“Asyik, keramas lagi! Ayo kutu, nanti kita
berenang lagi, ya!” cetus balita empat setengah tahun itu ceria. Lita jelas
gondok berat. “Bukannya jijik,” desisnya.
“Nanti bilang ke mamah ya, Ra, minta obat
kutu. Belinya di apotik aja, yang higienis,” ujar Lita.
“Apa Tante… hi… hi… apa?” Zahra menatap
bengong Tantenya. Dasar Lita iseng, anak kecil diajak bicara dengan bahasa
ilmiah.
“Alah, pokoknya minta obat kutu aja. Kalau
nggak segera diobatin, nanti kepala kamu lama-lama bisa korengan terus botak
lho,” Lita menakut-nakuti.
“Nggak mau, Ara nggak mau botak. Tante Lita
yang botak,” tanpa diduga, balita kecil itu malah ngamuk sambil
menciprat-cipratkan air mengenai muka dan jilbab Lita.
“Aduh Zahra, nakal kamu. Pokoknya nanti
malam nggak boleh tidur ama Tante. Tante ogah ketularan kutu!” ancam Lita.
“Nanti malam Ara tidur sama mamah, week!”
sahut keponakan Lita itu sambil menjulurkan lidahnya.
Lita kesal bukan main.
*******
“Mbak, si Zahra kok kutuan begitu. Jorok
sekali. Apa jarang dikeramasin?”
“Apa iya sih, Ta?” Yeni, kakak Lita yang
wanita karir, menyahut tanpa menoleh.
“Memangnya buat apa Lita bohong!” Lita
merasa kesal pada kakaknya yang tidak sedikit pun mengurangi konsentrasinya di
depan layar computer.
“Ya udah, nanti kamu yang beliin obatnya di
apotik. Minggu-minggu ini Mbak sibuk sekali. Urusan di kantor numpuk, nih.”
Yeee, sibuk! Lita menggerutu dalam hati.
*******
“Mbak, berapa kali dalam seminggu Zahra
dikeramasin?” selidik Lita pada Mbak Asih, pengasuh Zahra.
“Tiap dua hari sekali. Sesuai anjuran Bu
Yeni, Mbak Lita.”
Lita kaget. “Lha, kok kutunya banyak
banget?” desisnya.
“Saya nggak tahu, Mbak. Tapi bener lho
Mbak, saya rutin ngeramasin Dik Zahranya. Atau…” Mbak Asih tampak berpikir.
“Mbak Ta, jangan-jangan Dik Zahra ketularan
anak-anak tetangga. Mereka kan jorok-jorok,” sambungnya sembari bergidik.
“Weleh… weleh… kok malah su’uzhon. Tidak boleh itu!”
“Su’u… su’u… nopo to niku, Mbak?”
“Su’uzhon.
Artinya buruk sangka. Kita jangan menuduh orang lain atas dasar praduga yang
tidak baik. Begitu maksudnya.”
Mbak Asih mengangguk-angguk tampak
mengerti.
Hampir setahun Lita tinggal dengan keluarga
Mbak Yeni. Sejak dia memutuskan untuk kuliah di kota gudeg Yogyakarta
Hadiningrat. Si bungsu Lita memang sengaja memilih kuliah jauh dari rumah.
Ingin belajar mandiri, begitu alasannya pada ibu. Soalnya, Surabaya-Yogya
memang bukan jarak yang bisa ditempuh dalam waktu singkat untuk sekedar curhat.
Lita adalah pecinta kebersihan. Di rumah,
tak satu pun sudut ruangan dibiarkan kotor berdebu lebih dari dua hari. Juga
tentang kebersihan badan. Lita sangat perhatian merawatnya. Dan mengenai kutu,
dia mempunyai trauma yang cukup membuatnya selalu merinding bila ingat. Waktu
itu dia melihat makhluk kecil berwarna coklat kehitaman yang menempel di jilbab
temannya. Yang lebih membuatnya ngeri, si Pediculus
berukuran kurang lebih tiga millimeter itu ada dua ekor! Dengan perasaan campur
aduk Lita menegur teman yang jilbabnya sedang dijadikan arena bermain makhluk
penghisap darah itu. Sebagai aktivis Rohis, Lita merasa rishi dengan kenyataan
tersebut. Karena itulah, dia seperti orang yang kebakaran jilbab plus kaos kaki
tatkala tahu kala Zahra, keponakannya sendiri. Ternyata berkutu.
