Wednesday, November 6, 2013

HP 1 - Bab 3 Surat dari Entah Siapa


BAB 3.
Surat Dari Entah Siapa



KABURNYA ular boa pembelit membuat Harry menerima hukuman kurungan paling lama. Saat dia diizinkan keluar lemari lagi, liburan musim panas telah mulai dan kamera baru Dudley sudah rusak, pesawat terbang mainannya sudah menabrak sesuatu dan jatuh hancur, dan pertama kali menaiki sepeda balapnya, dia menabrak jatuh Mrs Figg yang sedang menyeberang jalan raya Privet Drive dengan tongkat ketiaknya.


Harry senang sekolah libur, tetapi dia tak bisa menghindari geng Dudley yang setiap hari datang. Piers, Dennis, Malcolm, dan Gordon semuanya bertubuh besar dan bodoh, tetapi karena Dudley bertubuh paling besar dan paling bodoh, dia jadi pemimpin geng. Mereka semua senang ikut permainan yang paling disukai Dudley: berburu-Harry.
Inilah sebabnya Harry melewatkan waktu sebanyak mungkin di luar rumah, berjalan-jalan dan memikirkan akhir liburan, saat dia bisa melihat secercah kecil harapan. Dengan datangnya bulan September nanti, dia akan masuk SMP, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak akan bersekolah bersama-sama Dudley. Dudley akan masuk sekolah Paman Vernon dulu, Smeltings. Piers Polkiss akan masuk ke sana juga. Harry, sebaliknya, akan bersekolah di Stonewall High, SMP lokal. Dudley menganggap ini sangat lucu.
"Hari pertama, mereka memasukkan kepala anak-anak baru ke toilet di Stonewall," katanya kepada Harry. "Mau latihan dulu di atas?"
"Tidak, terima kasih," kata Harry. "Kasihan toilet, belum pernah kemasukan benda lain yang lebih mengerikan daripada kepalamu—jangan-jangan toilet itu sekarang sedang mual."
Kemudian Harry lari, sebelum Dudley bisa mencerna ucapannya tadi.
Pada suatu hari di bulan Juli, Bibi Petunia membawa Dudley ke London untuk membeli seragam Smeltings-nya. Harry dititipkan di rumah Mrs Figg. Mrs Figg tidak separah biasanya. Ternyata kakinya patah gara-gara dia tersandung salah satu kucingnya, jadi sekarang dia tak begitu suka kucing seperti sebelumnya. Dibiarkannya Harry menonton TV dan diberinya Harry sepotong kue cokelat yang rasanya sudah tengik.
Malam itu Dudley berparade memakai seragam barunya di ruang keluarga. Murid-murid Smeltings memakai jas buntut merah tua, celana jingga selutut, dan topi jerami rata. Mereka juga membawa tongkat, yang digunakan untuk saling pukul kalau guru mereka sedang tidak melihat. Ini diandaikan sebagai latihan bagus untuk masa depan mereka.
Ketika memandang Dudley dalam seragam barunya, Paman Vernon berkata parau bahwa ini saat paling membanggakan dalam hidupnya. Bibi Petunia menangis dan berkata dia tak percaya pemuda gagah dan tampan ini si Ickle Dudleykins. Harry tak bisa bicara. Dia pikir mungkin dua tulang iganya sudah retak gara-gara menahan tawa.
Dapur berbau busuk ketika Harry esok paginya turun untuk sarapan. Bau itu datangnya dari ember metal besar di tempat cuci piring. Harry melongoknya. Ember itu penuh gombal kotor yang mengapung di air berwarna abu-abu.
"Apa ini?" tanyanya kepada Bibi Petunia. Bibir Bibi Petunia langsung cemberut, seperti biasanya jika Harry berani mengajukan pertanyaan.
"Seragam sekolahmu yang baru," jawabnya.
Harry memandang ke dalam ember lagi.
"Oh," komentarnya. "Tak kusangka harus basah begitu."
"Jangan bego," tukas Bibi Petunia. "Aku sedang mencelup pakaian lama Dudley dengan wenter abu-abu untukmu. Kalau sudah selesai nanti, akan sama seperti punya yang lain."
