Friday, January 24, 2014

HP 1 - Bab 5 Diagon Alley


BAB 5
Diagon Alley

KEESOKAN harinya, pagi-pagi Harry sudah terbangun. Meskipun dia tahu hari sudah pagi, dipejamkannya matanya rapat-rapat.
"Aku mimpi," katanya kepada diri sendiri. "Aku mimpi raksasa bernama Hagrid datang memberitahuku bahwa aku akan masuk sekolah sihir. Kalau kubuka mataku, aku akan berada di rumah dalam lemariku."
Tiba-tiba terdengar ketukan keras.
Nah, ini dia Bibi Petunia mengetuk pintu, pikir Harry dengan kecewa. Tetapi dia tetap tidak membuka mata. Mimpinya indah sekali.
Tok. Tok. Tok.

"Ya," gumam Harry. "Aku bangun."
Dia duduk dan mantel berat Hagrid merosot dari tubuhnya. Gubuk dipenuhi sinar matahari. Badai telah berlalu. Hagrid sendiri tertidur di sofa yang melesak dan ada burung hantu mengetuk-ngetukkan cakarnya di jendela, paruhnya menggigit koran.
Harry terhuyung berdiri. Dia senang sekali, seakan ada balon besar melembung di dalam tubuhnya. Dia langsung ke jendela dan mengentaknya hingga terbuka. Burung hantu itu meluncur masuk dan menjatuhkan koran ke atas Hagrid, yang tidak terbangun. Si burung hantu kemudian terbang ke lantai dan mulai menyerang mantel Hagrid.
"Jangan."
Harry berusaha menyingkirkan si burung hantu, tetapi burung itu mengatupkan paruhnya dengan galak ke arahnya dan terus saja menyerang mantel itu.
"Hagrid!" kata Harry keras-keras. "Ada burung hantu…"
"Bayar dia," Hagrid bergumam ke sofa.
"Apa?"
"Dia minta dibayar karena antar koran. Cari dalam saku.
Mantel Hagrid kelihatannya terbuat dari hanya saku-saku saja—bergebung-gebung kunci, peluru-peluru gotri, bergulung-gulung tali, permen, kantong-kantong teh… akhirnya Harry menarik keluar segenggam koin yang tampaknya aneh.
"Beri dia lima Knut," kata Hagrid mengantuk.
"Knut?"
"Koin perunggu kecil."
Harry menghitung lima koin perunggu kecil dan si burung hantu mengulurkan kakinya, supaya Harry bisa memasukkan uangnya ke dalam kantong kulit kecil yang terikat di kaki itu. Kemudian dia terbang keluar lewat jendela yang terbuka.
Hagrid menguap keras-keras, duduk, dan menggeliat.
"Lebih baik berangkat sekarang, Harry, kita harus ke London dan beli semua keperluan sekolahmu."
Harry sedang membalik-balik koin penyihir dan memandangnya. Dia baru saja teringat sesuatu yang membuat balon kebahagiaan di dalam tubuhnya bocor.
"Um—Hagrid?"
"Mm?" kata Hagrid, yang sedang menarik bot raksasanya.
"Aku tak punya uang—dan kau sudah mendengar apa kata Paman Vernon semalam—dia tak mau membayariku belajar sihir."
"Jangan khawatir soal itu," kata Hagrid, seraya berdiri dan menggaruk kepalanya. "Apa kaupikir orangtuamu tidak tinggalkan sesuatu untukmu?"
"Tetapi kalau rumah mereka hancur…"
"Mereka tidak simpan uang mereka di rumah, Nak! Nah, pertama-tama kita ke Gringotts. Bank penyihir. Makan sosis dulu. Dingin enak juga—dan aku juga tidak tolak sepotong kue ulang tahunmu."
"Penyihir punya bank?"
"Cuma satu. Gringotts. Yang menjalankan goblin, hantu kecil bertampang seram."
Sosis yang dipegang Harry sampai terjatuh.
"Goblin?"
"Yeah—jadi kau gila kalau coba merampoknya, kuberitahu kau. Jangan main-main dengan goblin, Harry. Gringotts tempat paling aman di dunia, kalau kau mau simpan sesuatu—bandingannya mungkin cuma Hogwarts. Aku kebetulan harus ke Gringotts. Untuk Dumbledore. Urusan Hogwarts." Hagrid menegapkan diri dengan bangga. "Dia biasa suruh aku lakukan hal-hal penting untuknya. Jemput kau—ambil sesuatu dari Gringotts—tahu dia, bisa percayai aku."
"Semua siap? Ayo kita berangkat."
Harry mengikuti Hagrid keluar, menuju karang. Langit cukup cerah sekarang dan laut berkilau ditimpa cahaya matahari. Perahu yang disewa Paman Vernon masih ada, dengan banyak air di dasarnya.
"Bagaimana kau datang kemari?" Harry bertanya, mencari-cari perahu lain.
"Terbang," jawab Hagrid.
"Terbang?"
"Yeah—tapi kita harus kembali dengan ini. Tak boleh gunakan sihir setelah aku bersamamu."
Mereka duduk di perahu. Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang.
"Repot kalau harus mendayung," kata Hagrid, lagi-lagi melirik Harry. "Kalau aku mau—ehm—percepat sedikit perjalanan kita, kau keberatan kalau kuminta jangan bilang-bilang di Hogwarts?"
"Tentu saja tidak," kata Harry, yang ingin sekali melihat lebih banyak ilmu sihir. Hagrid menarik keluar lagi payung merah jambunya, mengetukkannya dua kali di sisi perahu, dan mereka meluncur menuju daratan.
"Kenapa kita gila kalau mau mencoba merampok Gringotts?" tanya Harry.
"Mantra-mantra—jampi-jampi," kata Hagrid, seraya membuka korannya. "Katanya ruangan-ruangan besinya dijaga naga-naga. Lagi pula, kau akan susah cari jalan keluar. Gringotts letaknya beratus-ratus kilo di bawah London. Jauh di bawah stasiun kereta bawah tanah. Sebelum bisa keluar, kau sudah keburu mati kelaparan duluan, walaupun kau berhasil dapat sesuatu."
Harry duduk diam memikirkan ini, sementara Hagrid membaca korannya, Daily Prophet—Harian Peramal. Harry sudah tahu dari Paman Vernon bahwa orang lebih suka tidak diganggu kalau sedang baca koran, tetapi susah sekali. Seumur hidup belum pernah dia punya pertanyaan sebanyak ini.
