Tuesday, May 21, 2013

Dilema Iman Sandra by Jazimah Al Muhyi

"Dalam masa kegelapan dulu saya adalah seorang Muslim. Puji Tuhan, kasih Kristus menebar terang di hati. Kini, tiada pikiran lain dalam benak kecuali mengabdikan hidup menjadi pelayan firman Tuhan. Haleluya.” Romo Antonius menyudahi sambutannya sambil mengelap peluh yang membasah di kening. Sorot matanya berkelana menatap satu persatu para peserta dialog antar umat beragama yang berhasil dikumpulkannya.

Sandra resah. Gadis itu membenahi kacamata minusnya. Duduknya mulai tidak tenang.
“Sungguh mengerikan mendengar keterangan Pak Kyai di kampung saya dulu. Cerita tentang siksa kubur, malaikat yang siap mencambuk pendosa, murka Tuhan dengan neraka. Tiada kedamaian sama sekali. Ketakutan senantiasa membayangi tiap langkah sewaktu saya masih memeluk Islam. Dalam kasih Kristus, segalanya kini menjadi indah. Allah Bapa telah mengorbankan putranya untuk menebus belenggu dosa manusia yang mengimaninya.” Tekanan suara suster Maria pada tiap kata Kristus dan Yesus menyentakkan hati Sandra.
“Betapa menyakitkannya perilaku orang-orang Islam. Mereka menghalangi kami membangun gereja hanya gara-gara minimnya jemaat kami. Mereka menyulitkan kami yang hendak memuliakan Allah Bapa beserta Yesus Sang Mesias. Ka… kami… harus… ba… ba… hik… hik… hik…” suster Theresia tidak melanjutkan penuturannya. Wajah pucatnya bersimbah air mata.
Sandra jatuh iba. Kepiluan mendera. Satu demi satu tetes bening menganak sungai membasahi jilbab biru lautnya. Di benaknya terbayang kembali reaksi keras masyarakat desanya menentang pendirian gereja, yang akan dibangun di lokasi tidak jauh dari pesantren. Di samping Sandra, duduk pastor muda Andreas yang menatapnya lekat sembari tersenyum puas.
*******

“Lis, kenapa ya orang-orang Islam itu jahat?”
“Apa?”
“Apakah dalam Islam tidak ada ajaran mengenai cinta kasih seperti dalam agama Kristen?”
“Masya Allah, bicara apa kamu, San?” Sandra mengeluarkan beberapa lembar foto. Pembakaran gereja. Orang-orang bersorban, wanita-wanita berjilbab melempari gereja? Mata Lisa memanas.
“Fitnah apa pula ini, San?” Lisa mengguncang-guncang pundak Sandra, teman sekosnya yang belum genap tiga bulan berjilbab.
“Orang Islam sulit diajak berdamai. Datang untuk berdialog dengan umat lain pun tidak mau,” sambung Sandra penuh sesal.
“Apa maksudmu?”
Panjang lebar Sandra menceritakan kegiatannya selama dikarantina empat hari untuk mengikuti dialog antar umat beragama yang dimotori oleh sebuah LSM. Tentang ketidakhadiran hampir semua ulama yang diundang. Satu yang datang pun sangat pasif dan kelihatan tidak menguasai materi dialog. Tentang banyaknya tokoh gereja yang antusias mengikuti acara tersebut. Tentang biarawan biarawati yang mengaku pernah Muslim. Yang lari dari Islam karena Islam itu kejam, dan sebagainya… dan sebagainya. Penuturan itu kontan membuat Lisa berang.
 “Kenapa kamu percaya begitu saja, San? Semua pasti telah direkayasa secara licik oleh kaum kuffar itu. Islam agama damai penuh toleransi. Kita, Muslim mayoritaslah yang tertindas selama ini. Kita…” volume suara Lisa meninggi, tidak terkontrol lagi.
“Ternyata memang betul kata-kata mereka. Umat Islam reaktif serta teramat emosional dalam menanggapi setiap kejadian, informasi, dan bahkan hanya statement. Kasihan mereka!” tanggap Sandra lirih. Rona mukanya menyiratkan duka yang mendalam.
Lisa tak kuasa membendung galaunya. “Sandra, Astaghfirullah… istighfar, San. Apa yang membuatmu jadi begini?” Lisa terisak-isak sambil memeluk erat Sandra. Tatap matanya menerobos kaca bening jendela. Memandang gundah awan kelabu yang berarak memenuhi langit biru.
Lisa menduga ada yang tidak beres dalam dialog yang diikuti Sandra. Dia memperkirakan sahabatnya terkena semacam hipnotis. Apalagi Sandra sempat beberapa kali menyebut nama Andreas dengan penuh semangat. Pastor Andreas, kawan diskusinya yang punya tampang sekaliber Leonardo DiCaprio dan senyum semanis Bryce Johnson. Lisa bergidik ngeri. Informasi-informasi tentang kristenisasi yang pernah dia peroleh muncul bergantian dari disket memorinya.
*******