Harry jelas meragukan ini, tetapi dia pikir lebih baik tidak membantah. Dia duduk di depan meja makan dan mencoba tidak memikirkan bagaimana penampilannya pada hari pertamanya di Stonewall High nanti—seperti memakai potongan-potongan kulit gajah tua, mungkin.
Dudley dan Paman Vernon muncul, keduanya mengernyitkan hidung gara-gara bau seragam Harry yang baru. Paman Vernon seperti biasa membuka korannya dan Dudley memukul-mukulkan tongkat Smeltings-nya—yang selalu dibawanya ke mana-mana—di atas meja.
Mereka mendengar bunyi klik kotak surat dan jatuhnya surat-surat di keset.
"Ambil surat, Dudley," kata Paman Vernon dari balik korannya.
"Suruh saja Harry."
"Ambil surat, Harry."
"Suruh saja Dudley."
"Sodok dia dengan tongkat Smeltings-mu, Dudley."
Harry menghindari sodokan tongkat Smeltings dan keluar untuk mengambil surat. Ada tiga benda tergeletak di keset: kartu pos dari adik perempuan Paman Vernon, Marge, yang sedang berlibur di Pulau Wight, sebuah amplop cokelat yang kelihatannya berisi tagihan, dan—surat untuk Harry.
Harry mengambil dan menatapnya, jantungnya berdentang-dentang seperti elastik besar yang dilentingkan. Tak seorang pun, sepanjang hidupnya, pernah menulis kepadanya. Siapa yang akan menyuratinya? Dia tak punya teman, tak punya keluarga lain—dia juga bukan anggota perpustakaan mana pun, jadi dia bahkan belum pernah dapat surat teguran kasar untuk segera mengembalikan buku yang dipinjamnya. Tetapi ternyata, ini ada surat yang jelas-jelas ditujukan kepadanya:
Mr H. Potter
Lemari di Bawah Tangga
Privet Drive no. 4
Little Whinging
Surrey
Amplopnya tebal dan berat, terbuat dari perkamen—kulit yang digunakan sebagai pengganti kertas. Warnanya kekuningan dan nama serta alamatnya ditulis dengan tinta hijau zamrud. Tak ada prangkonya.
Membalik amplop itu dengan tangan gemetar, Harry melihat segel ungu bergambar lambang huruf "H" besar yang dikelilingi singa, elang, musang, dan ular.
"Cepat sedikit, Harry!" teriak Paman Vernon dari dapur. "Buat apa kau memeriksa kalau-kalau ada bom-surat?" Dia menertawakan leluconnya sendiri.
Harry kembali ke dapur, masih menatap suratnya. Diserahkannya tagihan dan kartu pos pada Paman Vernon, lalu dia duduk dan pelan-pelan mulai membuka amplop kuningnya.
Paman Vernon merobek surat tagihan, mendengus jijik, dan membalik kartu pos.
"Marge sakit," dia memberitahu Bibi Petunia. "Makan kerang aneh…"
"Dad!" mendadak Dudley berkata. "Dad, Harry dapat apa tuh!"
Harry sedang akan membuka lipatan suratnya, yang ditulis di atas kertas perkamen tebal yang sama dengan amplopnya, ketika tiba-tiba surat itu disentakkan dari tangannya oleh Paman Vernon.
"Itu suratku!" kata Harry, berusaha merebutnya kembali.
“Siapa yang menulis padamu?" seringai Paman Vernon, sambil mengibaskan surat itu dengan satu tangan agar membuka. Dan melirik isinya. Wajahnya berubah warna dari merah ke hijau lebih cepat daripada lampu lalu lintas. Dan tidak berhenti di situ. Dalam sekejap saja wajahnya sudah putih abu-abu seperti bubur busuk.
"P-P-Petunia!" gagapnya.
Dudley berusaha merebut surat itu untuk membacanya, tetapi Paman Vernon mengangkatnya tinggi-tinggi hingga jauh dari jangkauannya. Bibi Petunia mengambilnya dengan ingin tahu dan membaca kalimat pertamanya. Sesaat kelihatannya dia akan pingsan. Dia memegangi lehernya dan mengeluarkan suara seperti tercekik.