"Kementerian Sihir bikin kacau-balau, seperti biasanya," gumam Hagrid sambil membalik halaman korannya.
"Ada Kementerian Sihir?" tanya Harry tanpa bisa menahan diri.
"Tentu saja," kata Hagrid. "Mereka inginkan Dumbledore menjadi Menteri, tentu saja, tetapi dia tidak mau tinggalkan Hogwarts, jadi si Cornelius Fudge yang dapat jabatan ini. Ceroboh dan bego. Dia kirim burung hantu ke Dumbledore tiap hari, minta nasihat."
"Tapi apa yang dilakukan Kementerian Sihir?"
"Yah, tugas utamanya adalah menjaga jangan sampai Muggle tahu ada banyak penyihir di negeri ini."
"Kenapa?"
"Kenapa? Astaga, Harry, semua orang akan inginkan pemecahan masalah mereka secara gaib. Nah, kan lebih baik kita tidak diganggu."
Saat itu perahu pelan membentur tembok pelabuhan. Hagrid melipat korannya dan mereka berdua menaiki undakan batu menuju ke jalan.
Orang-orang yang berpapasan dengan mereka sepanjang jalan menuju stasiun kota kecil itu memandang Hagrid dengan keheranan. Harry tidak menyalahkan mereka. Hagrid bukan hanya dua kali lebih tinggi dari manusia normal, dia juga terus-menerus menunjuk-nunjuk hal biasa seperti meteran di tempat parkir dan berkata keras, "Lihat itu, Harry? Benda-benda yang dicari-cari Muggle, eh?"
"Hagrid," kata Harry, agak terengah-engah karena berlari agar tidak ketinggalan, "tadi kaubilang ada naga di Gringotts?"
"Katanya sih begitu," kata Hagrid. "Wah, aku ingin sekali punya naga."
"Kau ingin punya naga?"
"Dari kecil sudah kepingin—nah, kita sampai."
Mereka telah tiba di stasiun. Ada kereta ke London yang berangkat lima menit lagi. Hagrid, yang tidak memahami "uang Muggle", menyerahkan uangnya ke Harry supaya dia bisa membeli karcisnya.
Di atas kereta, orang-orang memandang dengan lebih heran lagi. Hagrid duduk di dua kursi dan merajut sesuatu yang kelihatannya seperti tenda sirkus warna kuning kenari.
"Suratmu masih ada, Harry?" tanyanya sambil terus merajut.
Harry mengeluarkan amplop perkamen dari dalam kantongnya.
"Bagus," kata Hagrid. "Di situ ada daftar semua keperluanmu."
Harry membuka lipatan kertas satu lagi yang semalam tidak diperhatikannya dan membaca:
SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

Seragam
Siswa kelas satu memerlukan:
Tiga setel jubah kerja sederhana (hitam)
Satu topi berujung runcing (hitam) untuk dipakai setiap hari
Sepasang sarung tangan pelindung (dari kulit naga atau sejenisnya)
Satu mantel musim dingin (hitam, kancing perak)

Tolong diperhatikan bahwa semua pakaian siswa harus ada label namanya.

Buku
Semua siswa harus memiliki buku-buku berikut:
Kitab Mantra Standar (Tingkat 1) oleh Miranda Goshawk
Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot
Teori Ilmu Gaib oleh Adalbert Waffling
Pengantar Transfigurasi bagi Pemula oleh Emeric Switch
Seribu Satu Tanaman dan Jamur Gaib oleh Phyllida Spore
Cairan dan Ramuan Ajaib oleh Arsenius Jigger
Hewan-hewan Fantastis dan di Mana Mereka Bisa Ditemukan oleh Newt Scamander
Kekuatan Gelap: Penuntun Perlindungan Diri oleh Quentin Trimble

Peralatan lain
1 tongkat
1 kuali (bahan campuran timah putih-timah hitam, ukuran standar 2)
1 set tabung kaca atau Kristal
1 teleskop
1 set timbangan kuningan

Siswa diizinkan membawa burung hantu ATAU kucing ATAU kodok
ORANGTUA DIINGATKAN BAHWA SISWA KELAS SATU BELUM BOLEH MEMILIKI SAPU SENDIRI

"Apa semua ini bisa dibeli di London?" tanya Harry keheranan.
"Kalau kau tahu belinya di mana," jawab Hagrid.
* * *
Harry belum pernah ke London. Meskipun Hagrid tampaknya tahu ke mana dia akan pergi, jelas bahwa dia tidak terbiasa menuju ke sana dengan cara biasa. Dia tersangkut pembatas tempat pembelian karcis bawah tanah dan mengeluh keras-keras bahwa tempat duduknya terlalu sempit dan keretanya terlalu lambat.
"Aku tak mengerti bagaimana Muggle bisa bertahan tanpa kekuatan sihir," katanya, sementara mereka menuruni escalator macet menuju jalan ramai yang di kanan-kirinya dipenuhi deretan toko.
Hagrid besar sekali sehingga dengan mudah dia menyibakkan orang-orang yang lewat. Harry tinggal berjalan merapat kepadanya saja. Mereka melewati toko-toko buku dan toko-toko musik, restoran hamburger dan gedung bioskop, tapi kelihatannya tak ada yang menjual tongkat ajaib. Ini cuma jalan biasa, penuh orang-orang biasa pula. Mungkinkah benar-benar ada gundukan emas penyihir terkubur berkilo-kilometer di bawah mereka? Betulkah ada toko yang menjual buku mantra dan sapu terbang? Jangan-jangan semua ini cuma lelucon besar buatan keluarga Dursley. Kalau Harry tidak tahu bahwa keluarga Dursley tak punya rasa humor, dia pasti sudah mengira begitu. Bagaimanapun juga, kendati semua yang dikatakan Hagrid sejauh ini memang tidak masuk akal, Harry toh mempercayainya.
"Ini dia," kata Hagrid berhenti, "Leaky Cauldron—Kuali Bocor. Ini tempat terkenal."
Tempat itu tempat minum kecil dan kotor. Jika Hagrid tidak menunjuknya, Harry tidak akan melihatnya. Orang-orang yang melewatinya sama sekali tidak meliriknya. Mata mereka bergulir dari toko buku besar di sisi yang satu ke toko musik di sisi lainnya, seakan mereka sama sekali tidak bisa melihat Leaky Cauldron. Sejujurnya, Harry punya perasaan aneh, hanya dia dan Hagrid yang bisa melihatnya. Sebelum dia bisa mengutarakan ini, Hagrid sudah mendorongnya masuk.
