Friday, May 31, 2013

Si Mungil Pediculus - Jazimah Al Muhyi

“Ya Allah, rambutmu kotor sekali. Dan… aduh, ada kutunya begini. Ayo Zahra, Tante keramasin!” ujar Lita pada keponakannya setengah berteriak.
“Asyik, keramas lagi! Ayo kutu, nanti kita berenang lagi, ya!” cetus balita empat setengah tahun itu ceria. Lita jelas gondok berat. “Bukannya jijik,” desisnya.
“Nanti bilang ke mamah ya, Ra, minta obat kutu. Belinya di apotik aja, yang higienis,” ujar Lita.
“Apa Tante… hi… hi… apa?” Zahra menatap bengong Tantenya. Dasar Lita iseng, anak kecil diajak bicara dengan bahasa ilmiah.
“Alah, pokoknya minta obat kutu aja. Kalau nggak segera diobatin, nanti kepala kamu lama-lama bisa korengan terus botak lho,” Lita menakut-nakuti.
“Nggak mau, Ara nggak mau botak. Tante Lita yang botak,” tanpa diduga, balita kecil itu malah ngamuk sambil menciprat-cipratkan air mengenai muka dan jilbab Lita.
“Aduh Zahra, nakal kamu. Pokoknya nanti malam nggak boleh tidur ama Tante. Tante ogah ketularan kutu!” ancam Lita.
“Nanti malam Ara tidur sama mamah, week!” sahut keponakan Lita itu sambil menjulurkan lidahnya.
Lita kesal bukan main.
 *******


“Mbak, si Zahra kok kutuan begitu. Jorok sekali. Apa jarang dikeramasin?”
“Apa iya sih, Ta?” Yeni, kakak Lita yang wanita karir, menyahut tanpa menoleh.
“Memangnya buat apa Lita bohong!” Lita merasa kesal pada kakaknya yang tidak sedikit pun mengurangi konsentrasinya di depan layar computer.
“Ya udah, nanti kamu yang beliin obatnya di apotik. Minggu-minggu ini Mbak sibuk sekali. Urusan di kantor numpuk, nih.”
Yeee, sibuk! Lita menggerutu dalam hati.
*******