"Vernon! Oh, astaga… Vernon!"
Mereka berpandangan, tampaknya lupa bahwa Harry dan Dudley masih berada di ruangan yang sama. Dudley tidak biasa diabaikan. Diketuknya kepala ayahnya keras-keras dengan tongkat Smeltings-nya.
"Aku mau membaca surat itu," teriaknya.
"Aku mau membacanya," kata Harry marah, "karena itu suratku."
"Keluar, kalian berdua," kata Paman Vernon parau, seraya memasukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya.
Harry bergeming.
"AKU MAU SURATKU!" teriaknya.
"Sini aku lihat!" Dudley memaksa.
"KELUAR!" gerung Paman Vernon. Dicengkeramnya kerah baju Harry dan Dudley dan dicampakkannya mereka ke lorong, lalu dibantingnya pintu dapur menutup. Harry dan Dudley segera berkelahi seru, tanpa suara, memperebutkan siapa yang boleh mendengarkan lewat lubang kunci. Dudley menang, maka Harry, kacamatanya tergantung pada satu telinga, berbaring tengkurap untuk mendengarkan dari celah antara pintu dan lantai.
"Vernon," Bibi Petunia berkata dengan suara gemetar, "lihat alamatnya. Bagaimana mungkin mereka tahu di mana dia tidur? Apa menurutmu mereka mengawasi rumah kita?"
"Mengawasi—memata-matai—mungkin juga membuntuti kita," gumam Paman Vernon cemas.
"Tapi apa yang harus kita lakukan, Vernon? Apakah sebaiknya kita balas? Kita katakan bahwa kita tak ingin…"
Harry bisa melihat sepatu Paman Vernon yang hitam mengilap mondar-mandir di dapur.
"Tidak," katanya akhirnya. "Tidak, kita abaikan saja. Jika mereka tidak mendapat balasan… ya, itu yang paling baik… kita tak akan melakukan apa-apa…"
"Tetapi…"
"Aku tak mau dengar, Petunia! Bukankah kita sudah bersumpah waktu mengambilnya bahwa kita akan membasmi omong kosong yang berbahaya itu?"
* * *
Sore itu sepulang kerja, Paman Vernon melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Dia mengunjungi Harry di dalam lemarinya.
"Mana suratku?" tanya Harry begitu Paman Vernon berhasil menjejalkan diri melewati pintu. "Siapa yang menulis padaku?"
"Tidak ada. Surat itu keliru dialamatkan padamu," kata Paman Vernon pendek. "Sudah kubakar."
"Tidak keliru," kata Harry berang. "Di alamatnya tertulis lemariku."
"DIAM!" raung Paman Vernon dan dua ekor labah-labah terjatuh dari langit-langit lemari. Dia menarik napas dalam beberapa kali dan kemudian memaksakan wajahnya tersenyum, kelihatannya memelas sekali.
"Er… ya, Harry… tentang lemari ini. Bibimu dan aku sudah berpikir-pikir… kau sebetulnya sudah terlalu besar untuk tinggal di sini… kami rasa lebih enak jika kau pindah ke kamar Dudley yang satunya."
"Kenapa?" tanya Harry.
"Jangan tanya-tanya!" tukas pamannya. "Bawa barang-barangmu ke atas, sekarang."
Rumah keluarga Dursley punya empat kamar: satu untuk Paman Vernon dan Bibi Petunia, satu untuk tamu (biasanya adik Paman Vernon, Marge), satu adalah kamar tidur Dudley, dan satunya lagi tempat Dudley menyimpan mainan dan barang-barangnya yang tidak muat ditaruh di kamar tidurnya. Harry hanya perlu sekali angkut untuk memindahkan barang-barangnya dari lemari ke kamar ini. Dia duduk di tempat tidur dan memandang berkeliling. Hampir semua barang di kamar ini rusak. Kamera yang baru sebulan tergeletak di atas tank kecil yang ketika dikendarai Dudley pernah melindas anjing tetangga. Di sudut ada televisi pertama Dudley, yang ditendangnya sampai bolong ketika acara favoritnya batal ditayangkan. Ada sangkar burung besar, dulunya sangkar seekor burung nuri yang kemudian ditukar Dudley di sekolah dengan senapan angin betulan. Senapan itu sekarang ada di rak, larasnya bengkok kedudukan Dudley. Rak-rak lain penuh buku. Hanya buku-buku itulah yang tampaknya tak pernah disentuh.