Untuk tempat terkenal, tempat ini sangat gelap dan kumuh. Beberapa wanita tua duduk di sudut, minum sherry dalam gelas-gelas kecil. Salah satu di antara mereka mengisap pipa panjang. Seorang pria kecil memakai topi tinggi dari sutra hitam sedang bicara dengan pelayan bar yang sudah tua dan botak, dan kepalanya kelihatan seperti kenari dari permen karet. Dengung obrolan pelan berhenti ketika mereka melangkah masuk. Semua orang kelihatannya kenal Hagrid. Mereka melambai dan tersenyum kepadanya, dan pelayan bar meraih gelas, seraya berkata, "Biasa, Hagrid?"
"Tidak bisa, Tom. Sedang ada urusan Hogwarts," kata Hagrid, sambil menepukkan tangannya yang besar ke bahu Harry dan membuat lutut Harry tertekuk.
"Astaga," celetuk pelayan bar, memandang Harry. "Apakah ini… mungkinkah ini…?"
Leaky Cauldron mendadak sunyi senyap.
"Beruntungnya aku," bisik pak tua pelayan bar. "Harry Potter—sungguh kehormatan besar.”
Dia bergegas keluar dari balik meja barnya, buru-buru mendekati Harry dan meraih tangannya, dengan air mata bercucuran.
"Selamat datang kembali, Mr Potter, selamat datang kembali."
Harry tidak tahu harus bilang apa. Semua orang memandangnya. Si wanita tua yang mengisap pipa terus mengisapnya, tanpa menyadari apinya sudah padam. Hagrid berseri-seri.
Kemudian terdengar derit-derit kursi yang digeser dan saat berikutnya Harry sudah bersalaman dengan semua orang yang ada di Leaky Cauldron.
"Doris Crockford, Mr Potter. Saya tak percaya akhirnya bisa bertemu Anda."
"Sungguh bangga, Mr Potter, saya sungguh bangga."
"Dari dulu sudah ingin menjabat tangan Anda—saya jadi salah tingkah."
"Senang sekali, Mr Potter, tak bisa terkatakan. Diggle nama saya. Dedalus Diggle."
"Saya pernah melihat Anda sebelumnya," kata Harry, bersamaan dengan jatuhnya topi tinggi Dedalus Diggle saking bersemangatnya dia. "Anda pernah membungkuk pada saya di toko."
"Dia ingat!" pekik Dedalus Diggle, seraya memandang berkeliling. "Kalian dengar itu? Dia ingat aku!"
Harry berjabat tangan tak henti-hentinya—Doris Crockford bolak-balik ingin berjabat tangan dengannya lagi.
Seorang pemuda berwajah pucat maju, sangat tegang. Sebelah matanya berkedut-kedut.
"Profesor Quirrell!" sapa Hagrid. "Harry, Profesor Quirrell akan jadi salah satu gurumu di Hogwarts."
"P-p-potter," Profesor Quirrell berkata gagap, seraya menjabat tangan Harry, "t-t-tak b-b-bisa kukatakan b-b-betapa senangnya aku b-b-bertemu denganmu."
"Ilmu gaib apa yang Anda ajarkan, Profesor Quirrell?"
"P-p-pertahanan t-t-terhadap Ilmu Hitam," gumam Profesor Quirrell, seakan dia lebih suka tidak membicarakan itu. "K-kau sih sebetulnya t-t-tidak perlu, eh, P-p-potter?" Dia tertawa gugup. "K-kau akan mem-membeli perlengkapanmu, kan? Aku sendiri harus mem-membeli buku tentang vampir." Dia kelihatannya ngeri sendiri.
Tetapi yang lain tidak membiarkan Harry dikuasai Profesor Quirrell sendiri. Perlu hampir sepuluh menit untuk melepaskan diri dari mereka. Akhirnya Hagrid berhasil membuat suaranya mengalahkan keributan mereka.
"Harus pergi—banyak yang harus dibeli. Ayo, Harry."
Doris Crockford menjabat tangan Harry untuk terakhir kali, dan Hagrid mengajaknya keluar melewati bar, menuju halaman kecil yang dikelilingi tembok. Tak ada apa-apa di halaman itu kecuali sebuah tempat sampah dan ilalang.
Hagrid menyeringai kepada Harry.
"Apa kataku! Aku sudah bilang, kan, kau ini terkenal. Bahkan Profesor Quirrell pun gemetar ketemu kau—tapi dia memang selalu gemetar."
"Apa dia selalu gugup begitu?"
"Oh, yeah. Kasihan. Otaknya brilian. Dulunya sih baik-baik saja waktu masih belajar dari buku, tapi kemudian dia cuti setahun mau alami sendiri… Orang bilang dia ketemu vampir di Black Forest dan sempat ribut dengan nenek sihir jahat—sejak itu dia berubah. Takut pada muridnya, takut pada mata pelajaran yang diajarkannya—eh, mana payungku?"
Vampir? Nenek sihir jahat? Kepala Harry serasa berputar. Hagrid, sementara itu, menghitung batu bata pada tembok di atas tempat sampah.
"Ke atas tiga… ke samping dua…," dia bergumam. "Ini dia. Mundur, Harry."
Dia mengetuk tembok tiga kali dengan ujung payungnya.
Batu bata yang disentuhnya bergetar—meliuk malah—di tengahnya, muncul lubang kecil—makin lama makin besar—sedetik kemudian mereka sudah berhadapan dengan gerbang yang bahkan cukup besar untuk Hagrid. Gerbang masuk ke jalan berbatu yang berkelok-kelok dan membelok lenyap dari pandangan.
"Selamat datang," kata Hagrid, "di Diagon Alley."
Dia menyeringai melihat Harry terpana. Mereka melangkahi gerbang. Harry cepat-cepat menoleh dan melihat gerbang terbuka itu langsung menyusut kembali menjadi tembok padat.
Matahari bersinar cerah, sinarnya menimpa setumpuk kuali di depan toko paling dekat. Kuali—Segala Ukuran—Tembaga, Kuningan, Timah putih-Timah hitam, Perak—Mengaduk-Sendiri—Dapat Dilipat, begitu bunyi papan yang tergantung di atasnya.
"Yeah, kau perlu satu," kata Hagrid, "tapi kita harus ambil uangmu dulu."