“Huaaaaa… Mbak Sih nakaaal!” jerit Zahra
membuyarkan konsentrasi Lita yang sedang mengetik laporan praktikum.
“Ada apa, ada apa?” Lita tergopoh-gopoh
berlari menghampiri Zahra yang sedang meronta-ronta sambil menendangi Mbak Sih.
“Cup sayang… cup… nanti Tante belikan es
krim…. Cup!” kartu as rayuan Lita keluar. Seketika tangis Zahra reda. “Ayo
beli, Tante. Mbak Sih nggak usah dikasih. Mbak Sih nakal!” rengek Zahra di
antara sisa tangisnya.
Dengan isyarat Lita bertanya pada Mbak Sih.
Aduan Zahra yang menjawabnya. “Tante, Mbak Sih nakal, mau ambi teman-teman
Ara.”
“Teman?” Lita tak bisa menyembunyikan rasa
bingungnya.
“Ini… teman-teman Ara yang di sini,” sahut
Zahra sambil menunjuk kepalanya.
Hua! Rasa jijik tiba-tiba menyerang Lita
dari segenap penjuru mata angina.
Lita lantas paham kalau masalah kutu Zahra
tidak sekedar persoalan kesehatan saja. Pendekatannya harus kasih sayang karena
Ara kecil terlanjur menganggap si binatang penggatal rambut itu sebagai
sahabatnya.
Lita berniat menuntaskan masalah itu tanpa
melibatkan Mbak Yeni lagi. Dia tidak mau untuk kesekian kali mendengar jawaban
sibuk, banyak urusan, dan sejenisnya. Jawaban-jawaban yang selalu membuatnya
kesal bukan alang kepalang. “Kesibukanku ini demi masa depan Zahra juga. Biaya
pendidikan sekarang kan tinggi, apalagi kelak.” Begitu selalu dalih Mbak Yeni
kalau Lita menggugatnya dengan pertanyaan, “Mbak Yeni niat nggak sih punya
anak, kok ditinggal kerja melulu?”
*******
“Ini akan membuat kutu-kutu di rambutmu
tidur nyenyak,” cerita Lita sambil mengoleskan gama benzene heksaklorida tipis-tipis pada rambut dan kulit kepala
Zahra.
“Iya, Tante?” si kecil menyahut antusias.
“Iya. Kan tadi udah dikeramasin, terus
dikasih obat ini biar tidurnya enaaak… gitu,” yakin Lita. Tidur selamanya,
batin Lita tertawa geli dengan taktik olah katanya.
“Habis ini Tante bacain cerita. Tapi
handuknya tidak boleh dilepas. Soalnya tidur kutu bisa terganggu. Oke, ya!”
pinta Lita sambil melilitkan handuk membungkus kepala mungil Zahra yang
bergoyang ke kanan ke kiri. Sementara itu pikiran Lita bekerja keras menyusun
agenda kegiatan tiga jam ke depan untuk membuat Zahra menuruti perintahnya.
Maksud Lita, agar obat bekerja secara optimal-seperti anjuran di majalah
kesehatan anak yang baru saja dia baca.
Hari berikutnya Lita denga semangat
mengumpulkan segala aksesori rambut si kecil seperti jepit rambut dan pita.
Dicucinya dengan desinfektan lalu dikeringkan. Bahkan sisir donald Zahra direndamnya
dalam cairan lisol 2%. Pendek kata, Lita benar-benar geregetan dengan si
makhluk mungil yang menurutnya sangat menjijikkan itu. Perang total terhadap
kutu dia galakkan terus-menerus. Sampai Mbak Yeni dan Mbak Sih
terbengong-bengong menyaksikan kehebohan usahanya.