Dari bawah terdengar Dudley berteriak-teriak kepada ibunya, "Aku tak mau dia di sana… aku butuh kamar itu… suruh dia keluar…"
Harry menghela napas dan membaringkan diri di tempat tidur. Kemarin dia akan bersedia memberikan apa saja untuk bisa berada di kamar ini. Hari ini dia lebih memilih berada kembali di lemarinya dengan surat itu daripada di sini tanpa surat.
Paginya saat sarapan, semua agak diam. Dudley uring-uringan. Dia sudah menjerit-jerit, memukuli ayahnya dengan tongkat Smeltings-nya, pura-pura sakit, menendang ibunya, dan melempar kura-kuranya ke atap rumah kaca sampai atap itu berlubang, tapi tetap saja dia tidak memperoleh kembali kamarnya. Harry merenungkan saat jam begini kemarin dan menyesal sekali kenapa dia tidak membuka suratnya sewaktu masih di lorong. Paman Vernon dan Bibi Petunia saling pandang dengan wajah keruh.
Ketika tukang pos tiba, Paman Vernon, yang kelihatannya mencoba berbaik-baik kepada Harry, menyuruh Dudley mengambil surat. Mereka mendengar Dudley memukul-mukulkan tongkat Smeltings-nya sambil turun ke lorong. Kemudian dia berteriak, "Ada surat lagi! Mr H. Potter, Kamar Paling Kecil, Privet Drive nomor 4…"
Dengan pekik tertahan Paman Vernon melompat dari kursinya dan berlari turun. Harry di belakangnya. Paman Vernon harus memiting Dudley ke lantai untuk merebut surat itu, dan itu makin sulit dilakukannya karena Harry mengalungkan tangan ke leher Paman Vernon dari belakang. Setelah semenit pergulatan kalang kabut, dan semuanya kena pukul tongkat Smeltings, Paman Vernon bangkit berdiri, tersengal-sengal, dengan surat Harry terpegang erat di tangan.
"Kembali ke lemarimu—maksudku, kamarmu," desisnya kepada Harry. "Dudley… pergi… pergi."
Harry berjalan bolak-balik mengitari kamar barunya. Ada yang tahu dia sudah pindah dari lemarinya dan mereka rupanya tahu dia belum menerima surat pertamanya. Jelas itu berarti mereka akan mencoba lagi. Dan kali ini dia akan memastikan mereka tidak akan gagal. Dia punya rencana.
* * *
Jam weker yang sudah dibetulkan berdering pukul enam keesokan paginya. Harry cepat-cepat mematikannya dan berganti pakaian tanpa menimbulkan suara. Jangan sampai keluarga Dursley terbangun. Diam-diam dia turun tanpa menyalakan lampu satu pun.
Dia akan menunggu tukang pos di sudut Privet Drive dan mengambil surat-surat untuk rumah nomor empat lebih dulu. Jantungnya berdegup kencang saat dia merayap di lorong gelap menuju pintu depan…
"AAAAARRRGH!"
Harry kaget dan terlonjak—dia menginjak sesuatu yang besar dan empuk di keset—sesuatu yang hidup!
Lampu menyala di loteng dan betapa kagetnya Harry, benda empuk yang diinjaknya tadi ternyata wajah pamannya. Paman Vernon sengaja tidur di depan pintu dalam kantong tidur. Jelas dia bermaksud menghalangi Harry melakukan apa yang akan dilakukannya. Selama kira-kira setengah jam dia memarahi Harry, kemudian menyuruhnya membuat secangkir teh. Harry terseok sedih ke dapur, dan pada saat dia kembali, surat sudah datang, jatuh persis di pangkuan Paman Vernon. Harry bisa melihat tiga surat yang alamatnya ditulis dengan tinta hijau.