Harry berharap dia punya delapan mata tambahan. Kepalanya menoleh ke segala jurusan ketika mereka menyusuri jalan itu, mencoba melihat segalanya sekaligus: toko-toko, barang-barang yang terpajang di depannya, orang-orang yang sedang berbelanja. Seorang wanita gemuk di depan toko obat sedang menggelengkan kepala ketika mereka lewat, sambil berkata, "Hati naga, tujuh belas Sickle per ons, gila mereka…"
Dekut uhu-uhu pelan terdengar dari toko gelap dengan tulisan berbunyi Toko Burung Hantu Serbaada Eeylops—Kuning-kecokelatan, Pekikan-keras, Burung Hantu Serak, Cokelat, dan Putih Bersih. Beberapa anak laki-laki seumur Harry menempelkan hidung di kaca etalase toko sapu. "Lihat," Harry mendengar salah satu dari mereka berkata, "Nimbus Dua Ribu yang baru—yang paling cepat…" Ada toko-toko yang menjual jubah, toko-toko yang menjual teleskop, dan peralatan perak aneh-aneh yang tak pernah dilihat Harry sebelumnya, etalase yang memajang tong-tong berisi limpa kelelawar dan mata belut, tumpukan buku-buku mantra dan bergulung-gulung perkamen, botol-botol ramuan, globe bulan…
"Gringotts," kata Hagrid.
Mereka telah tiba di depan bangunan putih-bersih yang menjulang di antara toko-toko kecil yang lain. Di sebelah pintu perunggu mengilap berdiri tegak makhluk berseragam merah dan emas.
"Yeah, itu goblin," kata Hagrid pelan sementara mereka mendaki undakan batu putih menuju ke tempatnya. Si goblin kira-kira sekepala lebih rendah dari Harry. Wajahnya yang hitam tampak cerdas, dengan janggut runcing dan, Harry memperhatikan, jari-jari tangan dan kaki yang panjang. Dia membungkuk ketika mereka masuk. Sekarang mereka menghadapi sepasang pintu kedua, yang ini perak, dengan kata-kata berikut terpahat di atasnya:
Masuklah, orang asing, tetapi berhati-hatilah
Terhadap dosa yang harus ditanggung orang serakah,
Karena mereka yang mengambil apa-apa yang bukan haknya,
Harus membayar semahal-mahalnya,
Jadi jika kau mencari di bawah lantai kami
Harta yang tak berhak kaumiliki,
Pencuri, kau telah diperingatkan,
Bukan harta yang kaudapat, melainkan ganjaran.

"Seperti sudah kubilang, gila kau kalau berani merampok di sini," kata Hagrid.
Sepasang goblin membungkuk ketika mereka memasuki pintu perak, dan mereka berada di aula pualam besar. Kira-kira lebih dari seratus goblin duduk di atas bangku tinggi di belakang meja panjang, sibuk menulis di buku kas besar, menimbang koin di timbangan kuningan, memeriksa batu-batu mulia dengan kaca pembesar. Ada terlalu banyak pintu keluar dari aula itu hingga tak bisa dihitung, tapi ada lebih banyak lagi goblin yang mengantar orang-orang keluar masuk pintu-pintu ini. Hagrid dan Harry menuju meja.
"Pagi," kata Hagrid kepada goblin yang sedang kosong. "Kami datang untuk ambil uang dari lemari besi Mr Harry Potter."
"Punya kuncinya, Sir?"
"Ada," kata Hagrid dan dia mulai mengeluarkan isi saku-sakunya di atas meja. Beberapa biskuit-anjing yang sudah bulukan tertebar di atas buku kas si goblin, membuat si goblin mengernyitkan hidung. Harry melihat goblin di sebelah kanannya sedang menimbang setumpuk batu mirah besar-besar, sebesar batu bara yang menyala.
"Ini dia," kata Hagrid akhirnya, seraya mengacungkan kunci emas kecil mungil.
Si goblin memeriksanya dengan teliti.
"Kelihatannya oke."
"Dan aku juga bawa surat dari Profesor Dumbledore," kata Hagrid sok penting sambil membusungkan dada. "Ini tentang Kau-Tahu-Apa di ruangan tujuh ratus tiga belas."
Si goblin membaca surat itu dengan cermat.
"Baiklah," katanya, mengembalikan surat itu kepada Hagrid. "Akan kusuruh petugas mengantar Anda berdua ke kedua tempat simpanan itu. Griphook!"
Griphook adalah nama goblin lain. Begitu Hagrid selesai menjejalkan biskuit-anjingnya ke dalam sakunya kembali, dia dan Harry mengikuti Griphook menuju salah satu pintu ke luar aula.
"Apa sih Kau-Tahu-Apa di ruang tujuh ratus tiga belas itu?" tanya Harry.
"Tak bisa kuberitahu," jawab Hagrid misterius. "Sangat rahasia. Urusan Hogwarts. Dumbledore percayai aku. Bisa dikeluarkan dari pekerjaanku kalau aku beritahu kau."
Griphook membukakan pintu untuk mereka. Harry, yang mengharapkan ruangan pualam lagi, tercengang. Mereka berada di lorong batu sempit yang diterangi cahaya obor-obor. Lorong itu menurun curam dan ada bekas rel kecil di lantainya. Griphook bersiul, lalu muncul kereta kecil yang meluncur ke arah mereka. Mereka naik—Hagrid dengan susah payah—dan kereta pun berangkat.
Awalnya mereka cuma berbelok-belok melewati lorong berbelit-belit. Harry mencoba mengingat, kiri, kanan, kanan, kiri, garpu tengah, kanan, kiri, tapi tak mungkin. Kereta yang berderak-derak itu kelihatannya tahu sendiri jalannya, sebab Griphook tidak mengemudikannya.
Mata Harry pedas diterpa udara dingin, tetapi dia tetap membukanya lebar-lebar. Sekali dia merasa melihat semburan api di ujung lorong dan membalik untuk melihat apakah itu naga, tetapi terlambat—mereka meluncur turun semakin dalam, melewati danau bawah tanah dengan stalaktit dan stalagmit besar-besar bermunculan dari atap dan dasarnya.
"Aku tak pernah tahu," Harry berteriak kepada Hagrid mengatasi bunyi kereta, "apa sih bedanya stalagmit dan stalaktit?"
"Stalagmit pakai ‘m’," kata Hagrid. "Dan jangan tanya-tanya aku dulu. Aku pusing, mau muntah."