“Mbak, kalau bisa Zahra jangan boleh main
sama si Ani, anak ujung gang itu. Lita lihat rambutnya kusam. Mungkin dia yang
nularin kutu ke Zahra,” cetus Lita ketika membantu Mbak Sih menyiapkan makan
siang.
“Lho, katanya tidak boleh su’u… su’u… itu
lho Mbak… buruk sangka!”
“Astaghfirullah!” Lita menepuk jidatnya.
“Ehm… su’uzhon emang nggak boleh Mbak
Sih, tapi ini kan waspada. Jaga-jaga, gitu.”
“Ooo, kalau waspada boleh, kalau buruk
sangka tidak boleh. Lha bedanya apa to, Mbak?”
“Bedanya… embuh lah!” Lita bingung sendiri. Dalam benak Lita hanya ada satu
keinginan, keponakannya harus bersih. Dengan cara apa pun. Lita anti jorok,
kotor dan kumuh! Demikian tekadnya.
*******
Suatu siang sepulang kuliah.
Setelah mengucapkan salam Lita bergegas
menuju kamarnya. Dengan gerakan tergesa ditutup dan dikuncinya pintu. Dibukanya
jilbab yang melingkupi kepala, termasuk kerudung kecil yang dipakai sebagai daleman. Kepalanya terasa sangat gatal.
“Hah?!” Lita memekik tertahan. Ada seekor pediculus mungil meringkuk di pojok
kerudungnya. Bagaimana bisa begini? Lita panik.
Sorenya secara diam-diam Lita mengambil
sisa obat kutu Zahra dan memakainya diam-diam di kamar mandi. Begitu hati-hati
Lita melakukannya karena dia merasa gengsinya bisa turun drastis kalau penghuni
jagad raya mengetahui keadaan itu. Bukankah Lita jurkam anti kutu yang handal?
Sehari dua hari pemakaian obat, Lita
semakin resah. Kutu-kutu masih kerasan berdomisili di rambut indahnya. Kenapa
begini? Apa salahku? Bagian kanan, kiri, atas dan bawah batin Lita mengamuk
sejadi-jadinya.
Di siang terik Lita menangis. Gatal di
kepalanya tak tertahankan lagi. Padahal dia sedang mengebut tugas dari Pak
Sembiring, dosen killer-nya.
Konsentrasinya sulit bertahan lama karena sebentar-sebentar dia harus garuk
sana garuk sini. Rasa jengkel, malu, kesal makin membuat mata Lita bengkak
karena hujan air mata.
“Lita, buka pintunya!”
Lita terkesiap. Suara Mbak Yeni!
Perlahan Lita menyahut, “dorong aja pintunya,
nggak dikunci!”
Mbak Yeni menatap wajah kusut Lita dengan
senyum. “Nih, Mbak bawain majalah kesukaanmu. Baca deh, biar suntukmu ilang.
Maaf, Mbak musti segera balik ke kantor. Ada sedikit urusan yang belum tuntas,”
ucap Mbak Yeni cepat.
Lita mendengus sebal. Dasar wanita karir!
Rutuk hatinya.
Diraihnya majalah wanita pemberian Mbak
Yeni yang diletakkan di pinggir meja. Tiba-tiba dua lembar kertas melayang
jatuh. Lita memungutnya. Fotokopian artikel dan
… surat dari Mbak Yeni! Lita memilih membaca surat yang tampak ditulis
terburu-buru itu terlebih dahulu.
“Ta, maaf ya. Kamu selama ini mungkin
menganggao Mbak nggak peduli dengan urusan keluarga termasuk kamu. Mbak terlalu
sibuk di kantor. Ya, kamu benar. Mbak Insya Allah tahun depan berhenti, seperti
anjuran Mas Arman. Mbak mau total berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Apalagi
Zahra Insya Allah sebentar lagi mau punya adik.”
Lita menggumamkan hamdalah.
“Ta, Mbak sebenarnya perhatian lho sama
Arad an juga kamu. Mbak Yeni tahu kok kalau beberapa hari ini kamu gelisah.
