"Dalam masa kegelapan dulu saya
adalah seorang Muslim. Puji Tuhan, kasih Kristus menebar terang di hati. Kini,
tiada pikiran lain dalam benak kecuali mengabdikan hidup menjadi pelayan firman
Tuhan. Haleluya.” Romo Antonius menyudahi sambutannya sambil mengelap peluh
yang membasah di kening. Sorot matanya berkelana menatap satu persatu para
peserta dialog antar umat beragama yang berhasil dikumpulkannya.
Sandra resah. Gadis itu membenahi
kacamata minusnya. Duduknya mulai tidak tenang.
“Sungguh mengerikan mendengar
keterangan Pak Kyai di kampung saya dulu. Cerita tentang siksa kubur, malaikat
yang siap mencambuk pendosa, murka Tuhan dengan neraka. Tiada kedamaian sama
sekali. Ketakutan senantiasa membayangi tiap langkah sewaktu saya masih memeluk
Islam. Dalam kasih Kristus, segalanya kini menjadi indah. Allah Bapa telah
mengorbankan putranya untuk menebus belenggu dosa manusia yang mengimaninya.”
Tekanan suara suster Maria pada tiap kata Kristus dan Yesus menyentakkan hati
Sandra.
“Betapa menyakitkannya perilaku
orang-orang Islam. Mereka menghalangi kami membangun gereja hanya gara-gara
minimnya jemaat kami. Mereka menyulitkan kami yang hendak memuliakan Allah Bapa
beserta Yesus Sang Mesias. Ka… kami… harus… ba… ba… hik… hik… hik…” suster Theresia
tidak melanjutkan penuturannya. Wajah pucatnya bersimbah air mata.
Sandra jatuh iba.
Kepiluan mendera. Satu demi satu tetes bening menganak sungai membasahi jilbab
biru lautnya. Di benaknya terbayang kembali reaksi keras masyarakat desanya
menentang pendirian gereja, yang akan dibangun di lokasi tidak jauh dari
pesantren. Di samping Sandra, duduk pastor muda Andreas yang menatapnya lekat
sembari tersenyum puas.
*******
“Lis, kenapa ya
orang-orang Islam itu jahat?”
“Apa?”
“Apakah dalam
Islam tidak ada ajaran mengenai cinta kasih seperti dalam agama Kristen?”
“Masya Allah,
bicara apa kamu, San?” Sandra mengeluarkan beberapa lembar foto. Pembakaran
gereja. Orang-orang bersorban, wanita-wanita berjilbab melempari gereja? Mata
Lisa memanas.
“Fitnah apa pula
ini, San?” Lisa mengguncang-guncang pundak Sandra, teman sekosnya yang belum
genap tiga bulan berjilbab.
“Orang Islam sulit
diajak berdamai. Datang untuk berdialog dengan umat lain pun tidak mau,”
sambung Sandra penuh sesal.
“Apa maksudmu?”
Panjang lebar
Sandra menceritakan kegiatannya selama dikarantina empat hari untuk mengikuti
dialog antar umat beragama yang dimotori oleh sebuah LSM. Tentang
ketidakhadiran hampir semua ulama yang diundang. Satu yang datang pun sangat
pasif dan kelihatan tidak menguasai materi dialog. Tentang banyaknya tokoh
gereja yang antusias mengikuti acara tersebut. Tentang biarawan biarawati yang
mengaku pernah Muslim. Yang lari dari Islam karena Islam itu kejam, dan
sebagainya… dan sebagainya. Penuturan itu kontan membuat Lisa berang.
“Kenapa kamu percaya begitu saja, San? Semua
pasti telah direkayasa secara licik oleh kaum kuffar itu. Islam agama damai
penuh toleransi. Kita, Muslim mayoritaslah yang tertindas selama ini. Kita…”
volume suara Lisa meninggi, tidak terkontrol lagi.
“Ternyata memang
betul kata-kata mereka. Umat Islam reaktif serta teramat emosional dalam
menanggapi setiap kejadian, informasi, dan bahkan hanya statement. Kasihan
mereka!” tanggap Sandra lirih. Rona mukanya menyiratkan duka yang mendalam.
Lisa tak kuasa
membendung galaunya. “Sandra, Astaghfirullah… istighfar, San. Apa yang
membuatmu jadi begini?” Lisa terisak-isak sambil memeluk erat Sandra. Tatap
matanya menerobos kaca bening jendela. Memandang gundah awan kelabu yang berarak
memenuhi langit biru.
