Hehehehehe, gue nggak tahu ini bagus atau nggak untuk dilanjutkan, tapi gue menguatkan hati gue untuk mengakhiri apa yang sudah gue mulai (/). Dan tentunya akan gue akhiri dengan baik dan sempurna. Just enjoy it!!! ^^
Setelah mendapat persetujuan dari Ayah, semuanya menjadi mudah. Ayah akhirnya berhasil mendapatkan satu kursi untukku berangkat ke Jogja malam ini juga. Sebelum berangkat, aku pamit pada Via kecil.
Setelah mendapat persetujuan dari Ayah, semuanya menjadi mudah. Ayah akhirnya berhasil mendapatkan satu kursi untukku berangkat ke Jogja malam ini juga. Sebelum berangkat, aku pamit pada Via kecil.
“Kakak mau ke
mana?” Via yang mulai memanggil Yusuf dan aku dengan sebutan kakak bertanya
dengan nada sendu.
“Kakak mau ke
Jogja, cuma sebentar kok sayang.”
“Jangan
lama-lama yaa….”
“Iyaaa….” Aku
tertawa mendengar kata-katanya. Kukecup keningnya, kemudian kupeluk Via, ayah
dan Yusuf.
“Hati-hati ya kak.”
“Iya.”
“Jangan lupa
makan ya sayang.”
“Iya pa. Yauda
Aisha berangkat ya? Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Aku melangkah
dengan bersemangat masuk ke dalam taksi. Kulambaikan tanganku pada keluarga
kecilku itu. Padahal aku hanya pergi ke Jogja. Tapi, ini adalah pertama kalinya
aku pergi tanpa didampingi siapapun. Mungkin itu yang membuat mereka sedikit
khawatir.
Ya, bagaimana
pun, Adi dan kompetisi menari itu sudah menungguku… di Jogja!
•∞•∞•
Pkl.
20.00, 19 Desember 2011.
Kuhirup
udara malam Jogja. Rasanya beberapa jam yang lalu aku masih menghirup udara
malam yang pengap dan bau. Tapi di sini… semuanya berbeda! Udaranya, langitnya.
Aku keluar
mencari-cari sosok Adi yang akan datang menjemputku. Aku masih ingat sosoknya
beberapa tahun yang lalu sebelum ia pindah ke Jogja dan kami masih sering
berdansa dan menari bersama. Kulit putih, jangkung, kurus. Kami memang sering
bertukar foto, tapi dalam bayanganku ia tidak akan menjadi terlalu jauh dari
sosoknya yang dulu.
Pandanganku
berputar-putar mencari Adi. Tiba-tiba… BRUK!
Aku hampir
jatuh tersungkur. Tas tanganku terlepas dari genggamanku. Sesuatu yang berat
menabrakku dari belakang. Ketika kulihat, ternyata seorang pemuda ceroboh yang
sedang berlari dikejar beberapa petugas keamanan. Refleks, kupegangi tangannya
sambil bertanya, “maling ya?”
Ia
menggeleng, “bukan. Tolong lepas tangan saya, ini hanya salah paham. Tolong.”
Melihat
tatapannya yang mengiba, kulepaskan tangannya. Ia segera berlari keluar
bandara. Aneh sekali…. Rasanya….
“Mbak!
Kenapa dilepas? Dia itu teroris!” salah satu dari petugas keamanan yang
mengejarnya menghardikku kasar, lalu berlari kembali mengejar pemuda itu.
“Hah???”
aku kaget sampai hampir pingsan. Teroris? Di Jogja? Aku yang masih jatuh
terduduk tak mampu lagi berdiri hingga ada seorang wanita muda yang mencoba
membantuku berdiri.
“Mbak
tidak kenapa-kenapa kan?”
“Iya, saya
baik-baik saja, terimakasih.”
Kupungut
tasku yang berisi baju yang tadi terjatuh dan kucari tempat duduk agar aku bisa
sedikit tenang. Baru beberapa menit di tempat orang aku sudah membuat masalah.
Kucari handphone-ku, berniat untuk
mengabari Ayah tentang kejadian yang baru saja terjadi. Tapi kuurungkan niatku.
Tidak perlu membuat seisi rumah khawatir malam-malam begini.
Maka
kuputuskan untuk menghubungi Adi. Tapi ternyata Adi lebih cepat, ia meneleponku
terlebih dahulu.
“Hallo
Assalamualaikum Aisha, kamu di mana?” kudengar suaranya yang khawatir di sana
hampir berteriak.
“Waalaikumsalam
Adi, calm down, tenang! Aku sedang duduk, aku sudah di luar bandara. Kamu cepat
ke sini ya!”
“Tidak
bisa… kamu saja ke sini.” Iya menyebutkan nama restoran terkenal yang berada
dekat dengan bandara. Segera kucari taksi untuk menuju ke sana.
“Kenapa
aku yang harus ke sana sih? Harusnya kan kamu yang jemput aku.”
“Iya maaf,
aku sedang ada urusan. Maaf yaa….”
“Urusan
apa? Seperti orang kantoran saja. Yasudah ini aku dalam perjalanan ke sana.”
“Iya…
kutunggu ya!”
Kututup
teleponnya. Beberapa menit lagi aku akan bertemu dengan sahabat lamaku! Aku
tidak sabar rasanya!
Tiba-tiba
aku teringat dengan pemuda teroris tadi. Padahal dia tidak ada tampang teroris.
Dandanannya a la anak jaman sekarang, modis. Wajahnya juga… kalau
diingat-ingat, lumayan. Bagaimana bisa dia itu teroris? Tapi ya sudahlah,
Alhamdulillah aku selamat. Pernah kudengar teroris-teroris yang nekat
menyandera seseorang dan membunuh sanderanya hanya untuk selamat dari kejaran
polisi. Hiiii ngeri.
Taksi
berhenti di depan sebuah restoran mewah nan asri. Kawasan Jogjakarta memang
tidak ada duanya. Aku langsung masuk ke dalam, mencari sosok lelaki kurus,
tinggi dan semampai itu.
•∞•∞•
No comments:
Post a Comment