Wajahnya memang tampak sangat pucat, dan ketika kereta akhirnya berhenti di sebelah pintu kecil di dinding lorong, Hagrid turun dan harus bersandar di dinding, menunggu lututnya berhenti gemetar.
Griphook membuka kunci pintu. Asap tebal hijau mengepul keluar, dan setelah asap menipis, Harry ternganga. Di dalam ruangan tampak gundukan-gundukan uang emas. Tumpukan uang perak. Timbunan Knut perunggu kecil-kecil.
"Semua milikmu," Hagrid tersenyum.
Semua milik Harry—bukan main. Keluarga Dursley pastilah tidak tahu tentang ini, kalau tidak pasti sudah mereka rebut dalam sekejap. Betapa seringnya mereka mengeluhkan besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk membesarkan Harry. Padahal selama ini ada harta begitu banyak miliknya, terkubur dalam-dalam di bawah kota London.
Hagrid membantu Harry memasukkan uang ke dalam tas.
"Yang emas ini Galleon," dia menjelaskan. "Tujuh belas Sickle perak sama dengan satu Galleon, dan dua puluh sembilan Knut sama dengan satu Sickle. Gampang, kan. Sudah, ini sudah cukup untuk dua semester, sisanya biar aman di sini." Dia menoleh pada Griphook. "Ruang tujuh ratus tiga belas sekarang, dan bisa tidak keretanya lebih pelan sedikit?"
"Cuma satu kecepatan," kata Griphook.
Mereka masuk semakin dalam sekarang, dan semakin cepat. Udara semakin lama semakin dingin ketika mereka membelok di tikungan-tikungan tajam. Mereka melewati jurang bawah tanah dan Harry membungkuk di tepi kereta untuk melihat apa yang ada di dasarnya yang gelap, tetapi Hagrid menggeram dan menarik tengkuknya masuk kereta.
Ruang besi tujuh ratus tiga belas tidak ada lubang kuncinya.
"Mundur," kata Griphook sok penting. Dia membelai lembut pintunya dengan satu jarinya dan pintu itu meleleh begitu saja.
"Kalau orang lain—bukan goblin Gringotts—yang melakukan itu, mereka akan tersedot lewat pintu dan terperangkap di dalam," kata Griphook.
"Berapa sering kau mengecek kalau-kalau ada orang terperangkap di dalam?" tanya Harry.
"Kira-kira sekali dalam sepuluh tahun," kata Griphook, dengan seringai agak menyebalkan.
Sesuatu yang betul-betul luar biasa pastilah ada dalam ruang besi dengan pengamanan istimewa ini. Harry yakin, maka dia melongok dengan penuh semangat, berharap melihat permata-permata hebat, paling tidak. Tetapi awalnya dia mengira ruangan itu kosong. Kemudian dilihatnya bungkusan kertas cokelat kecil kumal tergeletak di lantai. Hagrid memungutnya dan memasukkannya hati-hati ke dalam mantelnya. Harry ingin sekali tahu apa isi bungkusan itu, tetapi dia tahu sebaiknya tidak bertanya.
"Ayo, naik kereta celaka ini lagi, dan jangan bicara padaku dalam perjalanan pulang. Paling baik aku tutup mulut," kata Hagrid
* * *
Setelah perjalanan naik kereta gila-gilaan, mereka berdiri kesilauan dalam cahaya matahari di luar Gringotts. Harry tak tahu harus ke mana dulu sekarang setelah dia punya satu tas penuh uang. Dia tak perlu tahu berapa Galleon senilai dengan satu pound untuk mengetahui bahwa dia sedang memegang lebih banyak uang daripada yang pernah dimilikinya selama hidupnya—bahkan lebih banyak daripada yang dimiliki Dudley.
"Lebih baik beli seragammu dulu," kata Hagrid, seraya mengangguk ke arah Jubah untuk Segala Kesempatan Kreasi Madam Malkin. "Eh, Harry, kau keberatan tidak kalau aku pergi sebentar ke Leaky Cauldron untuk beli minuman? Aku benci kereta Gringotts." Dia masih kelihatan sedikit pucat, maka Harry masuk ke toko Madam Malkin sendirian, merasa gugup.
Madam Malkin adalah penyihir bertubuh pendek gemuk, penuh senyum, berpakaian serba-lembayung muda.
"Hogwarts, Nak?" katanya, ketika Harry baru mau bicara. "Banyak yang ke sini—sekarang malah ada satu yang sedang ngepas."
Di bagian belakang toko, seorang anak laki-laki dengan wajah runcing pucat berdiri di atas bangku pendek kecil, sementara ada penyihir kedua yang melipat jubah hitam panjangnya dan menyematnya dengan jarum pentul. Madam Malkin, menyuruh Harry berdiri di atas bangku di sebelahnya, memasukkan jubah panjang melewati kepalanya, dan mulai menyematnya sampai panjangnya pas.
"Halo," sapa si anak laki-laki. "Hogwarts juga?"
"Ya," jawab Harry.
"Ayahku di sebelah, membelikan bukuku, dan ibuku di toko lain mencari tongkat," kata anak itu. Suaranya membosankan dan seperti dipanjang-panjangkan. "Sesudah itu nanti aku akan menarik mereka melihat sapu balap. Aku tak mengerti kenapa anak-anak kelas satu tidak boleh punya sapu sendiri. Kurasa aku akan memaksa Ayah supaya membelikan aku sapu dan akan kuselundupkan."
Harry jadi langsung ingat Dudley.
"Apa kau sudah punya sapu?" si anak melanjutkan.
"Belum," jawab Harry.
"Main Quidditch?"
"Tidak," kata Harry lagi, sementara dalam hati bertanya-tanya sendiri, apa gerangan Quidditch itu.
"Aku sih main—Ayah bilang kelewatan kalau aku tidak terpilih dalam tim asramaku, dan harus kukatakan, aku sepakat. Sudah tahu kau akan di rumah mana?"
"Tidak," jawab Harry, yang makin lama merasa semakin bodoh.
"Yah, memang tak ada yang tahu sampai mereka tiba di sana, kan, tapi aku tahu aku akan masuk ke Slytherin, semua keluarga kami di sana—bayangkan kalau sampai di Hufflepuff. Kurasa aku akan pindah, iya, kan?"
"Mmm," jawab Harry, yang berharap bisa mengatakan sesuatu yang lebih menarik.
"Eh, lihat orang itu," kata anak itu tiba-tiba, mengangguk ke arah jendela depan. Hagrid berdiri di sana, menyeringai kepada Harry dan menunjuk dua es krim besar untuk memberitahukan itulah sebabnya dia tak bisa masuk.