Lisa menduga ada yang tidak beres dalam dialog yang diikuti Sandra. Dia memperkirakan sahabatnya terkena semacam hipnotis. Apalagi Sandra sempat beberapa kali menyebut nama Andreas dengan penuh semangat. Pastor Andreas, kawan diskusinya yang punya tampang sekaliber Leonardo DiCaprio dan senyum semanis Bryce Johnson. Lisa bergidik ngeri. Informasi-informasi tentang kristenisasi yang pernah dia peroleh muncul bergantian dari disket memorinya.
*******
“Sungguh keterlaluan mereka. Hanya Allah
penolong kita. Calm down, kalau kita bersikap
kasar tentunya Sandra akan semakin membenarkan mereka.” Ida menepuk-nepuk bahu
Lisa.
“Mbak Ida, Lisa harus bagaimana?”
Lisa menerawangkan pandangannya ke langit. Burung-burung hitam yang
berseliweran tak lagi mengusik imaji kreatifnya. Semilir angina sore pun tak
kunjung menentramkan hatinya. Keresahan benar-benar telah melingkupi jiwa Lisa.
Ida yang dua tahun
lebih dulu aktif di korps dakwah kampus disbanding Lisa tersenyum lembut seraya
mengangsurkan selembar kartu lama. “Afwan,
Ida tidak bisa membantu lebih jauh. Ini ada alamat yang bisa dihubungi. Ustadz
Abdullah ini kristolog, hafidz Injil. Sekali lagi afwan, karena Ida tidak bisa menemani Lisa. Tetap sabar, ya!”
*******
“Lis, Al Quran ternyata juga
mengakui keunggulan Al Masih,” cetus Sandra mengusik konsentrasi Lisa yang
sedang mengutak-atik radio rusaknya.
“Tentu saja. Nabi Isa kan salah
seorang utusan Allah, bahkan beliau termasuk Ulul Azmi.”
“Maksudku, yang mengikuti ajaran
Isa juga bisa dibenarkan oleh Al Quran?” pendar cahaya yang makin pijar di bola
mata Sandra mengagetkan Lisa.
“Bisa kamu jelaskan lebih lanjut?”
pesan Mbak Ida untuk senantiasa sabar terngiang di kalbu Lisa.
“Isi Az Zukhruf 16 mirip dengan
Yohanes 14:6. Bahkan, Az Zukhruf 63 tegas mengatakan kalau Al Masih datang
membawa terang. Bukankah itu isyarat kebenaran ayat-ayat Injil?”
“Benar sekali. Tapi itu Injil yang
dulu. Injil yang sekarang palsu, banyak terkontaminasi ajaran-ajaran sesat.
Ajaran Nabi Isa yang asli menyuruh umatnya untuk mengikuti Rasulullah Muhammad
sepeninggal beliau,” secuplik pengetahuan tentang kandungan Injil Yohanes pasal
16, Lisa jadikan argumen untuk membantah Sandra.
“Tapi bagaimanapun juga, bukankah
surat Al Maidah ayat 82 menyatakan kalau orang Kristen sahabat dekat Umat
Islam?”
Lisa terdiam, bingung sekaligus
resah. Baru disadarinya kalau kelompok misionaris telah merancukan penafsiran
Al Quran untuk misi Injilinya, sementara pengetahuannya tentang Al Kitab minus
sekali. Tiba-tiba kartu nama pemberian Mbak Ida tergambar jelas di pelupuk
mata. Secepat mungkin Sandra harus bertemu beliau, sebelum dia lebih jauh
teracuni oleh tipu daya pemikiran Andreas, tekad Lisa.
Langit senja makin
merah. Arakan burung-burung yang kembali ke sarang setelah puas mengais
rizki-Nya terlihat indah melintasi awan-awan putih. Dari kejauhan hanya nampak
titik-titik bergerombol. Setitik demi setitik, di hati Lisa bermunculan harapan
agar Sandra segera kembali ke jalan kebenaran Allah Robbul ‘Izzati.
*******
“Ajaran Isa atau yang biasa disebut
Yesus Kristus oleh umat Kristiani adalah wahyu dari Allah. Jelas berisi
kebenaran.” Ustadz Abdullah mengambil setumpuk buku tebal dari rak besar.
Sementara Ummu Hana, istrinya, meletakkan dua gelas air jeruk di depan Sandra
dan Lisa. Udara panas berhembus ke dalam ruangan sembari menerbangkan debu-debu
jalan. Di luar, bola pijar raksasa putih keperakan yang nampak gagah bertahta
di langit masih setia memancarkan sinar terang.
“Nak Lis,” panggil Ustadz Abdullah.
Serta merta Lisa menghentikan pikirannya yang mengembara. “Buka Matius pasal 24
ayat 4 dan 5. Bacalah!” lanjut beliau sambil menyodorkan sebuah buku bersampul
hitam yang tebal menyerupai sebuah kamus. Dengan sigap jari jemari lentik Lisa
membuka lembar demi lembar.