"Berikan…," dia baru mau bicara, Paman Vernon sudah merobek-robek surat-surat itu di depan matanya.
Paman Vernon tidak ke kantor hari itu. Dia tinggal di rumah dan memaku kotak suratnya.
"Kalau mereka tidak bisa mengirim surat, mereka akan menyerah," dia menjelaskan kepada Bibi Petunia dengan mulut penuh paku.
"Aku tidak yakin, Vernon."
"Oh, cara berpikir orang-orang ini aneh, Petunia, tidak seperti kita," kata Paman Vernon sambil memukul paku dengan sepotong kue buah yang baru saja dibawakan Bibi Petunia.
* * *
Hari Jumatnya, tak kurang dari dua belas surat untuk Harry datang. Karena tak bisa dimasukkan ke dalam kotak surat, surat-surat itu disorongkan di bawah pintu, disisipkan ke celah pintu, dan beberapa di antaranya bahkan dijejalkan lewat jendela kecil toilet bawah.
Paman Vernon tinggal di rumah lagi. Setelah membakar semua surat itu, dia mengeluarkan palu dan paku dan menutup semua celah di pintu depan dan belakang dengan papan, sehingga tak seorang pun bisa keluar. Dia bersenandung Berjingkat di Antara Tulip-tulip sambil bekerja, dan terlonjak jika ada bunyi sekecil apa pun.
* * *
Hari Sabtunya, yang terjadi sudah di luar kendali. Dua puluh empat pucuk surat untuk Harry berhasil diselundupkan masuk rumah, digulung dan disembunyikan dalam dua lusin telur yang dijulurkan tukang susu mereka yang sangat kebingungan kepada Bibi Petunia lewat jendela ruang keluarga. Sementara Paman Vernon marah-marah menelepon kantor pos dan perusahaan susu mencari orang yang bisa disalahkan, Bibi Petunia menghancurkan surat-surat itu dalam mixer makanannya.
"Siapa sih yang begitu ingin bicara denganmu?" Dudley bertanya kepada Harry dengan keheranan.
* * *
Pada hari Minggu pagi, Paman Vernon duduk di meja untuk sarapan, kelihatan lelah tetapi senang.
"Tukang pos tidak datang pada hari Minggu," dia mengingatkan mereka dengan riang seraya mengoleskan selai pada korannya, "jadi tak ada surat sialan hari ini…"
Ada yang berdesis meluncur turun dalam cerobong asap ketika Paman Vernon bicara, dan mengemplang belakang kepalanya. Detik berikutnya tiga puluh atau empat puluh surat meluncur-luncur dari perapian seperti peluru. Keluarga Dursley menunduk menghindar, tetapi Harry melompat mencoba menangkap satu di antaranya…
"Keluar! KELUAR!"
Paman Vernon menangkap pinggang Harry dan melemparkannya ke lorong di luar. Setelah Bibi Petunia dan Dudley keluar dengan lengan menutupi muka, Paman Vernon membanting pintu menutup. Mereka bisa mendengar surat-surat masih mengalir ke dalam ruangan, melenting-lenting mengenai dinding dan lantai.
"Sudah kelewatan," kata Paman Vernon, berusaha berbicara dengan tenang, tapi pada saat bersamaan mencabuti kumisnya dengan panik. "Aku mau kalian semua kembali ke sini lima menit lagi, siap berangkat. Kita akan pergi. Bawa saja pakaian secukupnya. Jangan membantah!"
Paman Vernon kelihatan berbahaya sekali dengan separo kumisnya lenyap, sehingga tak seorang pun berani membantah. Sepuluh menit kemudian mereka berhasil keluar dari pintu yang sudah dipaku rapat dan berada dalam mobil, yang ngebut menuju jalan tol. Dudley terisak-isak di jok belakang. Ayahnya tadi memukul kepalanya gara-gara mereka harus menunggunya mencoba menjejalkan televisi, video, dan komputernya ke dalam tas olahraganya.
Mobil terus meluncur. Terus meluncur. Bahkan Bibi Petunia pun tak berani bertanya ke mana mereka pergi. Sekali-sekali Paman Vernon tiba-tiba menikung tajam dan meluncurkan mobilnya ke arah berlawanan.