"Itu Hagrid," kata Harry, senang mengetahui sesuatu yang tidak diketahui anak itu. "Dia bekerja di Hogwarts."
"Oh," kata anak itu. "Aku sudah dengar tentang dia. Dia semacam pelayan, kan?"
"Dia pengawas binatang liar," kata Harry. Makin lama dia semakin tidak menyukai anak itu.
"Ya, itulah. Kudengar dia semacam orang liar—tinggal di gubuk di halaman sekolah dan dari waktu ke waktu dia mabuk, mencoba menyihir, tapi hasilnya malah membakar tempat tidurnya sendiri."
"Menurut aku dia hebat," kata Harry dingin.
"Begitu?" kata si anak sedikit melecehkan. "Kenapa dia bersamamu? Di mana orangtuamu?"
"Sudah meninggal," kata Harry pendek. Dia tidak ingin membicarakan hal ini dengan anak itu.
"Oh, maaf," kata si anak, tapi kedengarannya tidak menyesal sama sekali. "Tapi mereka bangsa kita, kan?"
"Mereka penyihir, kalau itu maksudmu."
"Menurut aku sih bangsa lain sebaiknya jangan diizinkan bergabung. Iya, kan? Mereka tidak sama, mereka tidak pernah dibesarkan dengan cara-cara kita. Beberapa di antara mereka bahkan tidak pernah mendengar tentang Hogwarts sampai menerima surat. Bayangkan. Menurut aku sih sebaiknya mereka cuma menerima keluarga penyihir saja. Siapa sih nama keluargamu?"
Tetapi sebelum Harry sempat menjawab, Madam Malkin berkata, "Sudah selesai, Nak," dan Harry, yang malah senang bisa menghindari si anak, langsung meloncat turun dari bangku.
"Sampai ketemu di Hogwarts, ya," kata anak itu.
Harry agak diam ketika dia memakan es krim yang dibelikan Hagrid untuknya (cokelat dan rasberi dengan cacahan kacang).
"Ada apa?" tanya Hagrid.
"Tidak ada apa-apa," Harry berbohong. Mereka berhenti untuk membeli perkamen dan pena bulu. Harry agak gembira ketika dia menemukan sebotol tinta yang warnanya berubah ketika dipakai menulis. Ketika mereka telah meninggalkan toko, dia nyeletuk, "Hagrid, Quidditch itu apa sih?"
"Astaga, Harry, aku lupa terus bahwa belum banyak yang kau tahu—bahkan Quidditch pun kau belum tahu!"
"Jangan membuatku merasa lebih parah," kata Harry. Dia memberitahu Hagrid tentang anak pucat di toko Madam Malkin.
"… dan dia bilang orang-orang dari keluarga Muggle seharusnya tidak diterima di…"
"Kau bukan dari keluarga Muggle. Kalau saja dia tahu siapa sebetulnya kau—sejak kecil pastilah dia sudah diberitahu namamu jika orangtuanya memang penyihir—kau sudah lihat sendiri di Leaky Cauldron. Lagi pula, dia tahu apa sih, beberapa dari penyihir terbaik malah orang-orang yang memang diberi bakat sihir tapi berasal dari keluarga Muggle—lihat saja ibumu! Lihat bagaimana kakaknya!"
"Jadi, Quidditch itu apa?"
"Itu olahraga kita. Olahraga penyihir. Semacam—semacam sepak bola kalau di dunia Muggle—semua orang senang nonton Quidditch—dimainkan di udara dengan naik sapu terbang dan ada empat bola—agak susah menjelaskan aturannya."
"Dan apa itu Slytherin dan Hufflepuff?"
"Nama-nama rumah asrama di sekolah. Ada empat. Semua bilang Hufflepuff isinya anak-anak yang canggung, tapi…"
"Kalau begitu pastilah aku masuk Hufflepuff," kata Harry muram.
"Lebih baik Hufflepuff daripada Slytherin," kata Hagrid keras. "Semua penyihir yang jadi jahat dulunya tinggal di Slytherin. Kau-Tahu-Siapa salah satunya."
"Vol—maaf—Kau-Tahu-Siapa dulunya di Hogwarts?"
"Bertahun-tahun yang lalu," kata Hagrid.
Mereka membeli buku-buku Harry di Flourish and Blotts. Di toko buku itu rak-raknya penuh sampai ke langit-langit dengan berbagai buku, dari buku setebal batu bata bersampul kulit sampai buku sebesar prangko dengan sampul sutra; buku-buku dengan gambar aneh-aneh, dan beberapa buku yang sama sekali kosong melompong. Bahkan Dudley, yang sama sekali tak pernah membaca apa-apa, akan senang memiliki beberapa buku yang ada di sini. Hagrid nyaris sampai harus menyeret Harry dari buku Kutukan dan Kontra-Kutukan (Pikat Kawan dan Kutuk Lawan dengan Pembalasan Dendam Mutakhir: Rambut Rontok, Kaki Lemas, Lidah Beku, dan banyak macam lagi) oleh Profesor Vindictus Viridian.
"Aku sedang mencoba mencari cara mengutuk Dudley."
"Aku tidak bilang itu bukan ide yang baik, tapi kau tak boleh gunakan sihir di dunia Muggle, kecuali dalam keadaan sangat istimewa," kata Hagrid. "Lagi pula kau belum bisa gunakan kutukan itu, kau masih perlu belajar banyak sebelum mencapai tingkat itu."
Hagrid juga tidak mengizinkan Harry membeli kuali emas ("menurut daftarmu harus timah campuran,") tetapi mereka mendapat satu set timbangan bagus untuk menimbang bahan-bahan ramuan dan teleskop kuningan yang bisa dilipat. Kemudian mereka ke toko bahan ramuan, yang untungnya cukup menarik, soalnya baunya busuk bukan main, campuran antara telur busuk dan kol busuk. Tong-tong berisi lendir berjajar di lantai, stoples-stoples berisi ramuan, akar-akar kering, dan bubuk berwarna cerah berderet di dinding, bergebung bulu-bulu, untaian taring, dan cakar-cakar melengkung bergantungan dari langit-langit. Sementara Hagrid minta si penjaga toko menyiapkan bahan-bahan dasar ramuan untuk Harry, Harry sendiri sibuk mengamati tanduk perak unicorn yang harganya dua puluh satu Galleon sebuah dan mata kumbang yang hitam kecil-kecil dan berkilat (lima Knut sesendok).
