Eng ing eeengg.... Sebelum baca, penulis mau ngasih beberapa patah kata nih. Sebenarnya penulis agak bingung, MTUT ini mau dijadiin apa? Cerbung kah? Novel kah? Atau cuma sekedar post-post gaje hasil imajinasi liar penulis? *?* Tapi rasanya sayang juga kalau cuma dijadiin post-postan gaje?
Jadi, buat yang suka, please minta komennya yaah, kira-kira enaknya dijadiin apa? Tadinya emang mau dijadiin cerbung, makanya dibuat per part. Tapi setelah dapet imajinasi dan khayalan lagi, kayaknya bakal jadi lebih panjang dari pada sekedar cerbung nih :D
===================================================================
Maka mulai hari itu, sepulang
sekolah kegiatanku selain berorganisasi dan mengikuti les adalah pergi ke
kantor polisi di sekitar rumah dan sekolahku. Juga menyebarkan dan menempelkan
pamflet-pamflet di kecamatan-kecamatan sekitar rumah dan sekolah. Setibanya aku
di rumah sering kali waktu Ashar telah lewat atau Maghrib yang datang
menyambut. Tetapi aku tidak melakukan proses pencarian itu sendirian. Selalu
ada ayah, Yusuf, Mang Irul, dan beberapa sahabat yang membantuku. Ibu Via
seharusnya mudah untuk ditemukan. Via kutemukan di sudut sekolah. Seharusnya
Ibu Via adalah salah seorang warga yang tinggal di daerah tidak terlalu jauh
dari sana. Atau bekerja di daerah sekolahku.
Polisi sudah
menginterogasiku dan Via beberapa kali. Dari cerita Via, ibunya sendiri lah
yang mengantarkannya ke sekolahku. Kemudian ia membantu Via memanjat salah satu
tembok pagar sekolah yang tidak terlalu tinggi. Setelah Via berhasil memanjat
dan masuk ke sekolah, Ibunya yang masih di luar sekolah kemudian melempar
setumpuk baju melewati tembok pagar. Tetapi ia tak pernah menyusul Via memanjat
tembok yang terlalu tinggi untuk dipanjat kembali oleh seorang anak kecil
seperti Via.
Saat menjalani proses interogasi, kulihat air
muka Via tidak begitu senang. Wajahnya murung dan tidak bersemangat. Aku takut
kalau-kalau ia jatuh sakit.
“Via sayang,
kamu sakit?” tanyaku pelan-pelan.
Ia hanya
menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menaruh kepalanya di atas pangkuanku dan
tertidur. Kuusap lembut kepalanya sambil berdoa di dalam hati, berharap yang
terbaik akan terjadi untuk Via dan keluargaku. Dalam perjalanan pulang, Ayah
memberitahu aku tentang hasil analisis kepolisian.
“Dari
keterangan yang Via dan kamu berikan, menurut kepolisian, kemungkinan besar Ibu Via dengan sengaja
menelantarkannya di sana, mungkin karena alasan ekonomi, mengingat bagaimana
kondisi Via saat ditinggalkan. Dan kemungkinan pula sudah pergi jauh
meninggalkan kota ini.”
Aku
termenung. Hasil analisis kepolisian begitu masuk akal. Kupandang wajah teduh
Via yang sedang tertidur. Via begitu lucu dan cantik. Ibunya pun pastinya
secantik ia. Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa ada seorang Ibu yang begitu
tega meninggalkan anaknya, terlantar sendirian di sudut SMU yang gelap dan… bahkan
aku sendiri tidak akan berani ditinggalkan sendirian di malam yang gelap di
sana, walau dalam keadaan tertidur. Kukecup pipi Via yang tertidur di
pelukanku. Ayah yang melihatnya ikut mengusap kepalanya.
Satu ide aneh
kemudian terlintas di benakku.
“Ayah…?”
“Ya?”
“Jika memang
Ibu Via telah menelantarkannya, Ayah mau mengadopsinya sebagai adik Aisha kan,
Yah?” pintaku penuh harap.
Ayah
tersentak kaget mendengar penuturanku. Kemudian beliau terlihat berpikir dan
berkata, “baiklah… asalkan kamu mau berjanji satu hal?”
“Apa, Yah?”