“Kata Yesus: waspadalah supaya
jangan ada orang yang menyesatkan kamu. Sebab banyak orang akan datang dengan
memakai namaku dan berkata, Akulah Mesias. Dan mereka akan menyesatkan banyak
orang.”
“Sudah. Bandingkan dengan Galatia
pasal 2 ayat 20!”
“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi
aku sendiri yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku…”
“Cukup. Siapa yang berkata itu?”
“Rasul Paulus, Ustadz.”
“Apa kesimpulanmu, Nak?” Ustadz
berkopiah putih yang sudah lanjut dimakan usia itu tersenyum arif.
“Pauluslah Mesias palsu yang
dimaksud Yesus. Paulus perusak agama tauhid, penyebar kesesatan,” setelah
berpikir sejenak, Lisa menjawab dengan geram.
Sandra terlihat gelisah.
“Lihat pula Matius pasal 5 ayat
17!”
“Janganlah kamu menyangka bahwa Aku
datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan
untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Ayat 18 perlu saya baca
juga?”
“Tidak. Langsung simak ucapan
Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma pasal 7 ayat 6!”
“Tetapi sekarang kita telah
dibebaskan dari hukum Taurat sebab kita…”
“Bacalah dua baris terakhirnya!”
“Bukan dalam keadaan lama menurut
huruf hukum Taurat.”
“Al Kitab pegangan umat Kristen
sendiri bisa membuktikan kepalsuan Paulus. Bagaimana, Nak Sandra?” Ustadz
Abdullah mengalihkan perhatian kepada Sandra yang sedang membolak-balik Injil
versi King James.
Lisa menoleh ke arah Sandra.
Ekspresi muka Sandra sulit ditangkap maknanya.
“Agar anak berdua lebih jelas lihat
Roma pasal 3 ayat 7, kemudia Matius pasal 3 ayat 15. Dan masih banyak lagi,
Insya Allah nanti saya beri list-nya.
Bawalah Al Kitab itu untuk kalian pelajari. Jum’at depan kita lanjutkan
diskusi.” Ustadz hendak beranjak.
“Maaf, Ustadz,” sela Lisa seperti
memendam sesuatu, “bagaimana dengan kristenisasi? Ajaran Yesus atau Pauluskah?”
“Yesus datang hanya untuk Bani
Israel. Ajaran licik Paulus sungguh berbahaya karena telah dijadikan pijakan
oleh para misionaris untuk menjalankan misinya.”
“Bahaya bagaimana, Ustadz?”
akhirnya Sandra mau angkat bicara.
“Lihat Matius pasal 28 ayat 19 dan
Markus pasal 16 ayat 15. Mereka akan berbuat apa saja untuk menjadikan sekalian
bangsa pengikut Yesus dan membaptiskannya dalam nama bapa, putra dan roh
kudus.”
“Tidak. Andreas bilang kristenisasi
tidak ada. Orang-orang non Kristen tertarik pada Kristen karena kedamaian
ajaran kasihnya. Bukan karena dipaksa. Pemuka Kristen tidak berambisi pada
kuantitas umat, tapi berkonsentrasi pada kualitas. Kita umat Islam terlalu
mencurigai mereka. Christophobia!” potong Sandra berapi-api.
Lisa mengatupkan bibir,
menggemeretakkan gigi-giginya.
Ustadz Abdullah tertawa kecil.
“Baguslah Nak Sandra, kalau benar begitu. Kapan-kapan kenalkan Bapak pada
Andreas, ya!”
Dialog diakhiri. Lisa
dipanggil ke ruang dalam oleh Ummu Hana yang ternyata juga seorang kristolog. Banyak pesan disampaikan sehubungan dengan gawatnya kondidi Sandra.
*******
“Saya mboten saged ngragadi anak, Mbak. Saya wong sekeng. Ya terpaksa. Saya harus ndherek Gusti Yesus supados
tetep saged manggoni griya niki,” ungkap seorang Ibu tua menghapus tetes
air yang berjatuhan di pipi dengan kain lusuh.
“Saya takut dicerai bila saya
bersikukuh Islam. Saya tidak punya pekerjaan. Dua anak saya pun pasti akan
diambil Markus jika perceraian terjadi,” aku seorang wanita setengah baya yang
sedang hamil muda berurai air mata.
“Aku kadung berisi. Hanya Frans
yang mau tanggung jawab. Pemuda Muslim mana ada yang mau mengawini perempuan
bunting seperti aku? Aku harus bagaimana?”