Di luar toko, Hagrid memeriksa daftar Harry lagi.
"Tinggal kurang tongkatmu—oh yeah, dan aku belum beli hadiah ulang tahun buatmu."
Harry merasa mukanya merah.
"Tak usah…"
"Aku tahu. Begini saja, kuhadiahi kau binatang. Bukan kodok, kodok sudah ketinggalan mode bertahun-tahun yang lalu. Kau akan ditertawakan—dan aku tak suka kucing, mereka membuatku bersin. Kau akan kubelikan burung hantu. Semua anak kepingin punya burung hantu, mereka berguna sekali, mengantar suratmu dan macam-macam lagi."
Dua puluh menit kemudian mereka meninggalkan Toko Burung Hantu Serbaada Eeylops, yang gelap dan penuh bunyi gesekan bulu dan mata berkilat yang berkelap-kelip. Harry sekarang menenteng sangkar besar berisi burung hantu seputih salju, yang tengah tidur nyenyak dengan kepala menyusup ke balik sayap. Dia tak bisa berhenti menyampaikan ucapan terima kasihnya dengan terbata-bata, seperti Profesor Quirrell.
"Ya, ya, kembali," kata Hagrid parau. "Kupikir kau tak banyak dapat hadiah dari keluarga Dursley. Tinggal ke Ollivanders sekarang—satu-satunya tempat untuk beli tongkat. Ollivanders, dan kau akan mendapatkan tongkat yang terbaik."
Tongkat sihir… ini sudah ditunggu-tunggu Harry.
Toko terakhir ini sempit dan kumuh. Huruf-huruf emas yang sudah mengelupas di atas pintunya berbunyi, Ollivanders: Pembuat Tongkat Bagus Sejak 382 SM. Sebatang tongkat tergeletak di atas bantal ungu kusam di etalase berdebu.
Denting bel berbunyi di kedalaman toko ketika mereka melangkah masuk. Tempat itu kecil sekali, kosong, hanya ada satu kursi tinggi kurus. Hagrid duduk menunggu di kursi itu. Harry merasa aneh, seakan dia memasuki perpustakaan yang peraturannya sangat ketat. Dia menelan banyak pertanyaan baru yang bermunculan di benaknya dan melihat-lihat saja ribuan kotak pipih yang bertumpuk rapi sampai ke langit-langit. Entah kenapa, bulu tengkuknya berdiri. Debu dan kesunyian di toko ini rasanya mengandung sihir rahasia.
"Selamat sore," terdengar suara lembut. Harry melonjak. Hagrid pastilah melonjak juga, sebab terdengar bunyi derit keras dan dia cepat-cepat bangkit dari kursi kurusnya.
Seorang laki-laki tua berdiri di hadapan mereka. Matanya yang lebar dan pucat, bercahaya bagai bulan di dalam toko yang suram itu.
"Halo," kata Harry salah tingkah.
"Ah ya," kata laki-laki itu. "Ya, ya. Sudah kuduga aku akan segera bertemu kau, Harry Potter," katanya yakin. "Matamu mirip mata ibumu. Rasanya baru kemarin dia di sini, membeli tongkat pertamanya. Dua puluh lima setengah senti, mendesir jika digerakkan, terbuat dari dahan dedalu. Tongkat bagus untuk menyihir."
Mr Ollivander mendekati Harry. Harry berharap dia berkedip. Matanya yang keperakan itu agak mengerikan.
"Ayahmu, sebaliknya, lebih suka tongkat mahogany. Dua puluh tujuh setengah senti. Lentur. Sakti dan cocok sekali untuk transfigurasi. Yah, tadi kubilang ayahmu lebih suka tongkat itu—sebetulnya tongkatnyalah yang memilih si penyihir tentu saja."
Mr Ollivander sudah dekat sekali, sehingga hidungnya dan hidung Harry nyaris bersentuhan. Harry bisa melihat bayangan dirinya di dalam mata berkabut itu.
"Dan ini rupanya…"
Mr Ollivander menyentuh bekas luka berbentuk kilat menyambar di dahi Harry dengan jarinya yang putih panjang.
"Aku minta maaf karena aku yang menjual tongkat yang menyebabkan luka ini," katanya lembut. "Tiga puluh tiga setengah senti. Kayu cemara. Sakti, sangat sakti dan jatuh ke tangan yang salah… Yah, kalau saja aku tahu apa yang akan dilakukan tongkat itu di luar…"
Dia menggelengkan kepala dan kemudian, betapa leganya Harry, Mr Ollivander melihat Hagrid.
"Rubeus! Rubeus Hagrid! Senang sekali bertemu kau lagi… Ek, empat puluh senti, agak bengkok, kan?"
"Betul, Sir. Ya," kata Hagrid.
"Tongkat bagus. Tapi kuduga mereka mematahkannya jadi dua waktu kau dikeluarkan?" kata Mr Ollivander, mendadak galak.
"Er, ya, betul," kata Hagrid, kakinya bergerak-gerak gelisah. "Tapi saya masih simpan potongannya," dia menambahkan dengan riang.
"Tapi kau tidak memakainya?" kata Mr Ollivander tajam.
"Oh, tidak, Sir," jawab Hagrid cepat-cepat. Harry melihat Hagrid mencengkeram payung merah jambunya erat-erat ketika berbicara.
"Hmmm," kata Mr Ollivander, menatap tajam Hagrid. "Nah, Mr Potter. Coba kita lihat."
Dia menarik keluar meteran panjang dengan tanda-tanda perak dari dalam kantongnya.
"Tangan mana tangan pemegang tongkatmu?"
"Er—tangan kanan," kata Harry.
"Julurkan tanganmu. Bagus." Dia mengukur Harry dari bahu ke jari, kemudian pergelangan tangan ke siku, bahu ke lantai, lutut ke ketiak, dan sekeliling kepalanya. Sementara mengukur, dia berkata, "Semua tongkat Ollivander punya intisari kegaiban, Mr Potter. Kami menggunakan rambut unicorn, bulu ekor burung phoenix, dan nadi jantung naga. Tak ada dua tongkat Ollivander yang sama. Seperti halnya tak ada dua unicorn, naga atau phoenix yang persis sama. Dan tentu saja kau tak akan mendapatkan hasil baik dengan tongkat penyihir lain."