“Kamu akan
memiliki dua orang adik. Kamu harus menyayangi mereka dengan adil dan
memberikan perhatian kepada mereka dengan adil pula. Bagaimana?”
“Tentu saja
Ayah. Tidak mungkin kan, ‘dapat adik baru, adik lama kulupakan’. Hehehe,” Ayah
dan Mang Irul tertawa mendengar candaanku.
•∞•∞•
Akhirnya
kepolisian dan keluargaku sepakat untuk mengakhiri proses pencarian. Mustahil
rasanya mencari seseorang yang sudah membuang putrinya. Tetapi, hal yang begitu
membuatku resah adalah bagaimana dengan Via? Ia pasti akan sangat sedih bila
mengetahui fakta itu. Aku, sekali lagi, harus berkonsultasi dengan Ayah
mengenai perasaan Via. Dan Ayah, seperti biasa, tersenyum arif mendengar
curhatan dan keluhanku.
“Kalau
begitu biar Ayah saja yang berbicara dengan Via, ya? Kamu hanya perlu menjadi
kakak yang baik yang siap mendidik dan mengayomi dia. Setelah kehilangan sosok
Ibu, ia pastinya akan sangat membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Apalagi
kakak perempuan.” Kata Ayah menasihatiku. Aku tersenyum lega. Selalu ada Ayah
yang membantuku memecahkan permasalahanku. Setelah Ibu pergi meninggalkan aku
dan Yusuf, Ayah begitu baik menjadi sosok Ibu sekaligus Ayah di dalam
keseharian kami. Kami begitu beruntung memiliki beliau. Begitu pula Via
nantinya, kuharap.
“Yasudah,
kamu pergi tidur sana. Anak perempuan tidak baik tidur larut malam.”
“Iya,
Ayah. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
•∞•∞•
Minggu pagi.
Kesibukanku
mengurus Via selama ini membuatku banyak melupakan tugas-tugas sekolah juga
sahabat dan teman-temanku. Juga Adi. Begitu kubuka e-mail ku kembali, ia sudah
mengirimkan lebih dari lima surel. Kubuka satu per satu.
date: Sat,
Nov 10, 2011 at 5:05 AM
subject:
Invitation
mailed-by:
hotmail.com
Assalamualaikum, Aisha!
I have an invitation for you! Would you like to come to my school’s dancing
duels? I need you as my partner. We used to dance together in our childhood, so
I think you’ll be my best partner. The event will be held on Dec 20, so then
you have much time to think and prepare everything. I really need your fast
response. You won’t let me down, will you? ;)
20 Desember?? Aku tersentak. Itu artinya
besok! Segera aku beralih dengan surel-surelnya yang lain. Ketika kubaca, lima
suratnya yang lain isinya hampir sama, menanyakan kesediaanku. Yang membuatku
terpaku adalah tiga e-mail terakhirnya.
date: Thu,
Dec 1, 2011 at 8:34 PM
subject:
a late invitation?
mailed-by:
hotmail.com
Assalamualaikum Aisha, I
don’t understand why don’t you reply my 6 last letters? Are you so busy? I have
enrolled myself in the event, and kept wishing that you will reply my e-mail
soon, telling me that you’re willing to be my partner. You know? If you keep
not to reply my e-mail, my friend, Lidya, who really wants to be my partner,
will really be my partner. I don’t really like that idea actually. So please,
reply!
Aku menahan napas dan membuka dua e-mail
terakhirnya.
date: Thu,
Dec 8, 2011 at 9:55 PM
subject:
Reply… reply… reply… please!
mailed-by:
hotmail.com
Assalamualaikum Aisha. I
finally say yes to Lidya. She was so happy. But not what happened with me. I
really… for the truth… feel disappointed. But I also said to Lidya that you can
reply my e-mail and say yes anytime. ANYTIME. Although it will be the day
before. Actually, I also really miss you. By saying yes, we can meet each
other! You can have vacation for a while. I will pay for the ticket, don’t
worry. So just say yes, please. Please….
Aku menatap nanar layar laptopku. Bimbang. Aku
takut membuka e-mail terakhir dari Adi yang tidak menuliskan subject apapun. Tapi aku tahu ini pasti
akan menjadi sangat penting. Ku arahkan kursor dan meng-klik Read.
•∞•∞•
No comments:
Post a Comment