Tiada henti Lisa berusaha
meyakinkan Sandra kalau kristenisasi bukan hanya ada tapi benar-benar telah
merajalela. Kunjungan demi kunjungan ke daerah sasaran misionaris intens
dilakukan. VCD tragedi Ambon dan Poso pun tak ketinggalan Lisa pertontonkan.
Lisa terus menguatkan kesabaran. Pengaruh Andreas rupanya terlampau kuat
mencengkeram Sandra. Sandra tampak masih limbung di persimpangan jalan. Sebuah nama yang direkomendasikan Ummu Hana serta merta terlintas di benak Lisa.
*******
“Andreas? Innalillahi… adik
mengenal Andreas?” seraut wajah ayu dibingkai jilbab putih bersih menatap
Sandra dan Lisa bergantian. Pemilik wajah anggun yang punya nama Sabila itu
lantas mengambil sebuah album foto besar.
“Andreas… Andreas inikah yang Dik
Sandra kenal?” ada getar dalam suara Sabila.
Sandra terbelalak. Mengangguk pelan
lalu menatap tanpa kedip wajah ayu di depannya. “Sus… suster… anda suster?”
“Suster Cecilia, identitas saya dulu.
Ajaran Kristen yang munafik membuat saya muak. Ada nafsu biologis dalam tiap
diri manusia yang tidak mungkin diberangus, tapi harus disalurkan. Semuanya
gila… termasuk Andreas. Dia… dia pernah hendak memperkosa saya!” mata dan
hidung Sabila memerah. Wajah putihnya makin pias.
“Apa? Bukankah kalian
berkontemplasi selama satu jam lima kali sehari? Bukankah dengan begitu nafsu
kalian menjadi mati?” Sandra menggigil. Matanya mulai berair.
“Hanya saat itu saja nafsu kami
padam. Namun selebihnya berkobar lagi. Allah Maha Benar dengan aturannya
mengenai perkawinan. Ajaran Kristen tidak realistis. Buktinya Andreas. Dia
terus mengejar-ngejar saya sampai saya harus mengungsi ke tempat seterpencil
ini.”
Sandra tergugu. Tak disangkanya
wajah selembut Andreas menyimpan niatan busuk bagai serigala berbulu domba.
Lisa merengkuh bahu Sandra, berusaha membagi kekuatan.
“Allah telah mengkaruniakan suami
yang baik untuk saya mengarungi bahtera kehidupan. Mengabdi kepada-Nya menjadi
lebih indah bersama Mas Ilham. Selibat… omong kosong itu!” Sabila menekan
kalimat-kalimatnya.
Sandra terkulai lemas. Lisa
menopang dengan kedua tangannya. Perkiraan Lisa tidak meleset. Ada benih-benih
simpati yang mulai bersemi di hati Andra kepada Pastor Andreas.
*******
Epilog.
Ahad pagi.
Sandra mematut diri di depan
cermin. Merapikan jilbab biru lautnya. Biru adalah warna favoritnya.
“Badhe kamana atuh, Neng? Rapi ‘kali!” goda Lisa.
“Pake nanya. Kajian rutin ke
Syuhada. Mau bareng, nggak?” Sandra menjawab tanpa menoleh.
“Ke Syuhada atau ke situ?” telunjuk
Lisa mengarah ke luar jendela. Pandangan mata Sandra mengikutinya. Tampak di
kejauhan sebuah salib menjulang di atas bangunan megah. Bunyi lonceng masih
berdentang dari puncak menara gereja.
“Malam kudus sunyi senyap…” Lisa
mengerling Sandra.
“Pasti. Pasti Sandra akan ke sana.
Murid Ustadz Abdullah akan mengobrak-abrik keyakinan mereka terhadap Bibel!”
ujar Sandra mantap.
“Tapiiii… nggak takut kecantol ama
Bryce Johnson lagi?” Lisa bersiap menghindar dan lari melihat reaksi keki
Sandra.
“Lisa jahaaat!” Sandra menjerit
gemas. Keduanya lantas berkejar-kejaran, naik turun tangga sambil tertawa-tawa
riang.
Dilema iman telah usai. Mentari
pagi pun turut tersenyum dengan kehangatan sinarnya. Juga langit cerah yang
berhias diri dengan gumpalan awan yang menyerupai kapas. Para makhluk Allah
yang beterbangan pun tak ingin kalah dengan memamerkan konser merdunya. Seluruh
jagad raya bersujud dan bersyukur. Satu lagi makhluk telah kembali pada
fitrahnya.
*******
Maaf yaa kalau masih banyak salah dalam penulisan, penulis juga manusia yang masih belajar ;)
Enjoy !!! :)
No comments:
Post a Comment