“Mbak, berapa kali dalam seminggu Zahra dikeramasin?” selidik Lita pada Mbak Asih, pengasuh Zahra.
“Tiap dua hari sekali. Sesuai anjuran Bu Yeni, Mbak Lita.”
Lita kaget. “Lha, kok kutunya banyak banget?” desisnya.
“Saya nggak tahu, Mbak. Tapi bener lho Mbak, saya rutin ngeramasin Dik Zahranya. Atau…” Mbak Asih tampak berpikir. “Mbak Ta, jangan-jangan Dik Zahra ketularan anak-anak tetangga. Mereka kan jorok-jorok,” sambungnya sembari bergidik.
“Weleh… weleh… kok malah su’uzhon. Tidak boleh itu!”
“Su’u… su’u… nopo to niku, Mbak?”
Su’uzhon. Artinya buruk sangka. Kita jangan menuduh orang lain atas dasar praduga yang tidak baik. Begitu maksudnya.”
Mbak Asih mengangguk-angguk tampak mengerti.
Hampir setahun Lita tinggal dengan keluarga Mbak Yeni. Sejak dia memutuskan untuk kuliah di kota gudeg Yogyakarta Hadiningrat. Si bungsu Lita memang sengaja memilih kuliah jauh dari rumah. Ingin belajar mandiri, begitu alasannya pada ibu. Soalnya, Surabaya-Yogya memang bukan jarak yang bisa ditempuh dalam waktu singkat untuk sekedar curhat.
Lita adalah pecinta kebersihan. Di rumah, tak satu pun sudut ruangan dibiarkan kotor berdebu lebih dari dua hari. Juga tentang kebersihan badan. Lita sangat perhatian merawatnya. Dan mengenai kutu, dia mempunyai trauma yang cukup membuatnya selalu merinding bila ingat. Waktu itu dia melihat makhluk kecil berwarna coklat kehitaman yang menempel di jilbab temannya. Yang lebih membuatnya ngeri, si Pediculus berukuran kurang lebih tiga millimeter itu ada dua ekor! Dengan perasaan campur aduk Lita menegur teman yang jilbabnya sedang dijadikan arena bermain makhluk penghisap darah itu. Sebagai aktivis Rohis, Lita merasa rishi dengan kenyataan tersebut. Karena itulah, dia seperti orang yang kebakaran jilbab plus kaos kaki tatkala tahu kala Zahra, keponakannya sendiri. Ternyata berkutu.
“Huaaaaa… Mbak Sih nakaaal!” jerit Zahra membuyarkan konsentrasi Lita yang sedang mengetik laporan praktikum.
“Ada apa, ada apa?” Lita tergopoh-gopoh berlari menghampiri Zahra yang sedang meronta-ronta sambil menendangi Mbak Sih.
“Cup sayang… cup… nanti Tante belikan es krim…. Cup!” kartu as rayuan Lita keluar. Seketika tangis Zahra reda. “Ayo beli, Tante. Mbak Sih nggak usah dikasih. Mbak Sih nakal!” rengek Zahra di antara sisa tangisnya.
Dengan isyarat Lita bertanya pada Mbak Sih. Aduan Zahra yang menjawabnya. “Tante, Mbak Sih nakal, mau ambi teman-teman Ara.”
“Teman?” Lita tak bisa menyembunyikan rasa bingungnya.
“Ini… teman-teman Ara yang di sini,” sahut Zahra sambil menunjuk kepalanya.
Hua! Rasa jijik tiba-tiba menyerang Lita dari segenap penjuru mata angina.