Harry mendadak menyadari bahwa meteran yang sedang mengukur jarak antara kedua lubang hidungnya, mengukur sendiri. Mr Ollivander berkeliling di depan rak-rak, menurunkan kotak-kotak.
"Sudah cukup," katanya, dan meteran itu langsung terpuruk menggunuk di lantai. "Baik, Mr Potter, cobalah yang ini. Beechwood dan nadi jantung naga. Dua puluh dua setengah senti. Bagus dan fleksibel. Ambil dan cobalah menggoyangkannya."
Harry meraih tongkat itu dan (merasa bego) menggoyangkannya sedikit, tetapi Mr Ollivander langsung merebutnya.
"Mapel dan bulu phoenix. Tujuh belas setengah senti. Sabetannya oke. Cobalah…"
Harry mencoba—tapi baru saja dia mengangkatnya, tongkat itu juga direbut balik oleh Mr Ollivander.
"Tidak, tidak—ini, eboni dan rambut unicorn, dua puluh satu seperempat, elastis. Ayo, ayo, coba yang ini."
Harry mencobanya. Dan mencoba yang lain. Dia sama sekali tak tahu apa yang dinantikan Mr Ollivander. Tumpukan tongkat yang sudah dicoba menggunung makin lama makin tinggi di atas kursi kurus, tetapi semakin banyak tongkat yang diambilnya dari rak, semakin senang tampaknya Mr Ollivander.
"Pembeli pemilih, eh? Jangan khawatir, kita akan menemukan tongkat yang pas di sini—bagaimana kalau—ya, kenapa tidak—kombinasi yang tidak biasa—holly dan bulu phoenix, dua puluh tujuh setengah senti, bagus dan lentur."
Harry mengambil tongkat itu. Mendadak jari-jarinya terasa hangat. Diangkatnya tongkat ke atas kepala, diayunkannya ke bawah di udara berdebu, dan semburat bunga api merah dan keemasan meluncur dari ujungnya seperti kembang api, membuat bayang-bayang yang menari-nari di dinding. Hagrid berteriak dan bertepuk tangan, dan Mr Ollivander berseru, "Oh, bravo! Ya, sungguh, bagus sekali. Wah, wah, wah, sungguh aneh… sungguh aneh sekali…"
Diletakkannya kembali tongkat Harry ke dalam kotaknya dan dibungkusnya dengan kertas cokelat, sambil terus bergumam, "Aneh… aneh…"
"Maaf," kata Harry, "tapi apa yang aneh?"
Mr Ollivander menatap Harry dengan matanya yang pucat.
"Aku ingat semua tongkat yang pernah kujual, Mr Potter. Satu per satu. Kebetulan phoenix yang bulu ekornya ada di tongkatmu, menghasilkan satu bulu lagi—hanya satu. Sungguh aneh sekali kau ditakdirkan menjadi pemilik tongkat ini, sementara saudaranya—wah, saudaranyalah yang memberimu bekas luka itu."
Harry menelan ludah.
"Ya, tiga puluh tiga setengah senti. Yew. Sungguh aneh hal-hal semacam ini terjadi. Tongkat yang memilih penyihir, ingat… Kurasa kami harus mengharap kau melakukan hal-hal luar biasa, Mr Potter… Lagi pula, Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut melakukan hal-hal yang luar biasa—mengerikan, ya, tapi luar biasa."
Harry bergidik. Dia tak yakin apakah dia sangat menyukai Mr Ollivander. Dia membayar tujuh Galleon emas untuk tongkatnya dan Mr Ollivander membungkuk, mengantar mereka meninggalkan tokonya.
* * *
Matahari sore menggantung rendah di langit. Harry dan Hagrid kembali ke Diagon Alley, kembali menembus tembok, kembali ke Leaky Cauldron, yang sekarang kosong. Sepanjang jalan Harry tidak bicara sama sekali. Dia bahkan tidak menyadari betapa orang-orang di kereta bawah tanah terheran-heran melihat mereka, yang membawa begitu banyak belanjaan yang bentuk dan bungkusnya aneh-aneh, dengan burung hantu seputih salju tertidur di pangkuan Harry. Naik eskalator lagi, keluar ke stasiun Paddington. Harry baru menyadari di mana mereka berada ketika Hagrid menjawil bahunya.
"Masih sempat makan sebentar sebelum keretamu berangkat," katanya.
Dia membeli hamburger dan mereka duduk di kursi plastik untuk memakannya. Berkali-kali Harry memandang berkeliling. Segala sesuatu terasa aneh.
"Kau tak apa-apa, Harry? Kau dari tadi diam saja," kata Hagrid.
Harry tak yakin dia bisa menjelaskan. Hari ini hari ulang tahun paling menyenangkan dalam hidupnya—tapi—dia mengunyah hamburgernya, mencoba menemukan kata-kata.
"Semua orang menganggapku istimewa," katanya akhirnya. "Semua orang di Leaky Cauldron, Profesor Quirrell, Mr Ollivander… tetapi aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang sihir. Bagaimana mereka mengharap aku melakukan hal-hal luar biasa? Aku terkenal dan aku bahkan tak ingat aku terkenal karena apa. Aku tak tahu apa yang terjadi ketika Vol—maaf—maksudku, pada malam orangtuaku meninggal."
Hagrid mencondongkan tubuh di atas meja. Di balik jenggot liar dan alis tebalnya, senyumnya ramah sekali.
"Jangan khawatir, Harry. Kau akan belajar dengan cepat. Semua orang mulai dari awal di Hogwarts, kau tak akan dapat masalah. Jadilah saja dirimu sendiri. Aku tahu ini berat. Kau telah dipilih, dan ini selalu berat. Tetapi kau akan senang di Hogwarts—dulu aku juga—bahkan sampai sekarang pun masih."
Hagrid membantu Harry naik kereta yang akan membawanya kembali ke keluarga Dursley, kemudian menyerahkan amplop.
"Karcis keretamu ke Hogwarts," katanya. "Tanggal satu September—King’s Cross—semua tercantum di karcismu. Kalau ada masalah dengan keluarga Dursley, kirimi aku surat lewat burung hantumu, dia akan tahu di mana temukan aku… Sampai ketemu lagi, Harry."
Kereta bergerak meninggalkan stasiun. Harry ingin memandang Hagrid sampai dia tak kelihatan lagi. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menempelkan hidungnya di kaca jendela, tetapi begitu dia mengejapkan mata, Hagrid sudah lenyap.

* * *
| @MutiaRKinasih |


No comments:

Post a Comment