 “Sungguh keterlaluan mereka. Hanya Allah penolong kita. Calm down, kalau kita bersikap kasar tentunya Sandra akan semakin membenarkan mereka.” Ida menepuk-nepuk bahu Lisa.
“Mbak Ida, Lisa harus bagaimana?” Lisa menerawangkan pandangannya ke langit. Burung-burung hitam yang berseliweran tak lagi mengusik imaji kreatifnya. Semilir angina sore pun tak kunjung menentramkan hatinya. Keresahan benar-benar telah melingkupi jiwa Lisa.
Ida yang dua tahun lebih dulu aktif di korps dakwah kampus disbanding Lisa tersenyum lembut seraya mengangsurkan selembar kartu lama. “Afwan, Ida tidak bisa membantu lebih jauh. Ini ada alamat yang bisa dihubungi. Ustadz Abdullah ini kristolog, hafidz Injil. Sekali lagi afwan, karena Ida tidak bisa menemani Lisa. Tetap sabar, ya!”
*******

“Lis, Al Quran ternyata juga mengakui keunggulan Al Masih,” cetus Sandra mengusik konsentrasi Lisa yang sedang mengutak-atik radio rusaknya.
“Tentu saja. Nabi Isa kan salah seorang utusan Allah, bahkan beliau termasuk Ulul Azmi.”
“Maksudku, yang mengikuti ajaran Isa juga bisa dibenarkan oleh Al Quran?” pendar cahaya yang makin pijar di bola mata Sandra mengagetkan Lisa.
“Bisa kamu jelaskan lebih lanjut?” pesan Mbak Ida untuk senantiasa sabar terngiang di kalbu Lisa.
“Isi Az Zukhruf 16 mirip dengan Yohanes 14:6. Bahkan, Az Zukhruf 63 tegas mengatakan kalau Al Masih datang membawa terang. Bukankah itu isyarat kebenaran ayat-ayat Injil?”
“Benar sekali. Tapi itu Injil yang dulu. Injil yang sekarang palsu, banyak terkontaminasi ajaran-ajaran sesat. Ajaran Nabi Isa yang asli menyuruh umatnya untuk mengikuti Rasulullah Muhammad sepeninggal beliau,” secuplik pengetahuan tentang kandungan Injil Yohanes pasal 16, Lisa jadikan argumen untuk membantah Sandra.
“Tapi bagaimanapun juga, bukankah surat Al Maidah ayat 82 menyatakan kalau orang Kristen sahabat dekat Umat Islam?”
Lisa terdiam, bingung sekaligus resah. Baru disadarinya kalau kelompok misionaris telah merancukan penafsiran Al Quran untuk misi Injilinya, sementara pengetahuannya tentang Al Kitab minus sekali. Tiba-tiba kartu nama pemberian Mbak Ida tergambar jelas di pelupuk mata. Secepat mungkin Sandra harus bertemu beliau, sebelum dia lebih jauh teracuni oleh tipu daya pemikiran Andreas, tekad Lisa.
Langit senja makin merah. Arakan burung-burung yang kembali ke sarang setelah puas mengais rizki-Nya terlihat indah melintasi awan-awan putih. Dari kejauhan hanya nampak titik-titik bergerombol. Setitik demi setitik, di hati Lisa bermunculan harapan agar Sandra segera kembali ke jalan kebenaran Allah Robbul ‘Izzati.
*******