Lita lantas paham kalau masalah kutu Zahra tidak sekedar persoalan kesehatan saja. Pendekatannya harus kasih sayang karena Ara kecil terlanjur menganggap si binatang penggatal rambut itu sebagai sahabatnya.
Lita berniat menuntaskan masalah itu tanpa melibatkan Mbak Yeni lagi. Dia tidak mau untuk kesekian kali mendengar jawaban sibuk, banyak urusan, dan sejenisnya. Jawaban-jawaban yang selalu membuatnya kesal bukan alang kepalang. “Kesibukanku ini demi masa depan Zahra juga. Biaya pendidikan sekarang kan tinggi, apalagi kelak.” Begitu selalu dalih Mbak Yeni kalau Lita menggugatnya dengan pertanyaan, “Mbak Yeni niat nggak sih punya anak, kok ditinggal kerja melulu?”
*******


“Ini akan membuat kutu-kutu di rambutmu tidur nyenyak,” cerita Lita sambil mengoleskan gama benzene heksaklorida tipis-tipis pada rambut dan kulit kepala Zahra.
“Iya, Tante?” si kecil menyahut antusias.
“Iya. Kan tadi udah dikeramasin, terus dikasih obat ini biar tidurnya enaaak… gitu,” yakin Lita. Tidur selamanya, batin Lita tertawa geli dengan taktik olah katanya.
“Habis ini Tante bacain cerita. Tapi handuknya tidak boleh dilepas. Soalnya tidur kutu bisa terganggu. Oke, ya!” pinta Lita sambil melilitkan handuk membungkus kepala mungil Zahra yang bergoyang ke kanan ke kiri. Sementara itu pikiran Lita bekerja keras menyusun agenda kegiatan tiga jam ke depan untuk membuat Zahra menuruti perintahnya. Maksud Lita, agar obat bekerja secara optimal-seperti anjuran di majalah kesehatan anak yang baru saja dia baca.
Hari berikutnya Lita denga semangat mengumpulkan segala aksesori rambut si kecil seperti jepit rambut dan pita. Dicucinya dengan desinfektan lalu dikeringkan. Bahkan sisir donald Zahra direndamnya dalam cairan lisol 2%. Pendek kata, Lita benar-benar geregetan dengan si makhluk mungil yang menurutnya sangat menjijikkan itu. Perang total terhadap kutu dia galakkan terus-menerus. Sampai Mbak Yeni dan Mbak Sih terbengong-bengong menyaksikan kehebohan usahanya.
“Mbak, kalau bisa Zahra jangan boleh main sama si Ani, anak ujung gang itu. Lita lihat rambutnya kusam. Mungkin dia yang nularin kutu ke Zahra,” cetus Lita ketika membantu Mbak Sih menyiapkan makan siang.
“Lho, katanya tidak boleh su’u… su’u… itu lho Mbak… buruk sangka!”
“Astaghfirullah!” Lita menepuk jidatnya. “Ehm… su’uzhon emang nggak boleh Mbak Sih, tapi ini kan waspada. Jaga-jaga, gitu.”
“Ooo, kalau waspada boleh, kalau buruk sangka tidak boleh. Lha bedanya apa to, Mbak?”
“Bedanya… embuh lah!” Lita bingung sendiri. Dalam benak Lita hanya ada satu keinginan, keponakannya harus bersih. Dengan cara apa pun. Lita anti jorok, kotor dan kumuh! Demikian tekadnya.
*******