"Sesatkan mereka… sesatkan mereka," gumam Paman Vernon setiap kali dia melakukan ini.
Mereka bahkan tidak berhenti untuk makan sepanjang hari. Saat malam tiba, Dudley sudah menangis meraung-raung. Belum pernah dia mengalami hari seburuk ini. Dia lapar, dia tidak bisa menonton lima acara televisi yang ingin ditontonnya, dan belum pernah dia melewatkan waktu selama itu tanpa meledakkan alien di layar komputernya.
Paman Vernon akhirnya berhenti di depan hotel suram di luar sebuah kota besar. Dudley dan Harry berbagi kamar dengan dua tempat tidur dan seprai lembap yang berbau lumut. Dudley mendengkur, tetapi Harry tak bisa tidur. Dia duduk di ambang jendela, memandang lampu-lampu mobil yang lewat dan bertanya-tanya dalam hati…
* * *
Mereka makan cornflake melempem dan tengik serta tomat kalengan di atas roti panggang sebagai sarapan keesokan harinya. Baru saja mereka selesai, pemilik hotel mendatangi meja mereka.
"Maaf, tapi apakah salah satu dari kalian Mr H. Potter? Ada kira-kira seratus surat begini di meja resepsionis."
Wanita itu mengangkat surat itu sehingga mereka bisa membaca alamatnya yang ditulis dengan tinta hijau:
Mr H. Potter
Kamar 17
Hotel Railview
Cokeworth
Harry mau meraih surat itu, tetapi Paman Vernon menampar tangannya. Wanita itu terbelalak.
"Akan saya ambil," kata Paman Vernon, cepat-cepat berdiri dan mengikutinya meninggalkan ruang makan.
* * *
"Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Sayang?" Bibi Petunia menyarankan dengan takut-takut beberapa jam kemudian, tetapi Paman Vernon kelihatannya tidak mendengarnya. Entah apa yang dicarinya, tak seorang pun tahu. Dia membawa mereka ke tengah hutan, keluar dari mobilnya, memandang berkeliling, menggelengkan kepala, masuk lagi ke dalam mobil, dan mobil pun meluncur lagi. Hal yang sama terjadi di tengah sawah yang sedang dibajak, di tengah jembatan gantung, dan di atas tempat parkir mobil yang bertingkat.
"Daddy sudah gila, ya?" Dudley bertanya kepada Bibi Petunia sore itu. Paman Vernon telah memarkir mobilnya di tepi pantai, mengunci mereka bertiga di dalamnya, lalu menghilang.
Hujan mulai turun. Tetesnya yang besar-besar mengetuk-ngetuk atap mobil. Dudley tersedu-sedu.
"Ini hari Senin," katanya kepada ibunya. "Ada acara si Hebat Humberto di televisi malam ini. Aku mau nonton."
Senin. Harry jadi ingat sesuatu. Kalau hari ini Senin, dan Dudley bisa diandalkan dalam hal ini, sehubungan dengan kegemarannya nonton televisi—maka besok, Selasa, adalah hari ulang tahun Harry yang kesebelas. Tentu saja hari-hari ulang tahunnya yang telah lewat bukanlah hari yang menyenangkan. Tahun lalu, misalnya, keluarga Dursley menghadiahinya satu gantungan mantel dan sepasang kaus kaki bekas Paman Vernon. Tapi, kita kan tidak berumur sebelas tiap hari.
Paman Vernon kembali sambil tersenyum. Dia juga membawa bungkusan kecil panjang dan tidak menjawab ketika ditanya Bibi Petunia apa yang dibawanya itu.
"Sudah kutemukan tempat yang sempurna!" katanya. "Ayo, semua keluar!"
Di luar mobil udara dingin sekali. Paman Vernon menunjuk sesuatu yang kelihatan seperti batu karang besar yang menjorok ke laut. Bertengger di atas karang itu ada gubuk kecil yang sangat kumuh dan bobrok. Kelihatan menyedihkan sekali. Satu hal sudah jelas, tak ada televisi di gubuk itu.