“Ajaran Isa atau yang biasa disebut Yesus Kristus oleh umat Kristiani adalah wahyu dari Allah. Jelas berisi kebenaran.” Ustadz Abdullah mengambil setumpuk buku tebal dari rak besar. Sementara Ummu Hana, istrinya, meletakkan dua gelas air jeruk di depan Sandra dan Lisa. Udara panas berhembus ke dalam ruangan sembari menerbangkan debu-debu jalan. Di luar, bola pijar raksasa putih keperakan yang nampak gagah bertahta di langit masih setia memancarkan sinar terang.
“Nak Lis,” panggil Ustadz Abdullah. Serta merta Lisa menghentikan pikirannya yang mengembara. “Buka Matius pasal 24 ayat 4 dan 5. Bacalah!” lanjut beliau sambil menyodorkan sebuah buku bersampul hitam yang tebal menyerupai sebuah kamus. Dengan sigap jari jemari lentik Lisa membuka lembar demi lembar.
“Kata Yesus: waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu. Sebab banyak orang akan datang dengan memakai namaku dan berkata, Akulah Mesias. Dan mereka akan menyesatkan banyak orang.”
“Sudah. Bandingkan dengan Galatia pasal 2 ayat 20!”
“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku…”
“Cukup. Siapa yang berkata itu?”
“Rasul Paulus, Ustadz.”
“Apa kesimpulanmu, Nak?” Ustadz berkopiah putih yang sudah lanjut dimakan usia itu tersenyum arif.
“Pauluslah Mesias palsu yang dimaksud Yesus. Paulus perusak agama tauhid, penyebar kesesatan,” setelah berpikir sejenak, Lisa menjawab dengan geram.
Sandra terlihat gelisah.
“Lihat pula Matius pasal 5 ayat 17!”
“Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Ayat 18 perlu saya baca juga?”
“Tidak. Langsung simak ucapan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma pasal 7 ayat 6!”
“Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat sebab kita…”
“Bacalah dua baris terakhirnya!”
“Bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.”
“Al Kitab pegangan umat Kristen sendiri bisa membuktikan kepalsuan Paulus. Bagaimana, Nak Sandra?” Ustadz Abdullah mengalihkan perhatian kepada Sandra yang sedang membolak-balik Injil versi King James.
Lisa menoleh ke arah Sandra. Ekspresi muka Sandra sulit ditangkap maknanya.
“Agar anak berdua lebih jelas lihat Roma pasal 3 ayat 7, kemudia Matius pasal 3 ayat 15. Dan masih banyak lagi, Insya Allah nanti saya beri list-nya. Bawalah Al Kitab itu untuk kalian pelajari. Jum’at depan kita lanjutkan diskusi.” Ustadz hendak beranjak.
“Maaf, Ustadz,” sela Lisa seperti memendam sesuatu, “bagaimana dengan kristenisasi? Ajaran Yesus atau Pauluskah?”
“Yesus datang hanya untuk Bani Israel. Ajaran licik Paulus sungguh berbahaya karena telah dijadikan pijakan oleh para misionaris untuk menjalankan misinya.”
“Bahaya bagaimana, Ustadz?” akhirnya Sandra mau angkat bicara.
“Lihat Matius pasal 28 ayat 19 dan Markus pasal 16 ayat 15. Mereka akan berbuat apa saja untuk menjadikan sekalian bangsa pengikut Yesus dan membaptiskannya dalam nama bapa, putra dan roh kudus.”
“Tidak. Andreas bilang kristenisasi tidak ada. Orang-orang non Kristen tertarik pada Kristen karena kedamaian ajaran kasihnya. Bukan karena dipaksa. Pemuka Kristen tidak berambisi pada kuantitas umat, tapi berkonsentrasi pada kualitas. Kita umat Islam terlalu mencurigai mereka. Christophobia!” potong Sandra berapi-api.
Lisa mengatupkan bibir, menggemeretakkan gigi-giginya.
Ustadz Abdullah tertawa kecil. “Baguslah Nak Sandra, kalau benar begitu. Kapan-kapan kenalkan Bapak pada Andreas, ya!”

Dialog diakhiri. Lisa dipanggil ke ruang dalam oleh Ummu Hana yang ternyata juga seorang kristolog. Banyak pesan disampaikan sehubungan dengan gawatnya kondidi Sandra.

*******

“Saya mboten saged ngragadi anak, Mbak. Saya wong sekeng. Ya terpaksa. Saya harus ndherek Gusti Yesus supados tetep saged manggoni griya niki,” ungkap seorang Ibu tua menghapus tetes air yang berjatuhan di pipi dengan kain lusuh.
“Saya takut dicerai bila saya bersikukuh Islam. Saya tidak punya pekerjaan. Dua anak saya pun pasti akan diambil Markus jika perceraian terjadi,” aku seorang wanita setengah baya yang sedang hamil muda berurai air mata.
“Aku kadung berisi. Hanya Frans yang mau tanggung jawab. Pemuda Muslim mana ada yang mau mengawini perempuan bunting seperti aku? Aku harus bagaimana?”