Kamu kutuan, ya? Afwan, tembak
langsung.”
Mata Lita terbelalak. Mbak Yeni tahu dari
mana?
“Mbak pernah lihat waktu kamu ngambil obat
kutunya si Ara. Tapi Mbak pura-pura nggak tahu biar kamu ndak malu. Kamu kan
terkenal anti-kutu. Trus, ini ada artikel, semoga bermanfaat buat kamu.”
Bergegas Lita meraih lembar kertas yang
satunya. Dicermatinya artikel itu terutama kalimat-kalimat yang digarisbawahi.
Ada satu kalimat yang membuat Lita nyaris tertawa ngakak. “Jadi dua belas
sampai dua puluh empat jam? Masya Allah… pantesan!” gumamnya geli. Di artikel
itu tertulis mengenai lamanya pembungkusan rambut setelah diobati.
“Astaghfirullah, begini nih hasilnya orang kalau apa-apa suka panik duluan.
Tiga jam kan kalau pemakainya masih anak-anak!” Lita terus bicara sendiri.
Suatu malam seusai dinner.
“Mbak, jazakillah
buat artikelnya.”
Mbak Yeni tersenyum. “Barangkali kejadian
yang kamu alami itu merupakan satu hikmah yang bisa diambil dari ayat Allah Rabbana ma khalaqta hadza baathila.
Allah tidak menciptakan segala sesuatu itu sia-sia belaka,” ujar Mbak Yeni yang
semasa kuliah aktif di masjid kampus, dengan semangat.
Lita tampak bingung.
“Ya, binatang kecil yang menurutmu
menjijikkan itu telah mengingatkanmu untuk tidak berlaku sombong.”
“Sombong?” Lita menatap mbaknya penuh
ketidakmengertian.
“Kata Mbak Sih kamu melarang Ara main sama
Ani, bahkan juga Riska dan Deni. Gara-garanya kamu mencurigai mereka yang telah
menularkan kutu pada Ara.”
“Maksud Lita sih, biar Zahra tidak ngalamin
pediculosis lagi,” sanggah Lita
membela diri.
“Daripada begitu kan lebih baik kamu ajak
anak-anak itu ke sini, terus kutunya diberantas bareng-bareng. Coba kalau ibu
mereka mendengar perkataanmu, bisa-bisa timbul fitnah. Nyatanya kamu yang rajin
merawat rambut pun bisa kutuan, kan?”
Lita mengangguk malu. Ada lega yang merayap
mendengar keterangan Mbak Yeni. Dan juga karena membaca artikel tentang kutu
yang menyebutkan bahwa kutu bisa mengenai siapa saja termasuk orang yang
rambutnya bersih.
“Ehm, lusa Lita mau pulang. Mbak Yeni mau
titip pesen apa sama Ibu?” cetus Lita sambil membereskan piring-piring kotor.
“Mau ngadu, ya. Masak masalah kutu aja
mesti sampai ke Ibu. Katanya mau belajar mandiri?” ledek Mbak Yeni pura-pura
menuduh.
“Lho, Mbak Lita nopo nggih tumonan (kutuan), to?”
Mbak Sih yang baru muncul dari dapur, nimbrung.
“Wiiih, tidak lah yaw. Si Zahra tuh yang
kutuan!” elak Lita sambil mengedipkan sebelah matanya ke Mbak Yeni.
“Enggak… enggak… Ara nggak punya kutu. Mbak
Sih sama Tante Lita yang kutuan!” Zahra yang sudah mendapat pencerahan dari
Lita mengenai kutu tidak terima dikatakan berkutu. Serta merta dilemparkannya
boneka dalam gendongannya ke arah Lita sambil melotot galak.
Serentak Mbak Sih, Lita dan Mbak Yeni
tertawa bersama.
Kutu… kutu rambut. Nama latinnya sih keren,
pediculus humanus capitis. Tapi,
siapa yang mau?
*******
=============================================================================
Enjoy !!!
No comments:
Post a Comment