Suatu siang sepulang kuliah.
Setelah mengucapkan salam Lita bergegas menuju kamarnya. Dengan gerakan tergesa ditutup dan dikuncinya pintu. Dibukanya jilbab yang melingkupi kepala, termasuk kerudung kecil yang dipakai sebagai daleman. Kepalanya terasa sangat gatal.
“Hah?!” Lita memekik tertahan. Ada seekor pediculus mungil meringkuk di pojok kerudungnya. Bagaimana bisa begini? Lita panik.
Sorenya secara diam-diam Lita mengambil sisa obat kutu Zahra dan memakainya diam-diam di kamar mandi. Begitu hati-hati Lita melakukannya karena dia merasa gengsinya bisa turun drastis kalau penghuni jagad raya mengetahui keadaan itu. Bukankah Lita jurkam anti kutu yang handal?
Sehari dua hari pemakaian obat, Lita semakin resah. Kutu-kutu masih kerasan berdomisili di rambut indahnya. Kenapa begini? Apa salahku? Bagian kanan, kiri, atas dan bawah batin Lita mengamuk sejadi-jadinya.
Di siang terik Lita menangis. Gatal di kepalanya tak tertahankan lagi. Padahal dia sedang mengebut tugas dari Pak Sembiring, dosen killer-nya. Konsentrasinya sulit bertahan lama karena sebentar-sebentar dia harus garuk sana garuk sini. Rasa jengkel, malu, kesal makin membuat mata Lita bengkak karena hujan air mata.
“Lita, buka pintunya!”
Lita terkesiap. Suara Mbak Yeni!
Perlahan Lita menyahut, “dorong aja pintunya, nggak dikunci!”
Mbak Yeni menatap wajah kusut Lita dengan senyum. “Nih, Mbak bawain majalah kesukaanmu. Baca deh, biar suntukmu ilang. Maaf, Mbak musti segera balik ke kantor. Ada sedikit urusan yang belum tuntas,” ucap Mbak Yeni cepat.
Lita mendengus sebal. Dasar wanita karir! Rutuk hatinya.
Diraihnya majalah wanita pemberian Mbak Yeni yang diletakkan di pinggir meja. Tiba-tiba dua lembar kertas melayang jatuh. Lita memungutnya. Fotokopian artikel dan  … surat dari Mbak Yeni! Lita memilih membaca surat yang tampak ditulis terburu-buru itu terlebih dahulu.
“Ta, maaf ya. Kamu selama ini mungkin menganggao Mbak nggak peduli dengan urusan keluarga termasuk kamu. Mbak terlalu sibuk di kantor. Ya, kamu benar. Mbak Insya Allah tahun depan berhenti, seperti anjuran Mas Arman. Mbak mau total berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Apalagi Zahra Insya Allah sebentar lagi mau punya adik.”
Lita menggumamkan hamdalah.
“Ta, Mbak sebenarnya perhatian lho sama Arad an juga kamu. Mbak Yeni tahu kok kalau beberapa hari ini kamu gelisah. Kamu kutuan, ya? Afwan, tembak langsung.”
Mata Lita terbelalak. Mbak Yeni tahu dari mana?
“Mbak pernah lihat waktu kamu ngambil obat kutunya si Ara. Tapi Mbak pura-pura nggak tahu biar kamu ndak malu. Kamu kan terkenal anti-kutu. Trus, ini ada artikel, semoga bermanfaat buat kamu.”
Bergegas Lita meraih lembar kertas yang satunya. Dicermatinya artikel itu terutama kalimat-kalimat yang digarisbawahi. Ada satu kalimat yang membuat Lita nyaris tertawa ngakak. “Jadi dua belas sampai dua puluh empat jam? Masya Allah… pantesan!” gumamnya geli. Di artikel itu tertulis mengenai lamanya pembungkusan rambut setelah diobati. “Astaghfirullah, begini nih hasilnya orang kalau apa-apa suka panik duluan. Tiga jam kan kalau pemakainya masih anak-anak!” Lita terus bicara sendiri.
Suatu malam seusai dinner.
“Mbak, jazakillah buat artikelnya.”
Mbak Yeni tersenyum. “Barangkali kejadian yang kamu alami itu merupakan satu hikmah yang bisa diambil dari ayat Allah Rabbana ma khalaqta hadza baathila. Allah tidak menciptakan segala sesuatu itu sia-sia belaka,” ujar Mbak Yeni yang semasa kuliah aktif di masjid kampus, dengan semangat.
Lita tampak bingung.
“Ya, binatang kecil yang menurutmu menjijikkan itu telah mengingatkanmu untuk tidak berlaku sombong.”
“Sombong?” Lita menatap mbaknya penuh ketidakmengertian.
“Kata Mbak Sih kamu melarang Ara main sama Ani, bahkan juga Riska dan Deni. Gara-garanya kamu mencurigai mereka yang telah menularkan kutu pada Ara.”
“Maksud Lita sih, biar Zahra tidak ngalamin pediculosis lagi,” sanggah Lita membela diri.
“Daripada begitu kan lebih baik kamu ajak anak-anak itu ke sini, terus kutunya diberantas bareng-bareng. Coba kalau ibu mereka mendengar perkataanmu, bisa-bisa timbul fitnah. Nyatanya kamu yang rajin merawat rambut pun bisa kutuan, kan?”
Lita mengangguk malu. Ada lega yang merayap mendengar keterangan Mbak Yeni. Dan juga karena membaca artikel tentang kutu yang menyebutkan bahwa kutu bisa mengenai siapa saja termasuk orang yang rambutnya bersih.
“Ehm, lusa Lita mau pulang. Mbak Yeni mau titip pesen apa sama Ibu?” cetus Lita sambil membereskan piring-piring kotor.
“Mau ngadu, ya. Masak masalah kutu aja mesti sampai ke Ibu. Katanya mau belajar mandiri?” ledek Mbak Yeni pura-pura menuduh.
“Lho, Mbak Lita nopo nggih tumonan (kutuan), to?” Mbak Sih yang baru muncul dari dapur, nimbrung.
“Wiiih, tidak lah yaw. Si Zahra tuh yang kutuan!” elak Lita sambil mengedipkan sebelah matanya ke Mbak Yeni.
“Enggak… enggak… Ara nggak punya kutu. Mbak Sih sama Tante Lita yang kutuan!” Zahra yang sudah mendapat pencerahan dari Lita mengenai kutu tidak terima dikatakan berkutu. Serta merta dilemparkannya boneka dalam gendongannya ke arah Lita sambil melotot galak.
Serentak Mbak Sih, Lita dan Mbak Yeni tertawa bersama.
Kutu… kutu rambut. Nama latinnya sih keren, pediculus humanus capitis. Tapi, siapa yang mau?
*******

=============================================================================

Enjoy !!!

No comments:

Post a Comment