Tiada henti Lisa berusaha meyakinkan Sandra kalau kristenisasi bukan hanya ada tapi benar-benar telah merajalela. Kunjungan demi kunjungan ke daerah sasaran misionaris intens dilakukan. VCD tragedi Ambon dan Poso pun tak ketinggalan Lisa pertontonkan. Lisa terus menguatkan kesabaran. Pengaruh Andreas rupanya terlampau kuat mencengkeram Sandra. Sandra tampak masih limbung di persimpangan jalan. Sebuah nama yang direkomendasikan Ummu Hana serta merta terlintas di benak Lisa.

*******

“Andreas? Innalillahi… adik mengenal Andreas?” seraut wajah ayu dibingkai jilbab putih bersih menatap Sandra dan Lisa bergantian. Pemilik wajah anggun yang punya nama Sabila itu lantas mengambil sebuah album foto besar.
“Andreas… Andreas inikah yang Dik Sandra kenal?” ada getar dalam suara Sabila.
Sandra terbelalak. Mengangguk pelan lalu menatap tanpa kedip wajah ayu di depannya. “Sus… suster… anda suster?”
“Suster Cecilia, identitas saya dulu. Ajaran Kristen yang munafik membuat saya muak. Ada nafsu biologis dalam tiap diri manusia yang tidak mungkin diberangus, tapi harus disalurkan. Semuanya gila… termasuk Andreas. Dia… dia pernah hendak memperkosa saya!” mata dan hidung Sabila memerah. Wajah putihnya makin pias.
“Apa? Bukankah kalian berkontemplasi selama satu jam lima kali sehari? Bukankah dengan begitu nafsu kalian menjadi mati?” Sandra menggigil. Matanya mulai berair.
“Hanya saat itu saja nafsu kami padam. Namun selebihnya berkobar lagi. Allah Maha Benar dengan aturannya mengenai perkawinan. Ajaran Kristen tidak realistis. Buktinya Andreas. Dia terus mengejar-ngejar saya sampai saya harus mengungsi ke tempat seterpencil ini.”
Sandra tergugu. Tak disangkanya wajah selembut Andreas menyimpan niatan busuk bagai serigala berbulu domba. Lisa merengkuh bahu Sandra, berusaha membagi kekuatan.
“Allah telah mengkaruniakan suami yang baik untuk saya mengarungi bahtera kehidupan. Mengabdi kepada-Nya menjadi lebih indah bersama Mas Ilham. Selibat… omong kosong itu!” Sabila menekan kalimat-kalimatnya.
Sandra terkulai lemas. Lisa menopang dengan kedua tangannya. Perkiraan Lisa tidak meleset. Ada benih-benih simpati yang mulai bersemi di hati Andra kepada Pastor Andreas.
*******

Epilog.
Ahad pagi.
Sandra mematut diri di depan cermin. Merapikan jilbab biru lautnya. Biru adalah warna favoritnya.
Badhe kamana atuh, Neng? Rapi ‘kali!” goda Lisa.
“Pake nanya. Kajian rutin ke Syuhada. Mau bareng, nggak?” Sandra menjawab tanpa menoleh.
“Ke Syuhada atau ke situ?” telunjuk Lisa mengarah ke luar jendela. Pandangan mata Sandra mengikutinya. Tampak di kejauhan sebuah salib menjulang di atas bangunan megah. Bunyi lonceng masih berdentang dari puncak menara gereja.
“Malam kudus sunyi senyap…” Lisa mengerling Sandra.
“Pasti. Pasti Sandra akan ke sana. Murid Ustadz Abdullah akan mengobrak-abrik keyakinan mereka terhadap Bibel!” ujar Sandra mantap.
“Tapiiii… nggak takut kecantol ama Bryce Johnson lagi?” Lisa bersiap menghindar dan lari melihat reaksi keki Sandra.
“Lisa jahaaat!” Sandra menjerit gemas. Keduanya lantas berkejar-kejaran, naik turun tangga sambil tertawa-tawa riang.
Dilema iman telah usai. Mentari pagi pun turut tersenyum dengan kehangatan sinarnya. Juga langit cerah yang berhias diri dengan gumpalan awan yang menyerupai kapas. Para makhluk Allah yang beterbangan pun tak ingin kalah dengan memamerkan konser merdunya. Seluruh jagad raya bersujud dan bersyukur. Satu lagi makhluk telah kembali pada fitrahnya.
*******


Maaf yaa kalau masih banyak salah dalam penulisan, penulis juga manusia yang masih belajar ;)
Enjoy !!! :)

No comments:

Post a Comment