"Malam ini diramalkan akan ada badai!" kata Paman Vernon senang, sambil menepukkan tangan. "Dan Bapak ini sudah berbaik hati mau meminjamkan perahunya!"
Seorang laki-laki tua ompong berjalan santai mendekati mereka. Sambil menyeringai agak jahat, dia menunjuk perahu dayung tua yang terapung-apung di air abu-abu gelap di bawah mereka.
"Aku sudah beli bekal untuk kita," kata Paman Vernon, "jadi, semua naik!"
Dingin sekali di perahu, sampai mereka serasa membeku. Cipratan air laut dan tetes hujan sedingin es merayap menuruni tengkuk dan angin dingin menerpa wajah mereka. Setelah rasanya berjam-jam kemudian, tibalah mereka di batu karang. Paman Vernon, terpeleset-peleset, memimpin menuju ke gubuk reyot itu.
Bagian dalam gubuk sungguh menjijikkan. Bau ganggang laut menyengat, angin bersuit-suit menembus lewat celah-celah di dinding papan. Perapiannya lembap dan kosong. Hanya ada satu kamar.
Bekal Paman Vernon ternyata sebungkus keripik dan empat pisang untuk setiap orang. Dia mencoba menyalakan api, tetapi keempat bungkus keripik yang kini sudah kosong itu cuma mengerut dan berasap.
"Surat-surat itu sekarang bisa digunakan, eh?" katanya riang.
Paman Vernon sedang senang sekali. Jelas dia mengira tak akan ada orang yang bisa mengejar mereka dalam badai untuk mengantar surat. Harry dalam hati mengakui, dan ini membuatnya sedih.
Ketika malam tiba, badai yang dijanjikan menerjang di sekitar mereka. Cipratan air dari ombak-ombak yang bergulung tinggi menyembur ke dinding pondok dan angin kencang mengguncangkan jendela-jendela yang kotor. Bibi Petunia menemukan beberapa selimut apak bulukan dari kamar dan menyiapkan tempat tidur untuk Dudley di sofa yang sudah berlubang-lubang dimakan ngengat. Dia dan Paman Vernon tidur di tempat tidur reyot di kamar dan Harry dibiarkan mencari sendiri tempat yang paling empuk di lantai dan meringkuk di bawah selimut paling tipis dan paling compang-camping.
Semakin malam badai mengamuk semakin hebat. Harry tak bisa tidur. Dia gemetar kedinginan dan membalikkan tubuh, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Perutnya yang lapar berkeroncongan. Dengkur Dudley teredam oleh gemuruh guruh yang mulai menggelegar menjelang tengah malam. Jarum arloji Dudley yang menyala—tangan gemuknya yang memakai arloji berjuntai ke bawah sofa—menunjukkan bahwa sepuluh menit lagi Harry akan berusia sebelas tahun. Dia berbaring memandangi saat ulang tahunnya yang berdetik-detik semakin dekat, bertanya-tanya apakah keluarga Dursley akan ingat soal ulang tahunnya, bertanya-tanya di manakah gerangan orang yang menulis surat padanya sekarang.
Lima menit lagi. Harry mendengar sesuatu yang berkeriut di luar. Dia berharap atap gubuk tidak akan runtuh, walaupun kalau iya, dia mungkin akan lebih hangat. Empat menit lagi. Mungkin rumah di Privet Drive akan penuh surat kalau mereka pulang nanti, sehingga dia bisa mencuri satu.
Tiga menit lagi. Ombakkah itu, yang menghantam karang begitu keras? Dan (dua menit lagi) bunyi derak aneh apa itu? Apa karangnya remuk dan berjatuhan ke laut?
Semenit lagi dia akan berusia sebelas tahun. Tiga puluh detik… dua puluh… sepuluh… sembilan, mungkin dia akan membangunkan Dudley, sekadar supaya Dudley marah saja… tiga… dua… satu…
BOOM!
Seluruh gubuk bergetar dan Harry langsung duduk tegak, memandang pintu. Ada orang di luar pintu, menggedor-gedor mau masuk.

* * *

| @MutiaRKinasih |

No comments:

Post a Comment