarta.” Ujar Ayah seraya
mengecup keningku. Aku hanya mengangguk-anggung takzim.
Jogja, I’m comin’!
•∞•∞•
No comments:
Post a Comment